Manusia dewasa memikirkan hidup di dunia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhiratnya. Bayi manusia menangis karena butuh asupan air susu dari ibunya. Semua perbuatan mahluk tersebut terlihat biasa saja dan lumrah. Namun, bagaimana jika Tuhan yang ‘berbuat’ sesuatu?
Sebagian ulama meminta kita untuk tidak menggambarkan Tuhan dalam wujud manusia (tajsiim atau penggambaran fisik). Di sisi lain, ada banyak ayat al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan berbuat sesuatu melalui kosa kata yang juga diperuntukkan bagi manusia.
Tulisan ini akan membahas salah satu perbuatan Tuhan yang ditunjukkan al-Qur’an, yaitu mengunci-mati (kha-ta-ma). Dalam al-Qur’an kha-ta-ma dan derivasinya terulang 8 kali dan hanya pada 5 ayat saja yang spesifik membincang perbuatan Tuhan tersebut. Kelima ayat itu antara lain: (1) QS al-Baqarah 2:7, (2) QS al-Jaatsiyah 45:23, (3) QS al-An’aam 6:46, (4) QS Yaasiin 36:65, dan (5) QS asy-Syuuraa 42:24. Lalu, pada hal-hal apa sajakah Tuhan mengunci-mati?
Antara Kha-ta-ma dan Tha-ba-‘a
Manusia menjalani keseharian menggunakan panca indranya. Al-Qur’an menambahkan hati (qalbun, secara harfiah berarti heart atau jantung, namun lebih sering diterjemahkan dengan ‘hati’) sebagai indra yang diposisikan lebih tinggi dibandingkan indra-indra lainnya. Di antara 5 ayat di atas, hati menjadi indra yang sering disinggung, dalam kaitannya dengan kha-ta-ma. Selain pada hati, kha-ta-ma juga ditujukan pada sam’un (pendengaran) dan afwaahun (mulut). Khusus indra penglihatan, entah visual maupun non-visual (basharun, nadzarun, dan wujuuhun), al-Qur’an menggunakan kata ghisyaawatun untuk menggambarkan ditutupnya potensi indra penglihatan.
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan khatmun pada hati membuat manusia tidak mampu merenungkan ayat-ayat Allah. Sementara khatmun pada pendengaran dan penglihatan menghasilkan output keengganan mendengar atau menerima penjelasan tentang al-Qur’an serta keengganan merenungi keajaiban ciptaan Tuhan seperti alam semesta. Dikuncinya mulut tak lain untuk memberi kesempatan bagi anggota badan lain bersaksi atas seluruh amal perbuatan ‘tuannya’ serta mempertanggungjawabkan hak-hak Tuhan yang melekat pada manusia.
Selain kha-ta-ma, kata tha-ba-’a yang terulang 11 kali dalam al-Qur’an digunakan untuk maksud mengunci-mati hati. Dalam telaah saya, kedua kosa kata tersebut digunakan pada topik-topik yang hampir sama, meliputi: (1) kekufuran karena enggan beriman atau setelah pernah beriman, (2) menuruti hawa nafsu dan menolak dakwah utusan Allah, (3) berlaku munafik disebabkan keengganan menjadi sekutu Nabi saat perang, dan (4) berlaku dzalim terhadap keadaan. Lalu, apa perbedaan spesifik antara kha-ta-ma dan tha-ba-‘a?
Dalam kamus Taaj al-‘Aruus min Jawaahir al-Qaamus karya cendekiawan Syiah Sayyid Muhammad Murtadha (1984), dijelaskan bahwa kha-ta-ma dan tha-ba-‘a dianggap sama, yaitu “…menutupi sesuatu dan mencegah sesuatu dari luar masuk ke dalam.” (Jilid 21, hlm 437-445) Dijelaskan pula bahwa keduanya dapat dimaksudkan untuk (1) proses meninggalkan jejak dengan goresan, tanda, dan cap, atau (2) jejak fisik yang ditinggalkan itu sendiri (Jilid 32, hlm 41-48). Karena kedekatan maknanya, sulit rasanya mencari perbedaannya.
Meski begitu, perbedaan muncul saat keduanya dikomparasikan dengan kosa kata lain, yaitu raa-na dan qa-fa-la. Jika disusun secara berurutan, begini hasilnya: raa-na ≥ kha-ta-ma ≥ tha-ba-’a ≥ qa-fa-la. Dari kiri ke ke kanan menunjukkan makin spesifiknya suatu tindakan. Berikut ini penjelasannya.
Kata raa-na diperuntukkan bagi aktifitas menutupi sesuatu agar tidak terlihat, sebagaimana pelaku bisnis yang curang dan disindir QS al-Muthaffifiin 83:14. Kata kha-ta-ma merupakan tindakan manusia mengamankan barang yang telah ditutupi dengan menutup pintu kamarnya. Kata tha-ba-‘a menjadi tindakan lanjutannya dengan jalan menutup pintu rumah. Sementara kata qa-fa-la adalah usaha memberi gembok (bisa pintu kamar, pintu rumah, atau gerbang rumah) sehingga terjadi penguncian maksimal, seperti terkuncinya hati manusia saat enggan mentadabburi al-Qur’an (QS Muhammad 47:24).
Tentang kha-ta-ma yang turut menyasar aspek pendengaran, ada fakta menarik bahwa pendengaran selalu didahulukan dari penglihatan (QS al-Baqarah 2:7, QS al-Jaatsiyah 45:23, serta QS al-An’aam 6:46; pada ayat yang disebut terakhir tidak digunakan kha-ta-ma melainkan a-kha-dza, berarti mengambil).
Seth S. Horowitz dalam pengantar bukunya The Universal Sense: How Hearing Shapes the Mind menjelaskan bahwa suara (dan vibrasi) ada di mana-mana, dari sunyinya hutan hingga berisiknya lautan. Suara bekerja melalui gelombang suara. Dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi gelombangnya, semuanya dapat disimak dan bahkan diteliti. Penglihatan, di sisi lain, seringkali terbatas. Jika dalam keadaan terlalu gelap penglihatan tak mampu bekerja, saat terlalu terang justru berpotensi membutakan mata manusia. Meski begitu, komunitas ilmuwan sepakat jika salah satu di antara pendengaran atau penglihatan menjadi tuna, otak manusia mampu beradaptasi ekstra untuk mendayagunakan indra yang ada sehingga beroleh kapabilitas di atas rata-rata.
Jika Hati Terkunci, Dapatkah Dibuka Kembali?
Ada hadis Nabi yang sangat populer tentang pentingnya memperhatikan hati, di mana darinya bergantung kestabilan jasad manusia. “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh baik. Jika ia rusak, seluruh tubuh juga rusak. Segumpal daging itu ialah hati.” Lalu, apakah hati yang terkunci bisa dibuka kembali? Singkat kata, bisa. Izinkan saya memberi ilustrasi dari beberapa ayat al-Qur’an berikut ini.
QS an-Nisaa’ 4:137 memberi kita gambaran bagaimana labilnya hati dan iman manusia (kisahnya umat Yahudi). Beriman, lalu kufur, beriman lagi, dan kemudian kembali kufur, barulah muncul ancaman tidak diampuninya manusia jenis itu oleh Allah.
Ibnu ‘Asyur dalam At-Tahriir wa at-Tanwiir mengakui bahwa sekalipun QS an-Nisaa’ 4:137 membincang Yahudi, namun baginya, objek pembicaraan ayat tersebut adalah pedagang Makkah yang kufur. Saat bertolak ke Madinah, mereka beriman. Saat pulang ke Makkah, mereka kufur kembali. Dari sini, terlihat bahwa kekufuran itu dilakukan penuh kesadaran dan mungkin juga kesengajaan. Ibnu ‘Asyur menyebut, “…kufurnya seburuk-buruk kufur.”
Sementara pada QS Aali ‘Imraan 3:90, gambaran tak kalah mengerikan tersaji. Ada penegasan tidak akan diterimanya taubat manusia saat memilih kufur setelah pernah beriman. Muhammad Abduh dalam Tafsiir al-Manaar menjelaskan bahwa frasa izdaad al-kufr (bertambahnya kekufuran) terjadi tidak saja dalam bentuk penolakan kebenaran, melainkan juga siksa mereka kepada Nabi dan upaya menghalangi orang-orang saat akan memeluk Islam.
Nah, terlihat bahwa dari kedua ayat di atas, di mana kekufuran tidak (akan) diterima taubatnya oleh Allah, terjadi karena kesengajaan dan agresi para kuffar terhadap kubu Nabi. Jikapun mungkin diterima taubatnya, seperti ditunjukkan pada QS asy-Syuuraa 42:25 dan QS at-Taubah 9:104, maka prasyarat pada kedua ayat itu cukup jelas (perlu dibaca ayat-ayat sebelum dan sesudah kedua ayat itu, agar paham konteks).
Pertama, adanya beberapa cuil keimanan di hati. Kedua, iman yang perlu diikuti amal shaleh (jenis tindakan solutif bagi sesama mahluk hidup). Meski harus diakui, tindakan seperti ini tidak mutlak terlaksana sepenuhnya. Sesekali nakal, berupa masih tercampur-aduknya perbuatan baik dan buruk, masih bisa ditolerir. Ketiga, mengakui salah karena pernah kufur. Bagi yang tetap kufur, adzab pedih disiapkan Tuhan untuk mereka.
Ingin saya utarakan di bagian akhir ini bahwa saat ada secuil niat untuk taubat dari kekufuran dan dengan sepenuh hati sudi menjalani proses beriman, saya kira Tuhan akan memaafkan tindakan buruk kita di masa lalu. Karenanya kha-ta-ma dan tha-ba-‘a dalam arti ‘mengunci-mati’ boleh jadi masih membuka ruang secuil bagi penerimaan ampunan selama manusia yang bersalah memiliki secuil niat dan semangat untuk bertaubat. Selama di dalam diri manusia ada sikap menolak, sebagaimana digambarkan, mustahil penerimaan taubat menjadi sajian manis menjelang kematiannya. Demikian. Wallahu a’lam.