Di antara sebab munculnya nalar sering mentabdi’ (membid’ahkan) dari sebagian kawan kita dari kalangan “ashabul yamin” itu adalah adanya keyakinan bahwa setiap hadis sahih mesti diamalkan dan setiap hadis dhaif mesti ditolak.
Padahal dalam kenyataannya, satu hadis, sekalipun dia berderajat sahih, ataupun bahkan satu ayat, sekalipun ia berstatus mutawatir, tidak bisa langsung diamalkan sebelum mengkomparasikannya dengan hadis ataupun ayat lain.
Bisa saja satu ayat yang bersifat mutawatir itu atau sebuah hadis yang berstatus shahih itu ditakhsis (dikhususkan maknanya) oleh ayat atau hadis lain yang mempunyai dalalah yang lebih spesifik.
Atau bisa saja ayat atau hadis shahih tersebut ditaqyid (dikait) bentuk kemutlakannya oleh ayat atau hadis lain yang lebih kongkrit.
Atau bisa juga ayat atau hadis sahih tersebut ditabyin (dijelaskan) bentuk kemujmalannya oleh ayat atau hadis lain yang lebih jelas.
Atau bisa juga ayat atau hadis tersebut telah dinasakh (dihapuskan) pemberlakuannya oleh ayat atau hadis lain karena mempertimbangkan sisi kemaslahatannya.
Atau bisa juga ayat atau hadis tersebut dimarjuhkan (dikalahkan) sisi penerapannya karena keberadaan ayat atau hadis lain yang lebih rajih (kuat), dan lain-lain.
Sebaliknya bisa saja hadis dhaif tadi diperkuat statusnya oleh hadis dhaif lain yang punya derajat yang sama atau lebih kuat darinya.
Atau bisa juga hadis dhaif tersebut tingkat kedhaifannya tidak terlalu parah sehingga tetap bisa diamalkan sebagai fadhoilul a’mal sebagaimana dijelaskan oleh oleh Imam Nawawi dan banyak ulama lainnya.
Atau bisa juga hadis dhaif itu diamalkan karena mayoritas ulama mengamalkannya sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al-Tirmidzi, Sayyid Muhammad, dan banyak ulama lainnya.
Atau bisa juga hadis dhaif itu mempunyai semangat atau spirit yang sama dengan tujuan-tujuan dasar syariat (sebut maqashidus syariah) sehingga pada akhirnya masih bisa diamalkan.
Pendeknya jangan membaca kasus apapun dalam agama ini hanya dengan modal satu dalil saja, insyaAllah selamat dan maslahat.