Pandemi Corona yang kini masih berlangsung dan memakan banyak korban jiwa telah menyebabkan banyak negara melakukan sistem lock down atau karantina wilayah, termasuk Mesir yang terkenal dengan seribu menaranya. Pemerintah Mesir meliburkan kegiatan belajar-mengajar mulai dari tangggal 15 Maret lalu, disusul dengan menonaktifkan kendaraan umum dan menutup semua restoran.
Dengan dikeluarkan kebijakan tersebut, pemerintah kemudian menindak tegas siapa pun yang melanggar. Sanksinya sangat beragam, dari denda uang, dipenjara, atau bila sudah tidak bisa diingatkan, warga terancam dapat ditembak. Kami pelajar Indonesia sebagai pencari ilmu di negeri piramida juga turut diimbau agar menaati kebijakan ini meski diiringi kekhawatiran dan kecemasan. Meski demikian, hal tersebut ternyata tidak menyurutkan warga, termasuk orang-orang Indonesia terutama dari kalangan pelajarnya untuk berbuat nyeleneh saat saat genting tersebut.
Sebelum wabah corona menyebar luas, pemerintah Mesir sebenarnya tidak terlalu serius dalam menanggapi kasus yang ada. Yang terjadi kemudian adalah sirkulasi informasi yang keliru dan berita bohong, misalnya semua keturunan Asia membawa virus corona, maka mereka perlu dihindari dan sebagainya. Hal ini mengakibatkan tindakan diskriminatif dan rasisme terhadap orang-orang Asia.
Sudah berapa kali terjadi di sini, warga lokal ketika melihat orang Asia memanggil kami, pelajar dari Indonesia, dengan sebutan ‘china’ ataupun ‘corona’ bahkan hingga menghindar dari kami ketika berada di angkutan umum atau saat melewati mereka di jalanan. Salah seorang mahasiswa pernah melakukan ‘prank’ kepada penduduk lokal dengan berpura-pura batuk saat ditanya, sebagai tanda kekesalannya saat ia dipanggil ‘corona’.
Tidak hanya itu, setelah pengumuman libur sekolah pada tanggal 15 maret lalu, banyak orang kemudian memutuskan untuk berdarmawisata, termasuk sebagian mahasiswa Indonesia yang justru beramai-ramai mengunjungi tempat pariwisata ataupun restoran-restoran yang belum pernah mereka kunjungi. Padahal, pemerintah Mesir sudah jelas mengimbau agar warga tinggal di rumah saja, tidak bepergian ke luar rumah bila tidak ada keperluan mendesak.
Melihat ini, akhirnya seluruh restoran dan tempat pariwisata ditutup mulai tanggal 25 Maret. Walau saat kebijakan ini diterapkan, banyak individu yang masih ngeyel, pun ketika diingatkan mereka segera menyanggah cepat, “Saya hanya takut pada Allah tidak pada corona”.
Sebelas dua belas dengan di Indonesia, wabah corona tidak menyurutkan warga untuk tetap berkumpul. Berbagai diskusi dan kajian masih kerap dilakukan dan bahkan panitia atau ketua komunitas/kelompok masih mewajibkan para anggotanya untuk datang bila diundang. Hal ini juga dilakukan oleh para pelajar dari Indonesia, suatu kali saat polisi melakukan patroli keliling, tampak satu rombongan besar laki-laki bersarung yang keluar dan berjalan-jalan santai tanpa takut didenda.
Bahkan ketika pemerintah telah menetapkan peraturan baru dengan dilarangnya keluar rumah dari jam 5 sore hingga jam 6 pagi, penduduk lokal justru memanfaatkan jalanan kosong untuk balapan motor. Suara knalpot motor sengaja dikeraskan agar terdengar sangat nyaring dan jelas karena jalanan sepi. Selain juga, ada yang sengaja berteriak-teriak kencang untuk memecahkan kebisuan di tengah karantina wilayah.
Di beberapa pemukiman padat penduduk seperti distrik Darrosah, aturan lockdown ketat tidak menyurutkan beberapa kelompok orang untuk nekat keluar dan mengobrol santai. Hal itu baru bisa dihentikan ketika akhirnya patroli mobil polisi datang yang membuat mereka sontak berlarian dan kabur kembali ke rumahnya. Situasi sama juga masih ditemui pada hari Jum’at dan sabtu, warga masih tetap berkeliaran meski pemerintah melarang keras keluar rumah untuk dua hari tersebut.
Keengganan warga di Mesir untuk menaati aturan karantina membuat beberapa orang yang greget merekam perilaku mereka dan menguploadnya di media sosial. Para pelajar Indonesia yang sudah paham kondisi darurat corona juga melakukan hal serupa.
Sayangnya, hal ini belum terbukti efektif. Padahal, bila situasi tidak segera kondusif hingga Ramadan, kita semua yang akan dirugikan. Tentu akan sulit nantinya untuk kita bisa tarawih dan juga mengadakan buka bersama. Sedangkan indahnya bulan puasa tercermin dari ramainya masjid serta banyaknya undangan berbuka. Oleh karena itu, yuk, teman-teman patuhi anjuran pemerintah untuk rebahan saja di rumah!(AN)