Perempuan dan Derajat Kewalian

Perempuan dan Derajat Kewalian

Perempuan dan Derajat Kewalian

Wali dan orang-orang suci dalam pandangan masyarakat menjadi payung peneduh bagi para peziarah makamnya. Keberkahan para wali tidak pernah terputus meski secara fisik ia telah wafat. Persemayaman dan kuburannya menjadi tempat untuk mengais berkah dan sarana (tawassul) bagi hajat hidup masyarakat yang menziarahinya. – Rahal Boubrik

Dalam tulisan https://islami.co/wali-perempuan-dalam-buku-hagiografi-arab/, saya telah memaparkan bagaimana wali-wali perempuan “tersingkirkan” dalam buku hagiografi. Tradisi peminggiran penulisan tokoh-tokoh perempuan ini menurut Rahal tidak hanya terjadi di dunia literasi Islam, melainkan juga dalam tradisi tulis di kalangan Kristen. Jumlah perempuan-perempuan yang diakui kesalehannya oleh Gereja Katolik jauh lebih kecil dibanding dengan laki-laki. Hal ini juga berlaku di dalam tradisi agama samawi lainnya seperti Yahudi.

Artikel pendek ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya. Dalam tulisan ini, kembali merujuk karya Rahal Boubrik, ingin menegaskan bahwa perempuan dalam konsep kewalian juga memiliki posisi yang setara dengan laki-laki. Bahkan dalam beberapa kasus ia justru menjadi guru spiritual bagi sufi laki-laki.

Manusia menurut Ibnu Arabi tunggal. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya sama di hadapan Tuhan. Pandangan ini didasarkan pada filsafatnya sufistiknya Ibnu Arabi tentang “wihdatul wujud”. Dalam futuhat al-Makkiyyah ia menuturkan, “Ketahuilah -semoga Allah menguatkanmu- bahwa pada dasarnya hakikat manusia dilihat dari aspek kemanusiaannya adalah satu. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan”. Menurut pandangan Ibnu Arabi, perbedaan antara keduanya adalah sebab faktor eksternal “amrun ‘aridh“.

Dalam dunia sufisme, laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama untuk mencapai derajat wali quthb “qutbiyyah”: sebuah tingkat kewalian tertinggi. Ibnu Arabi menegaskan, “semua derajat kewalian adalah hak yang sama-sama dimiliki oleh perempuan dan laki-laki, hatta derajat wali quthb”. Quthbiyyah, sebagaimana kita ketahui bersama, dalam tasawuf merupakan puncak tertinggi para arif dan akhir dari tingkatan spiritualitas manusia.

Ibnu Arabi kembali menegaskan, “setiap hak yang diperoleh laki-laki dalam derajat maqamat, maratib, dan sifat-sifat kesufian, juga sangat dimungkinkan dapat dicapai oleh perempuan bilamana Allah menghendakinya sebagaimana Dia menghendaki untuk mengangkat derajat kewalian laki-laki”. Apa yang disampaikan oleh Ibnu Arabi, dan disebut berulang kali ini, sepertinya ia sedang membantah argumen “musuh”-nya yang merujuk secara literal hadis nabi tentang kepemimpinan (wilayah) perempuan. Jangan bingung dengan sabda Nabi yang berbunyi: Tidak akan bahagia sebuah komunitas masyarakat jika dipimpin seorang perempuan. Sebab yang kami bicarakan di sini adalah konteks wali Allah, bukan wali (kepemimpinan) manusia. Sementara konteks hadis tersebut untuk merespons persoalan pemimpin manusia.

Salah satu pembahasan yang diulas oleh Rahal Boubrik yang menurut saya menarik adalah bab yang mengulas tentang fisik perempuan dalam sudut sufisme. Ia memberi judul babnya “al-Jasad al-Untsawi wal Muqaddas” (fisik perempuan dan kesucian).  Ia membagi bab ini ke dalam sub-bab yang cukup menantang. Pertama, ia menggunakan diksi al-jasad al-musytaha (fisik yang diinginkan); kedua, al-jasad al-ghaib wal mu’adzab (fisik yang hilang dan tersiksa); ketiga, al-buka’ al-muththahhar lil jasad (tangisan yang menyucikan fisik); dan keempat, al-jasad al-mutasyawwaq ilal fana’ (fisik yang merindukan fana’).

fisik perempuan dalam pandangan mayoritas dan cukup mengakar kuat adalah sumber fitnah yang terberi kesan karena keindahan dan kecantikannya. Fisik perempuan, dalam pandangan ini, adalah sebuah penanda keburukan dimana setan yang terus menerus mengganggu laki-laki menempat pada fisik perempuan agar terus berbuat maksiat kepada Tuhan. Perempuan adalah fitnah bagi para Nabi dan Rasul.

Fisik perempuan yang selalu disifati sebagai sumber fitnah, kenikmatan, dan hasrat, yang pada gilirannya disebut sebagai aurat yang wajib ditutupi dan harus berada di belakang pasar, mewajibkannya untuk menjaga diri dari lingkungan dan interaksi sosial, membuat mereka sulit untuk keluar dari stigma ini. Dan ini terus terjadi di tengah kehidupan yang oleh banyak orang sebagai dunia modern.

Padahal dalam literatur-literatur tasawuf cukup banyak ulasan yang menempatkan perempuan di posisi yang tinggi. Rahal Boubrik menulis bab kelima dalam bukunya ini dengan judul “al-Matsal al-A’la al-Walai”. Ia mengulas sosok perempuan ideal yang menjadi contoh utama bagi wali-wali perempuan. Fathimah Az-Zahra. Ya, puteri Rasulullah SAW ini, bagi Boubrik, merupakan sosok perempuan paripurna  dan teladan dalam menggambarkan konsep kewalian perempuan.

Wallahu A’lam bis-Shawab

*) Disadur dari karya Rahal Boubrik berjudul Barakat An-Nisa’: Ad-Din Bish-Shigat al-Muannats