Islamisasi di Nusantara tidak dilakukan dengan perang dan kekerasan. Hal ini menjadi perbedaan mencolok antara Islam di Indonesia dan Timur Tengah.
Azyumardi Azra dalam artikelnya berjudul, “Islamisasi Nusantara; Dakwah Damai” membuktikan hal ini dengan berbagai teori masuknya Islam di Nusantara. Berbagai teori ini bisa menjadi bukti, bukan sekedar hanya untuk membandingkan mana teori yang benar dan masuk akal, melainkan juga untuk melihat adakah teori masuknya Islam yang berkaitan erat dengan kekerasan dan peperangan, ataukah seluruh teori masuknya Islam di Indonesia bermuara pada satu hal yang sama, yaitu perdamaian.
Teori pertama, asal muasal Islam di Nusantara adalah dari Anak Benua Hindia, bukan Persia atau Arabia. Teori ini dipegang oleh kebanyakan sarjana asal Belanda, seperti Pijnappel, ahli dari Universitas Leiden. Teori ini juga diperkuat oleh Snouch Hurgronje yang menyebutkan bahwa setelah pedagang dari Gujarat, baru datang orang Arab keturunan Nabi Muhammad SAW berjuluk Sayyid atau Syarif. Begitu pun juga dengan pendapat sarjana lain, seperti Moquette.
Namun teori ini ditentang oleh Fatimi yang menyebut bahwa teori ini keliru jika salah satu buktinya adalah kesamaan batu nisan Malik al-Saleh dengan batu nisan Gujarat, karena batu nisan tersebut berbeda dengan nisan Gujarat. Bantahan ini kemudian dibantah lagi dan dikuatkan oleh beberapa sarjana lain. Begitupun seterusnya. Ada juga yang berpendapat bahwa Islam datang dari Malabar.
Teori kedua, Islam datang dari Arab. Dalam sumber Cina misalnya disebutkan bahwa pada perempatan ketiha abad ke-7 seorang pedagang Arab menjadi menjadi pemimpin sebuah pemikiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Sebagian orang-orang Arab ini dilaporkan melakukan perkawinan dengan wanita lokal, sehingga membentuk nucleus sebuah komunitas Muslim yang terdiri dari orang-orang Arab pendatang dan penduduk lokal.
Crawfurd juga mendukung teori ini. Menurutnya Islam berasal dari Mesir karena kesamaam Mazhab yang digunakan, yaitu Syafii. Pendapat ini juga diamini oleh sebagian ahli Indonesia, namun bukan abad 12, melainkan abad pertama hijri atau abad 7 Masehi. Satu hal penting yang dicatat Naguib al-Attas adalah bahwa sebelum abad ke-17 seluruh literatur keagamaan Islam yang relevan tidak mencatat satu pengarang Muslim India, atau karya yang berasal dari India. Malahan pengarang yang dipandang Barat kebanyakan dari Persia dan Arab.
Argumentasi Islam datang dari Arab ini ternyata juga senada dengan historiografi lokal yang menyebut bahwa para pendakwah Islam berasal dari Mekah datang ke Nusantara kemudian mendekati penguasa untuk masuk Islam. Historiografi lokal ini juga mencatat peran pentingnya kekuasaan dalam penyebaran Islam.
Hal ini disebutkan dalam beberapa historiografi lokal seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan Hikayat Merong Mahawangsa. Walaupun dalam historiografi lokal ini juga ditemukan banyak mitos dan legenda. Dari beberapa historiografi lokal tersebut setidaknya ada empat hal pokok. Pertama, Islam dibawa langsung dari Arabia; Kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru dan penyair “profesional”–yakni mereka yang memang khusus bermaksud menyebarkan Islam; Ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah para penguasa; dan Keempat, kebanyakan para penyebar Islam “profesional” ini datang ke Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13. Bisa jadi penyebaran Islam sudah masuk di abad pertama Hijri. Namun pengaruh Islam mulai tampat nyata setelah abad ke-12.
Dalam beberapa teori lain juga menemukan unsur ekonomi. Seperti para pedagang diterima oleh penguasa kemudian penguasa tersebut melakukan konversi Islam adalah semata karena ekonomi dan agar penguasa tersebut bisa diterima dalam percaturan perdagangan global, karena para pembawa Islam tersebut adalah kebanyakan pedagang. islam di indonesia dan Timur Tengah
Namun hal itu dilihat sangat bertentangan dengan sumber historiografi lokal tadi. Bahkan ada juga yang membahas bahwa konversi ke Islam besar-besaran merupakan respon atas Kristen, yang dianut oleh penjajah asal Eropa. Namun hal ini juga dibantah berdasarkan tahunnya.
Teori yang lebih masuk akal adalah para sufi pengembara yang terutama melakukan penyiaran Islam di kawasan ini sebagaimana disebutkan oleh A.H Jons. Para sufi mampu mendakwahkan Islam dengan kemasan yang menarik dengan menekankan kesesuaian dengan Islam atau kontunuitas, ketimbang perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal. Atas kharisma guru sufi tersebut mereka dapat menikahi anak-anak raja dan menghasilkan keturunan bangsawan dan memiliki aura spiritual.
Para sufi baru aktif pada abad ke-13 karena sufi tidak terlalu aktif sebelum kejatuhan Baghdad oleh tentara Mongol. Sufi baru aktif setelah itu dan memainkan peran dalam perpecahan wilayah kekhalifahan. Para sufi kemudian memperoleh sarana untuk melakukan perjalanan dari pusat-pusat Dunia Muslim ke wilayah periferi. Tentu hal ini senada dengan sumber-sumber lokal yang menyebut adanya sayyid, makdum dan syekh.
Dari beberapa teori di atas, terlihat dengan jelas bahwa Islam masuk ke Indonesia sama sekali tidak dengan cara-cara kekerasan dan peperangan. Dari kompleksitas teori yang disebutkan, walaupun berbeda-beda, semua mengarah pada satu hal yang sama, yaitu dakwah Islam di Indonesia dilakukan dengan damai. (AN)