Cap Go Meh adalah tradisi masyarakat Tionghoa berupa perayaan budaya sebagai wujud rasa syukur atas rezeki dan berkah dari Yang Maha Kuasa. Cap Go Meh juga menjadi ajang silaturahmi antarwarga demi memperkuat rasa persaudaraan. Dari asal katanya, “cap go meh” berasal dari bahasa Hokkian, “cap go” berarti lima belas, dan “meh” berarti malam. Perayaan ini dilakukan pada hari ke-15 setelah tahun baru Imlek dan menjadi puncak dan hari terakhir dari perayaan tahun baru bagi masyarakat etnis Tionghoa di seluruh dunia.
Di Indonesia, perayaan Cap Go Meh juga dirayakan di berbagai kota, khususnya di wilayah kampung Cina atau biasa disebut Pecinan. Namun di balik segala kemeriahannya, perayaan ini sesungguhnya menyimpan cerita kelam pada masa Orde Baru. Ketika regim Presiden Soeharto berkuasa selama 32 tahun, perayaan sosio-kultural masyarakat Tionghoa—termasuk Imlek dan Cap Go Meh—dilarang dirayakan secara terbuka. Perayaan hanya bisa dilakukan secara tertutup di lingkungan keluarga. Ketentuan ini tertuang dalam Inpres Nomor 14 tahun 1967.
Diskriminasi ini dihapuskan pada masa Reformasi, saat pemerintahan Presiden Gus Dur. Presiden RI ke-4 ini mencabut Inpres tersebut dan sebagai gantinya mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 2000 yang membebaskan masyarakat Tionghoa merayakan Imlek dan Cap Go Meh secara terbuka.
Masyarakat Tionghoa menyambut gembira peraturan ini, meskipun sejatinya masih ada lapis-lapis diskriminasi dan prasangka lain yang mereka derita. Sebagai ungkapan rasa terima kasih yang mendalam, mereka menobatkan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa Indonesia. Pada tahun 2013, semasa pemerintahan Presiden Megawati, hari Imlek resmi ditetapkan sebagai hari libur Nasional.