“Kasihan, ya. Beliau punya dosa masa lalu, apa ya?”
Itukah salah satu stigma yang kerap dilontarkan sebagian orang kepada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Pernyataan-pernyataan tersebut didengarkan oleh Bu Padma (bukan nama sebenarnya) ketika ia membeli kebutuhan di pasar. Ia belajar untuk ikhlas meskipun ia pun kerap menangis mendengarkan tuduhan macam-macam yang ditujukan kepadanya.
Bu Padma merupakan orang tua dari anak berkebutuhan khusus bernama Nala (bukan nama sebenarnya). Sejak lahir, Nala dan orang tuanya sudah harus berjuang tanpa henti untuk bertahan hidup. Masuk keluar rumah sakit dan bertemu dokter adalah hal yang tidak dilewatkan oleh Nala dan kedua orang tua.
Setiap ada jadwal untuk periksa dan terapi, Ibu dan ayah mengantarkan Nala. Orang tua bekerja sama dan berkomitmen untuk kesembuhan anaknya. Nala lahir di dunia dengan kelainan pada kepala dan jantung. Bu Padma yang merupakan lulusan Psikologi memilih untuk menemani segala perkembangan putrinya dengan maksimal dengan tidak mengambil pekerjaan di bidang tersebut. Bu Padma dan Pak Adnan (bukan nama sebenarnya) saling menguatkan, apalagi ketika Nala harus melakukan operasi berulang kali.
Pak Adnan pernah mendapatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari kantornya karena sering mengantarkan putrinya untuk melakukan kontrol. Hal tersebut semakin menambah ujian kepada keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Kantornya belum memberikan perlindungan dan kesempatan untuk melakukan tindakan darurat. Ketika itu, biaya pengobatan Nala ditanggung pribadi karena belum ada jaminan kesehatan seperti BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Pak Adnan pun akhirnya melanjutkan hidup sebagai tukang ojek dengan motor milik orang tua. Fasilitas kendaraannya waktu itu juga otomatis dicabut oleh kantor setelah PHK.
Bu Padma rela menggunakan kendaraan umum untuk rutin memeriksakan Nala. Ketika sampai di tempat, Bu Padma dan Nala merasakan kelelahan.
“Akan lebih nyaman kalau fasilitas puskesmas itu ramah anak berkebutuhan khusus, seperti ruang tunggu dengan sofa atau kursi kayu panjang,” ucap Bu Padma.
Ibu dan anak berkebutuhan khusus butuh fasilitas istirahat untuk merebahkan tubuhnya yang mendukung pemulihan energi dan kenyamanan.
Bu Padma rajin memperhatikan perkembangan Nala dengan selalu bertanya kepada dokter, perawat, dan terapisnya. Ia tak ingin terjadi kesalahan dalam memberikan penanganan kepada sang putri. Nala sungguh berjuang ketika harus mengikuti terapi dan periksa rutin.
Bu Padma tidak ingin cerita perjuangannya berhenti begitu untuk dirinya. Ia pun mengunggah cerita perkembangan Nala di sosial media dengan membubuhkan tagar, seprti #jantungbocor #bibirsumbing agar orang tua dari anak lain yang memiliki kondisi sama bisa terbantu dan bertanya menghubungi dirinya apabila suatu saat diperlukan.
Bergabung dengan komunitas orang tua anak berkebutuhan khusus pun sangat diperlukan. Bu Padma dan teman-teman yang memiliki perjuangan sama pun membentuk komunitas orang tua anak berkebutuhan khusus. Dari situ, mereka saling support, membagikan edukasi, dan memberikan informasi terhadap akses terapi maupun bantuan alat, seperti alat bantu mendengar. Terkadang ada syarat khusus dan jumlah minimal untuk mengakses bantuan tersebut.
Komunitas membantu Bu Padma dan sesama orang tua anak berkebutuhan khusus untuk saling bercerita, menjadi ruang aman untuk saling berkeluh kesah mengenai kesulitan-kesulitan yang selama ini mereka hadapi ketika menjadi orang tua.
Anak berkebutuhan khusus punya potensi-potensi masing-masing. Tugas orang tua adalah membimbing, mendukung, dan membantu mereka menemukan jalan untuk menemukan hal yang menjadi potensinya.
Bu Padma dan Pak Adnan sebagai orang tua pun perlu berbagi tugas, saling menemani, menguatkan, dan mengingatkan. Nala dikelilingi oleh orang-orang yang perhatian dan peduli, termasuk kakek dan neneknya. Dukungan dari keluarga sangat penting untuk memberikan semangat Nala terus berjuang dengan hidupnya.
Sayangnya, anak berkebutuhan khusus sering dipandang dengan sebelah mata, kasihan, mendapatkan perundungan, diremehkan, dan dianggap tidak bisa apa-apa. Masih banyak anak berkebutuhan khusus di luar sana yang tidak mendapatkan haknya. Edukasi secara lisan maupun tulisan mengenai anak berkebutuhan khusus itu perlu digaungkan.
Stigma terhadap anak berkebutuhan khusus dapat menimbulkan tindakan diskriminasi yang berasal dari keluarga sendiri, seperti anak tidak diberikan terapi, orang tua tidak menyekolahkan anak, dan anak tidak boleh keluar rumah karena dianggap memalukan. Padahal, mereka punya banyak potensi apabila diarahkan dengan benar.
Kerja sama orang tua, lingkungan, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat sangat diperlukan agar pertumbuhan dan perkembangan anak optimal. Segala bentuk pembedaan dan sikap buruk lingkungan kepada orang tua dan anak berkebutuhan khusus perlu dihentikan dengan edukasi untuk peduli kepada kelompok rentan. Mari menunjukkan empati dengan mendukung orang tua dan anak berkebutuhan khusus dengan cara memberikan semangat, mengantarkan terapi, dan sebagainya. Semua makhluk Tuhan itu patut dikasihi.
(AN)