Menjelang peringatan hari lahir Ibu Kita Kartini linimasa di media sosial biasanya ditandai dengan perdebatan ihwal mengapa Kartini yang dijadikan representasi tokoh perempuan negeri ini, bukan yang lain? Selain masih menyisakan perdebatan di seputar itu, jelang peringatan hari lahir adik dari seorang jenius, Sosrokartono, ini mulai merambah ke isu lain. Salah satunya adalah tema tentang perempuan berhijrah. Hijrah di sini bukan dalam arti pindah tempat tinggal (migrasi) atau lainnya, melainkan pindah paham dan amalan dari yang sudah dibiasakan ke arah keyakinan yang ternyata justru puritan.
Beberapa saat yang lalu di beranda facebook-ku muncul sebuah status dalam dari salah satu akun yang berbunyi, “Aku heran kenapa istriku tiba-tiba mengajak aku hijrah?” begitu isi status salah seorang temanku dalam akun facebook-nya. Rupanya istri temanku itu terkena dampak ajakan hijrah dari postingan status pertemanannya untuk mengamalkan “Islam kaffah”, menurut pemahaman mereka.
Sama seperti temanku yang mengadukan atau curhat atas keanehan sikap istrinya dengan up-date status, seorang jamaah pengajianku juga melaporkan hal serupa. Kata dia, “Istriku juga begitu, mas. Tapi aku katakan ke istriku: Lho, Mah! kita sudah taat mengamalkan ibadah. Saya nafkahi kamu dan anak-anak kita dengan jerih payah dan tetesan keringatku, yang insya Allah semuanya halal. Kamu sendiri sudah memakai jilbab. Terus kita mau hijrah kemana?”
Setelah ditelusuri latar belakangnya ternyata istrinya itu ingin mengenakan cadar dan meminta suaminya untuk alih kerja dari karyawan menjadi pedagang. Konon, alasannya ingin konsisten mengikuti cara hidup Rasulullah dan para istrinya.
“Waah, mengapa bisa begitu?” komentarku. “Ya, mas. Malah istriku juga cerita teman-temannya yang hijrah siap dimadu suaminya asalkan sang suami mau ikut hijrah,” lanjut lelaki yang sekarang lebih aktif mengaji di majelis binaanku.
Aku sendiri belum dapat memberikan jawaban memuaskan perihal masalah itu. Pertanyaannya sudah seriuskah keinginan hijrah para perempuan itu? Akan tetapi dengan menyimak pengalaman tadi tampaknya perempuan sekarang tidak hanya menjadi pangsa pasar potensial produk industri ekonomi semata.
Lewat jejaring media sosial , perempuan juga telah menjadi ajang rebutan industri dakwah agama. Penyebaran konten dakwah dipandang lebih efektif menggunakan media sosial, terutama untuk menyasar kaum perempuan yang secara kuantitatif lebih banyak menggunakan handphone dibandingkan kaum pria.
Perempuan biasanya lebih telaten dan detail membuka dan membaca kiriman status pertemanan mereka. Berbeda dengan lelaki-lelaki yang biasanya hanya membuka dan membaca status pertemanan yang penting dan perlu. Perempuan juga biasanya lebih aktif meng-update status maupun memosting berita dan informasi yang dimilikinya dibandingkan kaum pria. Hal itulah yang menyebabkan penyebaran konten dakwah agama sekarang ini lebih massif di kalangan perempuan.
Hanya saja berkaca dengan ajakan perempuan berhijrah di atas, apakah fenomena itu merupakan puncak kecerdasan perempuan? Atau justru sebaliknya menjadi pertanda gejala stunting atau gagal kembang pemahaman agama kaum perempuan akibat kekurangan asupan dakwah yang mencerdaskan? Wallahu a’lam