Haid adalah tamu rutin bagi seorang perempuan. Hampir sebulan sekali atau dua kali seorang perempuan mengalami haid. Seorang perempuan biasanya tahu kapan dia akan kedatangan tamu istimewa tersebut. Namun bagaimanakah jadinya jika seorang perempuan tiba-tiba haid saat haji?
Bagi perempuan yang haid, tetap di perbolehkan melanjutkan seluruh ritual haji kecuali thawaf. Hukum ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah RA., Rasulullah SAW bersabda:
فاَفْعَلِي ما يَفْعَلُ الحَاجُّ غَيْرَ أنْ لا تَطُوفِي بالبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي
Lakukanlah semua ritual yang dilaksanakan orang-orang berhaji selain thawaf hingga kalian suci.
Tatkala Siti Aisyah pergi berhaji bersama Nabi SAW, Siti Aisyah RA tiba-tiba haid, lalu Nabi SAW bersabda di atas.
Hadis tersebut menjadi dasar kesepakatan empat mazhab bahwa perempuan haid saat haji diperbolehkan melaksakan seluruh rukun haji kecuali thawaf, sebab thawaf harus dilakukan dalam keadaan suci.
Yang dimaksud dengan tidak boleh thawaf, bukan berati hajinya tidak sah. Menurut mazhab hanafi, perempuan haid memang tidak boleh melakukan thawaf, namun dia wajib bersedekah dengan unta badanah, sedangkan sa’i yang dilaksanakan setelah tawaf cukup diganti dengan menyembelih satu ekor kambing.
Sedangkan menurut al-Mughiroh dari mazhab Maliki, sebagaimana dikutip dalam Kifayatul Akhyar. Suci dari hadas kecil dan besar ketika tawaf adalah kesunnahan. Namun jika thawaf dilakukan dalam keadaan hadats kecil tetap wajib meyembelih kambing, sedangkan jika dilakukan dalam keadaan hadats besar, maka wajib menyembelih unta.
Selain hadis riwayat Aisyah RA, ada juga hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas RA.
وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – قَالَ: «أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ، إلَّا أَنَّهُ خُفِّفَ عَنْ الْحَائِضِ» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Ibn Abbas ra. Rasulullah SAW bersabda “Manusia diperintahkan untuk menjadikan tawaf wada sebagai penutup ibadah haji, kecuali bagi seorang perempuan haid karena Ia mendapatkan keringanan.” (H.R Muttafaq alaih)
Dalam Subulus Salam, hadits ini dijadikan dalil bahwa hukum thawaf wada’ itu wajib. Namun bagi perempuan haid boleh meninggalkannya sebagai bentuk keringan baginya. Imam Ibnu Hajar al-Asyqalani juga berpendapat bahwa perempuan haid tidak wajib mengeluarkan apapun. Pendapat Ibnu Hajar ini berbeda dengan beberapa pendapat sebelumnya. (Lihat: Mir’atul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih, j. 9, h. 311)
Pendapat Imam Ibnu Hajar ini juga dikuatkan dengan kaul Sayyidina Umar RA, sebagaimana dikutip dalam Manarul Qari Syarh Muhtashar Shahih al-Bukhari, bahwa hadis yang datang dari Nabi SAW adalah sebagai penguat untuk menjadikan thawaf wada sebagai rukun haji yang wajib dilaksakan. Jika ditinggalkan maka wajib mengeluarkan dam, kecuali bagi perempuan haid maka tidak diwajibkan mengeluarkan dam.
: ويؤكد ذلك قول عمر رضي الله عنه: ” فإن آخر النسك الطواف بالبيت، فهو واجب يلزم من تركه الدم إلاّ أنه يسقط عن الحائض والنفساء،
Dari sekian banyak pendapat yang bersumber dari beberapa kitab mu`tabar, Allah SWT ingin mempermudah hambanya dalam beragama melalui perbedaan pendapat antara ulamanya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Hajj ayat 778:
” وَما جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya: dan tidaklah (Allah) menjadikan atas kalian keberatan dalam agama islam(Al-haj. Ayat 78).
Rasusulullah SAW bersabda, “Perbedaan pendapat di antara ulama umatku adalah rahmat.” Dari penjelasan di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kita bisa memilih salah satu dari beberapa pendapat para ulama. Tujuannya tentu untuk memudahkan kita dalam menjalankan syariat Islam.
Wallahua’lam