Yang Terabaikan dari Perayaan Imlek Cina-Muslim

Yang Terabaikan dari Perayaan Imlek Cina-Muslim

Faktanya, hukum perayaan Imlek ini menuai perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang mengharamkan dan ada yang membolehkan.

Yang Terabaikan dari Perayaan Imlek Cina-Muslim

Tahun ini, perayaan Imlek akan jatuh pada 12 Februari 2021. Di tengah pandemi Covid-19, perayaan tahun baru Cina ini dilakukan dengan cara berbeda: dirayakan dengan sederhana dan mematuhi protokol kesehatan.

“Cara-cara baru merayakan Imlek tanpa kehilangan makna dari Imlek sebagai tahun baru, harapan baru, dan keberuntungan baru itu, saya rasa tetap bisa kita lakukan dengan mempertahankan budaya Indonesia, khususnya masyarakat Konghucu dan Tionghoa, namun tetap dilakukan dengan protokol kesehatan,” kata Menkes Budi Gunadi, Kamis (4/02/2021).

Beberapa tahun terakhir, perayaan Imlek di Indonesia mengalami kontroversi, mulai dari penolakan perayaan Imlek di Bogor dari Forum Muslim Bogor (FMB), penolakan Imlek di Semarang, hingga di Kalimantan Barat.

Mengingat adanya Covid-19, kemungkinan besar tidak ada penolakan perayaan Imlek pada tahun ini. Selain itu, kita juga berharap supaya tidak ada lagi penolakan terhadap perayaan budaya lain, jika Imlek dikaitkan dengan ritual kebudayaan. Demikian juga perayaan agama, jika Imlek dikaitkan dengan ritual Konghucu.

Bagaimanapun juga, Indonesia menjujung tinggi Bhinneka Tunggal Ika, keberagaman adat istiadat, budaya, suku, dan lain sebagainya. Selain itu, toleransi beragama juga termasuk hal penting, apalagi Konghucu juga sudah diakui sebagai agama resmi di Indonesia.

Jika ditilik dari sejarahnya, penolakan terhadap Imlek ini merupakan sisa-sisa dari aturan kelam Orde Baru. Setahun setelah Soeharto menjabat sebagai presiden, terbit Inpres No. 14/1967 tentang larangan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina.

Aturan ini melarang perayaan Imlek dilakukan di muka publik. Akibatnya, perayaan Imlek dilakukan sembunyi-sembunyi di lingkungan keluarga. Hal ini seakan-akan menjadikan komunitas Tionghoa tersingkir, serta menumbuhkan stigma eksklusif dan enggan berbaur.

Tiga puluh tiga tahun setelahnya, pada tahun 2000, barulah komunitas Tionghoa dirangkul kembali oleh Gus Dur dengan menganulir Inpres No. 14/1967 melalui terbitnya Inpres No. 6/2000. Sejak saat itu, komunitas Tionghoa bebas menjalankan kepercayaan dan budayanya. Setahun setelahnya, Gus Dur juga meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif dengan Keppres No. 9/2001.

Perayaan Imlek dan Muslim Tionghoa

Menariknya, tahun baru Cina Imlek bukan hanya dirayakan oleh umat Konghucu, melainkan juga muslim Tionghoa.

Di beberapa komunitas pecinan, Imlek bahkan dirayakan di masjid. Sebagai misal, Masjid Lautze di Jakarta, Masjid Syuhada, Masjid Gede Kauman di Yogyakarta, Masjid Agung Jawa Tengah, dan lain sebagainya.

Hukum perayaan Imlek ini menuai perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang mengharamkan dan ada yang membolehkan.

Salah satu pendapat yang membolehkan menyatakan bahwa Imlek adalah tradisi budaya. Tidak diharamkan merayakan Imlek selagi tidak melakukan hal-hal yang dilarang, seperti minum minuman keras, menyantap babi, atau ikut-ikutan sembahyang di klenteng kepada Dewa-Dewi tertentu.

Puspita Indah Lestari dan Amika Wardana dalam penelitiannya berjudul Identitas Muslim Tionghoa Diaspora di Yogyakarta (2018) menuliskan bahwa perayaan Imlek tidak bisa dilepaskan dari identitas mereka sebagai seorang Tionghoa dan identitas agama sebagai seorang muslim.

Sebagai pencarian jati diri, perlu ada perumusan identitas baru untuk bisa menyelaraskan budaya Tionghoa sekaligus tidak menyalahi ajaran Islam.

Oleh sebab itu, bagi sebagian muslim Tionghoa, perayaan Imlek dilakukan untuk mengeratkan hubungan dengan keluarga besar, secara khusus. Atau agar tidak tercabut sebagai identitas Tionghoa secara umum.

Bagaimanapun juga, jika seorang Tionghoa menganut Islam, sementara ia masih hidup di lingkungan non-muslim, hal itu bukanlah situasi mudah. Padahal, manusia merupakan makhluk sosial. Jika demikian, perlu ada penyesuaian dengan lingkungan. Apalagi, selama ini, identitasnya sebagai Tionghoa sendiri pun sudah menyulitkannya di kehidupan bermasyarakat di Indonesia.

Karena itulah, biasanya muslim Tionghoa merayakan Imlek dengan cara mengunjungi kerabat, menghidangkan santapan bersama, baik itu sesama muslim maupun non-muslim.

“Saat Imlek kan keluarga besar biasanya berkumpul. Mungkin keluarganya ada yang tidak memeluk Islam. Ikut berkumpul saja untuk silaturahmi,” kata Ali Karim, Ketua Umum Yayasan Haji Karim Oei/Masjid Lautze.

Melihat perayaan Imlek sebaiknya jangan melalui sudut pandang sempit. Dari penjelasan itu, perayaan Imlek dilihat bukan hanya sebagai selebrasi budaya, melainkan juga dinamika psikologi-sosial yang mendalam. Interaksi yang terjalin berkaitan dengan harmonisasi, solidaritas, dan pemaknaan rasa terikat dengan komunitas Tionghoa setempat.