Kiprah Abdurrahman Wahid dalam dunia manuskrip atau naskah-naskah kuno tampaknya tidak sepopuler manuvernya di panggung politik Indonesia. Apa yang sudah digaungkan kyai kharismatik yang karib disapa Gus Dur itu seputar manuskrip Nusantara patut diakui jarang sekali diperbincangkan di kalangan intelektual kita. Untuk memperingati Haul ke-10 Gus Dur pada 30 Desember mendatang, ada baiknya kita mengulas kembali perhatiannya terhadap naskah kuno karya ulama dunia pada umumnya dan ulama Nusantara pada khususnya. Sebab, manuskrip bisa menjadi jalan masuk kepada spektrum pembangunan peradaban yang lebih luas lagi.
Gus Dur, melalui perantara antropolog Martin van Bruinessen dan filolog Tim Behrend, pernah mempersembahkan 67 naskah kuno kepada Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada awal 1993. Selain PBNU tidak memiliki sarana penyimpanan yang layak, ia beralasan, dengan menyerahkannya ke Perpustakaan Nasional, kandungan dari naskah-naskah tersebut bisa dimanfaatkan oleh masyarakat yang lebih luas lagi. Di sini dia menggarisbawahi betapa pentingnya manuskrip untuk membangun karakter peradaban sebuah bangsa.
Setahun kemudian, tepatnya di Pondok Pesantren Ploso, Kediri, Gus Dur kembali menegaskan pentingnya pemikiran tersebut. Kala itu, mantan Ketua Umum PBNU ini menganalogikannya melalui Qamus al-Ain (dua jilid), kamus Arab pertama karangan Al-Khalil Ibn Ahmad Al-Farahidi (w. 791 M), sebagai salah satu manuskrip yang mampu memperkokoh peradaban Islam kala itu. Munculnya tradisi keilmuan terhadap kajian kebahasaan (dirosah lughawiyah) saat itu dipandang mampu merumuskan makna yang tepat untuk bahasa Arab, khususnya dalam penafsiran Al-Qur’an dan hadis. Perpaduan tersebut pada akhirnya memunculkan pandangan yang lebih humanis dan memunculkan sikap yang disebut Gus Dur “unik” di kalangan cendekia Muslim masa itu. Di satu sisi, para ilmuwan Timur Tengah tersebut memiliki reputasi tinggi dalam ilmu pengetahuan, tapi di sisi lain mereka merupakan manusia yang taat kepada Allah. Keimanan mereka tidak luntur di tengah penyerapan ilmu pengetahuan yang begitu masif dari peradaban lain, dalam hal ini peradaban Eropa.
Memang tidak ada bukti tertulis kapan persisnya persinggungan pertama antara ulama yang lahir 4 Syaban 1359 Hijriah atau 9 September 1940 ini dan naskah-naskah kuno. Yang jelas, faktor latar belakang keluarganya dari kalangan santri—Kiai Hasyim Asy’ari, kakeknya, merupakan ulama terkemuka sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama dan ayahnya, Kiai Wahid Hasyim, menteri agama pertama—dalam memberikan kitab-kitab awal yang dibaca Gus Dur kecil tidak bisa diabaikan. Pendidikan di pesantren pada tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas berturut-turut di Krapyak, Yogyakarta, dan Tegalrejo, Magelang, tampaknya juga kian menajamkan pemahamannya terhadap naskah-naskah kuno karya ulama Nusantara dan dunia. Bahkan, selama pendidikan pesantren di SMA, ia menunjukkan tajinya sebagai seorang santri yang berbakat dalam bidang agama dengan lulus pesantren hanya dalam waktu dua tahun, yang semestinya harus ditempuh selama empat tahun. Prestasinya tersebut menggambarkan betapa Gus Dur sangat khatam berbagai ilmu agama yang diajarkan di pesantren: Al-Qur’an, hadis, syariat, akidah, fikih, tauhid, bahasa, hingga tasawuf. Keparipurnaannya dalam dunia agama ia lanjutkan saat menempuh pendidikan di Al-Azhar, Kairo (meski tidak selesai), pada 1963, dan Universitas Baghdad, Irak, pada 1966.
Naskah-naskah koleksi Abdurrahman Wahid yang kini dikoleksi Perpustakaan Nasional memiliki tema-tema yang diajarkan di pesantren-pesantren di Jawa. Dari total 67 naskah, setidaknya ada sembilan naskah berisi teks fikih, 13 naskah berisi potongan-potongan Al-Qur’an dan doa, empat naskah berisi teks kitab Safinah, sembilan naskah berisi ilmu-ilmu tauhid, empat naskah berisi teks as-Samarqandiyy, dan beberapa jumlah kecil lainnya berisi teks Bidayah al-Hidayah, Aqidah al-Usul, Daqai’iq al-Khaliq, dan Anwa ar-Risalah. Wajar, sebab ia mendapatkan naskah-naskah tersebut dari banyak ulama, santri, dan anggota Nahdlatul Ulama yang menitipkan naskah-naskah bertarikh abad ke-18 hingga ke-20 tersebut kepadanya.
Tak ayal, memang pesantren merupakan salah satu ladang subur lahirnya naskah-naskah utama Nusantara. Gus Dur, dalam esainya berjudul “Syaikh Mas’ud Memburu Kitab” yang terbit dalam majalah Tempo edisi 18 September 1982, menyebut pesantren di Indonesia memiliki tradisi keilmuan agamanya sendiri yang unik dan menarik untuk dikaji, yakni tradisi mengembangkan produk ilmiah dalam bentuk karya-karya tulis para ulamanya. Karya-karya yang dimaksud ialah kitab-kitab keagamaan (akidah, fikih, tauhid, dan tasawuf) yang masih ditulis dengan tangan dan disebarkan melalui metode penyalinan (nasakh)—atau dalam “bahasa pesantren” disebut naskah yang “belum dicap”.
Metode salin-sebar tersebut sebetulnya tumbuh subur pada masa Dinasti Abbasiyah (sekitar tahun 800 M). Menurut filolog asal Denmark, Johannes Pedersen, proses penyalinan kitab-kitab mencapai puncaknya ketika Khalifah Al Ma’mun mendirikan pusat ilmu pengetahuan bernama Baitul Hikmah. Metode salin-sebar pada gilirannya memainkan peran yang sangat penting dalam peradaban Islam. Tak ada yang menarik perhatian orang-orang Muslim kala itu selain ilmu dan seluruh dunia pemikiran yang terkandung di dalamnya.
Inovasi metode serupa pun diadopsi di pesantren-pesantren Nusantara melalui pengajian kitab kuning. Selain meng(k)aji isi kitab, para santri biasanya juga diajarkan untuk menyalinnya. Sebuah metode pembelajaran yang saat itu dinilai efektif untuk mentransfer ilmu. Metode tersebut masih bertahan di pesantren-pesantren tradisional hingga kini.
Tak sedikit kitab karya ulama-ulama Nusantara yang tinggal di Mekah dan Madinah pula didaraskan di Nusantara melalui metode tersebut. Karya yang paling terkenal adalah Kitab al-Hadist al-Arba’in karangan Syekh Nawawi Al-Bantani (w. 1897 M). Kitab ini berisi kumpulan 40 hadis pilihannya yang menjadi rujukan utama pengajaran hadis di pesantren-pesantren Jawa. Yang tak kalah terkenal ulama ini ialah kitab An-Nur Al-Dhalam yang berisi ulasan ilmu tauhid. Kedua kitab tersebut sebetulnya sudah dicetak di Kairo dan Mekah dalam bentuk buku dan diakui secara universal oleh dunia Islam saat itu. Namun, tak sedikit naskah salinannya yang ditulis tangan ditemukan di seantero pesantren Jawa. Mungkin dibawa para santri Nusantara saat belajar di Mekah.
Tidak sedikit juga kitab-kitab dari ulama Timur Tengah “diterjemahkan” —meminjam istilah Ronni Ricci—menjadi teks-teks lokal yang juga diajarkan kepada para santri di Nusantara. Yang paling terkenal adalah Kitab Masa’il Sayyidi ‘Abdallah Bin Salam Lin-Nabi yang diterbitkan di Kairo, Mesir, pada abad ke-19. Di Jawa, kitab yang membahas 1.000 permasalahan dalam agama Islam ini “diterjemahkan”, disalin terus-menerus, dan kemudian diselipkan “ide-ide lokal” oleh para penyadurnya menjadi teks baru, yakni Kitab Samud.
Gus Dur mafhum betul sifat manuskrip sejalan dengan kosmopolitanisme Islam. Kosmopolitanisme Islam acap disuarakan Gus Dur sebagai Islam yang membuka diri dengan peradaban lain, saling belajar, dan beradaptasi agar bisa memberikan klasifikasi berdasarkan kategorisasi yang kompleks. Dalam konteks ini kita perlu menerjemahkan sikap Gus Dur tersebut bukan sebagai suatu sikap yang sinkretis, melainkan mengambil jalan tengah untuk berkembang. Meski terkesan sebagai seorang tradisionalis pesantren, tapi pemikiran Gus Dur melampaui masanya: percaya bahwa setiap bangsa dan peradabannya bisa tumbuh. Dan salah satunya jalan adalah dengan membuka khazanah manuskrip Nusantara dengan beragam tema di dalamnya. Lantas, mampukah kita?
*) Amri Mahbub Alfathon, filolog di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan fellow researcher di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities, Universitas Indonesia (AWCPH-UI).