Perlukah Pemimpin Islam Internasional?

Perlukah Pemimpin Islam Internasional?

Menurut an-Nawawi, apabila terdapat dua khalifah di baiat, maka sesungguhnya yang dianggap sah ialah yang pertama dibaiat.

Perlukah Pemimpin Islam Internasional?

Di era modern, seluruh negara di dunia menerapkan konsep negara bangsa (Nation State). Namun, pada saat yang sama, sebagian kelompok menginginkan tegaknya negara khilafah yang pernah diberlakukan di era klasik. Salah satu ciri utama negara khilafah menurut mereka ialah dipimpin oleh pemimpin tunggal di muka bumi. Secara teologis, mereka meyakini bahwa keharusan mengangkat pemimpin tunggal salah satunya berpijak pada hadis menyangkut larangan dualisme kepemimpinan sebagai berikut:

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الآخر مِنْهُمَا

“Apabila terdapat dua pemimpin dibaiat, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.”(H.R. Muslim).

 Secara tekstual, hadis ini menegaskan terkait larangan dualisme kepemimpinan. Dengan berpijak pada makna tekstual hadis ini, beberapa kelompok pengusung ide khilafah menegaskan perihal keharusan mengangkat pemimpin tunggal dimuka bumi dan menolak dualisme kepemimpinan sebagaimana yang pernah diberlakukan dalam sistem kekhilafahan di era klasik. Bila ditelisik lebih jauh, hadis di atas juga mendapat legitimasi dari hadis shahih lainnya yaitu:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِىٌّ خَلَفَهُ نَبِىٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُر. قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا؟  قَالَ: فُوا بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

“Pada awalnya, Bani Israil diurus dan dipimpin oleh para Nabi. Setiap seorang Nabi meninggal, akan digantikan dengan Nabi yang lainnya. Sesungguhnya tidak akan ada Nabi setelahku, melainkan akan ada banyak khalifah. Para ṣahabat bertanya, apa yang engkau perintahan kepada kami? Rasulullah bersabda:  Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka haknya. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban kepada mereka atas apa yang mereka lakukan.” ”(H.R. Muslim).

Kedua hadis di atas dapat dijumpai dalam beberapa kitab induk hadis tak terkecuali dalam Shahih Muslim. Dengan demikian, harus diakui bahwa keduanya memiliki kualitas tinggi (shahih). Secara substansial, hadis kedua di atas masuk dalam katagori hadis prediktif atau futuristik, di mana Nabi saw meramalkan bahwa akan muncul beberapa pemimpin (khalifah) dikemudian hari. Dalam situasi seperti itu, Nabi saw memerintahkan kepada para shahabatnya agar mematuhi khalifah yang pertama dibaiat, bukan yang lainnya.

Ulama seperti al-Nawawi, pada saat memberi penjelasan (syarah) perihal substansi hadis tersebut menegaskan bahwa apabila terdapat dua khalifah di baiat, maka sesungguhnya yang dianggap sah ialah yang pertama dibaiat. Konsekuensi logisnya ialah, bahwa seluruh pengikut dan masyarakatnya harus patuh dan setia kepada pemimpin tersebut. Adapun khalifah lain yang dibaiat setelahnya dihukumi sebagai baiat yang tidak sah, sehingga haram hukumnya untuk patuh dan setia kepadanya. Bahkan, lebih ekstrim lagi, kalau merujuk pada pengertian eksplisit hadis pertama di atas, Nabi saw memerintahkan untuk membunuhnya.

Merujuk pada dua hadits tersebut, harus diakui bahwa larangan dualisme kepemimpinan dan mengangkat pemimpin tunggal memiliki dasar teologis yang kuat dalam hadis Nabi saw. Namun demikian, pertanyaan krusial yang muncul kemudian ialah, apakah larangan tersebut harus berlaku secara universal, yaitu dengan mengandaikan pemimpin tunggal di muka bumi sebagaimana halnya dalam sistem kekhilafahan di masa silam, ataukah larangan tersebut hanya berlaku secara lokal dalam lingkup wilayah tertentu?

Jika menelaah bererapa literatur klasik, akan dijumpai banyak perdebatan ulama terkait persoalan ini. Al-Nawawi misalnya, pada saat menjelaskan hadis tersebut menegaskan bahwa para ulama telah bersepakat perihal larangan dualisme kepemimpinan dalam satu masa, baik meluasnya wilayah kekuasaan Islam (Dar al-Islam) ataupun tidak.  Pandangan ini pada gilirannya akan berimplikasi pada pemberlakuan larangan dualisme kepemimpinan secara universal, dan bukan secara lokal. Lebih dari itu, pandangan al-Nawawi tersebut, secara otomatis juga bertentangan dengan konsep negara bangsa (Nation State) yang berkembang pada saat ini dan diterapkan oleh seluruh negara modern, termasuk negara Islam.

Namun demikian, pendapat berbeda dikemukakan beberapa ulama lainnya salah satunya al-Juwayni. Dalam hal ini, ia mencoba memberi pandangan yang lebih fleksibel dan proporsional. Menurutnya, apabila jarak antara dua pemimpin sangatlah jauh, maka mengangkat dua pemimpin dalam satu masa diperbolehkan. Pendapat al-Juwaini ini lebih rasional dan sangat mungkin diterapkan pada masa sekarang, karena mengandaikan kepimimpinan tunggal di saat umat Islam telah berkembang dan berdomisili di berbagai belahan dunia sangatlah mustahil, bahkan akan banyak wilayah yang tidak terurus dengan baik.

Sementara itu, dalam literatur hadis, tak ditemukan adanya asbab al-wurud yang melatari kemunculan hadis tersebut. Hal ini tentu menyulitkan kita untuk dapat memahaminya secara utuh. Kendati demikian, hadis tersebut dapat dipahami berdasarkan konteks makro jazirah Arab saat itu. Artinya, meskipun tak ditemukan asbab al-wurud-nya, pemahaman terkait hadis di atas bisa lebih utuh jika memperhatikan situasi sosial politik yang ada pada masa Nabi saw. Untuk mendapatkan pemahaman semacam ini, tentu harus melacak sejarah Islam awal.

Berdasarkan tinjauan historis, larangan dualisme kepemimpinan hadir dalam situasi keberadaan umat Muslim yang pada generasi awal masih sangat terbatas dan belum berkembang secara kuantitas. Umat Islam saat itu masih berkumpul dan berdomisili di satu wilayah dan tidak seluas seperti sekarang, Dalam situasi seperti itu, wajar jika Nabi saw melarang keras dualisme kepemimpinan, sebab akan menimbulkan konflik, polemik bahkan pertumpahan darah bila terdapat dua pemimpin dalam satu wilayah. Tujuan Nabi melarang dualisme kepemimpinan semata-mata hanya untuk mencegah perpecahan dan pertikaian kelompok sekaligus menjaga kesatuan dan keutuhan umat Islam saat itu.

Tak hanya itu, dalam fakta sejarah Islam, larangan dualisme kepemimpinan juga tidak diberlakukan secara konsisten. Terbukti setelah masa Khulafa al-Rasyidin, hanya pada masa Bani Umayah dan awal masa ‘Abbasiyyah saja terdapat satu pemimpin (khalifah) untuk semua umat Islam. Sedangkan pada masa akhir khilafah ‘Abbasiyyah berkuasa, telah berdiri dinasti Fatimiyyah di Mesir. Begitu pula pada saat yang sama, Cordova (Andalusia) juga memisahkan diri dan mempunyai ke-khilafah-an tersendiri (Umayah II). Selain itu, pada masa dinasti Fatimiyyah di Mesir, juga terdapat kekuasaan lain semisal Buyids di Irak-Iran (945-1055). Tak lama setelah itu, muncul pula dinasti Seljuk (1055-1194), padahal, pada saat yang sama, dinasti Fatimiyyah masih tegak berkuasa di Mesir hingga 1171.

Atas dasar pertimbangan sejarah, dapat disimpulkan bahwa dalam konteks kekinian, relevensi dari larangan dualisme kepemimpinan sebagaimana yang terdapat dalam makna redaksional hadis di atas hanya bisa diberlakukan dalam lingkup wilayah tertentu secara lokal, dan bukan secara universal. Kesimpulan ini, sekaligus sebagai kritik terhadap beberapa kelompok pengusung ide khilafah yang mencita-citakan model kepemimpinan tunggal sebagaimana sistem khilafah masa silam. Terakhir, bahwa menginginkan adanya pemimpin tunggal dalam situasi keberadaan umat Islam yang telah meluas ke berbagai penjuru dunia seperti sekarang hanyalah sebuah utopia.

Artikel ini ditulis oleh Mujiburrohman, peneliti hadis di el-Bukhari Institute dan alumni Pesantren Ilmu Hadis Darus-Sunnah Ciputat.