Dalam unggahan video yang diunggah pada grup WhatsApp menampakkan seorang perempuan memasuki Masjid dengan membawa Anjingnya.
Dalam video tersebut, perempuan pembawa Anjing dengan lantang mengenalkan dirinya sebagai “saya Katolik”. Kemudian dalam sebuah komentar, ada yang berujar seperti ini:
“orang Kristen bawa Anjing kedalam Masjid pake Sepatu lagi, enggak dilepas. Wajib dibunuh!”.
Bagaimanapun tindakan si perempuan tidak mengindahkan pemandangan. Namun menggunakan peristiwa nahas tersebut untuk menggeneralisir kaum tertentu, merupakan sebuah tindakan keliru.
Kita mesti membedakan mana tindakan individu yang disengaja, mana yang diluar kontrol, dan mana mestinya tindakan atas nama agama.
Bisakah kita membedakan tindakan tersebut? Jika bisa, apakah kita tahu bahwa itu murni tindakan atas nama pribadi? Ataukah atas nama penganut agama tertentu yang baik?
Jutaan ribu manusia di bumi tidak hanya menganut suatu agama saja. Kita tau, ada enam agama yang dianut oleh manusia di bumi ini. Dan dari semua penganut agama tertentu, mesti ada penganut yang tergolong tidak taat (orang yang tersesat) atau bisa juga disebut fasik, zalim, munafik dan lainnya.
Tidak semua penganut agama berperilaku sesuai syariat sesuai perintah dan larangannya, juga tidak ditentukan oleh penganut agama mayoritas atau minoritas. Orang yang beragama juga bukan jaminan bisa berperilaku baik.
Semua orang tau kalau tempat ibadah merupakan tempat yang disakralkan. Entah itu Masjid, Gereja, Vihara, Klenteng dan tempat ibadah lainnya. Yang menjadikan tempat itu terjaga kesuciannya adalah manusianya. Bila ada kotoran yang mengotori tempat ibadah, katakanlah kotoran ayam, kesakralan tempat ibadah tidak akan ternodai bila ada salah seorang yang membersihkan.
Kita tidak bisa menyalahkan begitu saja pada ayam yang telah membuat kotor tempat tersebut.
Bagi saya, berlaku pula dalam menyikapi perempuan tersebut yang membawa serta anjingnya masuk Masjid. Kita tidak semestinya berperilaku kasar terhadap siapa pun. Pun kita tidak tau apakah kita termasuk manusia yang secara agama sudah sesuai syariat.
Untuk menyikapinya menurut saya, selayaknya mengedepankan cara-cara yang arif dan bijaksana.
Rasulullah SAW telah memberikan contoh yang baik terkait masalah seperti di atas.
Ketika suatu haru seorang badui tiba-tiba kencing di Masjid, padahal Nabi ada di dalam Masjid tersebut. Dalam kisah, para sahabat yang menyaksikan kejadian itu kemudian mengangkat pedangnya dan meminta izin Nabi dan siap membunuh orang badui yang telah mengotori Masjid.
Lantas apa tindakan yang diambil oleh Nabi? Nabi kemudian menyikapinya dengan santun dan penuh rasa hormat kepada seorang Badui itu.
Nabi memerintahkan kepada sahabat untuk mengambilkan air secukupnya supaya menyiram bekas air kencing atas ulah seorang badui.
Sementara si Badui dipanggil kemudian diberikanlah wejangan bahwa tempat ibadah (Masjid) itu suci. Untuk itu, siapa pun tidak diperkenankan mengotorinya.
Sikap dan tindakan Nabi tersebut mengajari kita untuk tetap menyikapi orang yang tidak tahu dengan cara-cara yang santun dan baik. Sebab dakwah tidak mesti dengan arogan. Dakwah mestilah dilakukan secara halus dengan ajakan yang baik.
Sangat disayangkan banyak saudara kita yang masih terkungkung dalam jebakan sikap arogan terhadap agama dengan mengesampingkan esensi agama tersebut. Yakni tak lain adalah esensi spiritualitas (ketuhanan).
Bila menelisik kebelakang, hadirnya Islam adalah upaya untuk menyempurnakan akhlak seseorang, yaitu masyarakat setempat yang kehidupannya kacau balau waktu itu, serta merta terhadap budak, mengubur bayi perempuan hidup-hidup, dan lain sebagainnya.
Kita mungkin lupa bahwa agama hadir untuk menunjukkan bagaimana semestinya kita hidup dengan sesama, bersosial yang baik, mengedepankan dialog, gotong royong, penerapan hak-hak manusia, dan tak lupa prinsip agama adalah rahmat bagi seluruh alam “Rahmatan lil’alamin”.
Wallahu’alam.