Kira-kira ketika Nabi Muhammad SAW berbicara kepada paman Beliau, yaitu Abu Thalib, apakah memanggilnya kayak gini,”Pir, pir, woi paman kapir, sini luh, pir”.
Kebayang gak sih punya paman belum masuk Islam, lagi diproses gitu. Terus kita tiap ketemu langsung bilang,”Hei kapir. Apa kabar? Masih kapir aja luh?”.
Jelas gak mungkin mau masuk Islam lah si paman. Kita lagi baik-baikin biar mau masuk Islam. Eh, kok kudu sebut kekafirannya. Kan gak logis.
Kalau tidak percaya, coba sesekali buka Al-Quran terkait konteks seperti ini. Ternyata justru Al-Quran menyapa mereka dengan sangat santun.
Misalnya orang yahudi dan nasrani itu seringkali disapa dengan santu,”Wahai ahli kitab”. Atau menyebutkan dinasti dan klan merrka,”Wahai Bani Israil”.
Padahal kita tahu kebanyakan mereka pada kafir semua sebenarnya. Tapi rasanya beda antara disebut kafir dengan ahli kitab atau Bani Israil.
Maka orang kafir itu meski kafir, tidak harus selalu ditonjolkan kekafirannya dalam setiap event. Kadang bisa saja disebut nama kaumnya, nama keluarga bahkan bisa disapa dengan yang lebih santun,”Wahai anak-anak Adam”.
Malah kalau yang kafir itu bapaknya sendiri, tetap saja dipanggil sebagai Bapak. Bukan pir, pir, kapir, nggak kayak gitu juga. Gak sopan amat nyebut bapak sendiri dengan sapaan kafir. Meski memang kafir, tapi pasti gak suka lah.
Begitulah akhlaq seorang Nabi Ibrahim kepada ayahnya sendiri yang kafir, penyembah berhala. Ibrahim ini nabi lho, jangan sembarangan main tuduh. Simak ayat berikut ini dan coba bertadabbur dengan ayat ini :
إِذۡ قَالَ لِأَبِيهِ يَٰٓأَبَتِ لِمَ تَعۡبُدُ مَا لَا يَسۡمَعُ وَلَا يُبۡصِرُ وَلَا يُغۡنِي عَنكَ شَيۡـٔٗا
(Ingatlah) ketika dia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku! Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun? (QS. Maryam : 42)
يَٰٓأَبَتِ إِنِّي قَدۡ جَآءَنِي مِنَ ٱلۡعِلۡمِ مَا لَمۡ يَأۡتِكَ فَٱتَّبِعۡنِيٓ أَهۡدِكَ صِرَٰطٗا سَوِيّٗا
Wahai ayahku! Sungguh, telah sampai kepadaku sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. (Qs. Maryam : 43)
يَٰٓأَبَتِ لَا تَعۡبُدِ ٱلشَّيۡطَٰنَۖ إِنَّ ٱلشَّيۡطَٰنَ كَانَ لِلرَّحۡمَٰنِ عَصِيّٗا
Wahai ayahku! Janganlah engkau menyembah setan. Sungguh, setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pengasih. (Qs. Maryam :44)
Tiga kali berturut-turut Ibrahim menyebut ayahnya dengan ungkapan ‘ya abati’. Sebuah panggilan sayang, lebih mesra dari sebedar ya abi. Kira-kira kalau disetarakan jadi ‘wahai ayahanda terkasih’.
Ibrahim tidak merasa perlu menonjolkan kekafiran ayahnya yang memang kafir itu. Beliau tidak menyapanya dengan,”Wahai ayah yang kafir”. Kata kafirnya dimahdzuf tidak ditampilkan. Apa Ibrahim jadi munafik? Tidak!. Apa Ibrahim terkena pahan Islam Liberal? Tidak!!!
So, santai dulu jangan grasa grusu. Janganlah kebencianmu pada suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adil lah, karena itu lebih dekat kepada taqwa.
Apalagi main tuduh kesusupan lah, ini lah itu lah. Sabar saudaraku, kita masih sesama orang beriman, masih muslim. Jangan tunjukkan wajah masam bagaikan melihat Firaun. Bahkan Musa pun diperintah untuk bertutur kata yang lembut kepada Firaun sekalipun.
Saudara kita itu bukan Firaun pastinya. Berlemah lembut lah kepada sesama muslim. Hindari cara-cara kurang santun. Semoga Allah memafkan kita semua.
Wallahu A’lam.