Pada 14 abad yang lalu terjadi pertempuran Badr (Ghozwah Badr). Tepatnya pada tanggal 17 Ramadhan tahun ke dua Hijriyyah. Dinamakan perang Badr tidak hanya karena bertempat di Badar, melainkan karena posisi peperangan Badr diantara peperangan lainnya seperti posisi bulan badr atau purnama di antara bintang-bintang. Perang Badr disebut sebagai hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan (alAnfal: 41). Perang Badr merupakan pertolongan agung dari Gusti Allah Ta’ala untuk meninggikan kalimat haq dan menghancurkan dominasi kekufuran.
Kalau kita mengamati kembali sejarah, terdapat beberapa sisi yang tak tampak dalam pertempuran Badr, yaitu sebagaimana tersirat dari Firman Allah Ta’ala:
{أَلَّا يَسْجُدُوا لِلهِ الَّذِي يُخْرِجُ الْخَبْءَ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ} [النمل: 25]
“Agar mereka tidak menyembah Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi”
“Allah yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi”. Ayat tersebut memberi isyarat kepada kita semua bahwa di langit terdapat kunuz (harta benda) dan khobaya (sesuatu yang tersimpan dalam langit) sebagaimana di dalam bumi. Harta benda langit keluar dalam bentuk bermacam-macam. Di antaranya adalah sebagaimana yang tersurat dalam firmanNya:
{يُرْسَلُ عَلَيْكُمَا شُوَاظٌ مِنْ نَارٍ وَنُحَاسٌ فَلَا تَنْتَصِرَانِ} [الرحمن: 35]
“Kepada kalian, (jin dan manusia) dilepaskan nyala api dan cairan tembaga maka kalian tidak dapat menyelamatkan diri”.
Cairan tembaga tersebut turun dari langit sehingga ia termasuk bagian dari khob’a samawat (sesuatu yang terpendam di langit). Bentuk lain dari khobaya assamawat (benda-benda simpanan langit adalah; di saat para malaikat turun dalam rangka menolong Rasulullah shollallahu alaihi wasallam pada peperangan Badr. Mereka saat itu turun dengan menunggangi kuda.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa di langit tidak terdapat kuda, bighol atau jenis-jenis hewan lainnya. Para ulama bersepakat bahwa di langit hanya ada satu jenis hewan yaitu buroq. Hewan buroq adalah makhluk langit yang tidak memiliki kaitan dengan bumi beserta isinya. Adapun selain buroq, tidak ada satupun makhluk berupa hewan di langit. Akan tetapi, yang menakjubkan adalah; dalam peperangan Badr para malaikat turun dengan menaiki kuda, memakai pakaian hijau, membawa pedang dan perisai (lengkap menggunakan fasilitas peperangan manusia).
Pertanyaannya adalah; dari manakah perlengkapan perang tersebut? Tidak lain perlengkapan-perlengkapan tersebut datang dari khobaya (gudang penyimpan sesuatu di langit), dimana itu semua termasuk bagian dari ayat:
{وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُونَ (8)} [النحل: 8]
“Dan Allah menciptakan apa yang tidak kalian ketahui.”
Tidak lain pula semua peralatan tersebut datang dari khozain (tempat penyimpanan) di bawah ilmu-Nya yang tersembunyi. Dimana ketika Gusti Allah Ta’ala menghendaki sesuatu tersebut hanyalah berkata kepadanya: “Wujudlah!” maka wujudlah sesuatu tersebut.
Hal tersebut juga memberi isyarat kepada kita; bahwa para malaikat alaihimussalam sebenarnya tidak membutuhkan kuda, pedang atau panah, walaupun pada kenyataannya mereka membawa itu semua. Tidak lain, isyarat tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang bertawakkal kepada Gusti Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala dengan Kuasa-Nya memberikan kepada orang tersebut sesuatu yang dibutuhkan.
Barangkali muncul pertanyaan berikutnya: Apakah semua peralatan perang malaikat yang disebutkan di atas tercipta dari asal muasal yang sama dengan jisim malaikat? Apakah semua peralatan tersebut asal muasalnya adalah mailakat sendiri yang merubah wujud? Dimana mungkin saja malaikat berubah menjadi dua makhluk yang berbeda dalam waktu yang sama? Jawabannya adalah tidak demikian.
Pertama karena isyarat awal mengatakan bahwa semua peralatan perang yang dipakai oleh malaikat adalah dari khozain Gusti Allah Ta’ala. Kedua di antara para shohabat telah mendengar suara malaikat yang berbunyi: Aqdim Haizuum, Aqdim haizuum. Haizum adalah lafadh arobi sesuai dengan wazan Fai’uul yaitu dari kalimat Hazm yang bermakna ikatan kuat. Hal ini pula menunjukkan isyarat bahwa para malaikat alaihimussalam yang mengikuti perang Badar telah dipilihkan oleh Allah Ta’ala kepada mereka nama-nama yang sama dengan bahasanya Kanjeng Nabi shollallahu alaihi wasallam.
Dalam peristiwa Badr, para shohabat Rodliyallahu anhum bertanya kepada Kanjeng Nabi shollallahu alaihi wasallam: “Bagaimana kita membedakan antara hasil bunuhan kita dengan bunuhan malaikat, wahai Rosulullah?” “Apabila diantara kalian menjumpai tubuh mereka terdapat luka bakar, maka yang membunuh orang tersebut adalah malaikat, dan apabila kalian tidak menjumpai luka bakar mereka, maka yang pembunuhnya adalah diantara kalian sendiri” Jawab Rosulullah.
Jawaban Kanjeng Nabi shollallahu alaihi wasallam tersebut memberikan isyarat bahwa pedang dan panahnya para malaikat alaihimussalam terbuat dari api. Sebab apabila senjata tersebut adalah bagian dari malaikat, tentunya tidak berbentuk api, melainkan cahaya. Karena api bukanlah bagian dari tabiat malaikat. Daripada itu, senjata tersebut adalah termasuk dari khozanat samawat.
Di antara sisi tersirat yang paling agung dalam perang Badr adalah; kita semua pastinya pernah mendengar bahwa ada salah satu shohabat ketika Fathu Makkah telah menulis surat yang berisi memberi kabar kepada penduduk Makkah terkait rencana kedatangan pasukan Rosulullah shollallahu alaihi wasallam. Secara dzohir tindakan -memberi tahu musuh- tersebut adalah bentuk dari khianat, baik kepada Gusti Allah Ta’ala dan Rosulullah shollallahu alaihi wasallam.
Dan ketika shohabat tersebut tertangkap telah membocorkan rahasia kepada musuh, sebagian shohabat usul agar kepalanya dipenggal. Namun apa tanggapan Kanjeng Nabi shollallahu alaihi wasallam dalam menghadapi shohabat tersebut? Beliau shollallahu alaihi wasallam mengingatkan para shohabat; “bahwa dia adalah pasukan badr (Badriy), bukankah kalian semua telah mengetahui bahwa Gusti Allah Ta’ala telah dawuh kepada ahlu Badr: “Lakukanlah semua keinginan kalian, Aku telah mengampuni kalian.”
Dari dawuh tersebut menunjukkan bahwa Gusti Allah Ta’ala telah memberi keistimewaan berupa maghfiroh kamilah (ampunan yang sempurna) kepada Ahlu Badr dan tidak melihat apa yang mereka perbuat setelah itu. Walaupun telah mendapatkan keistimewaan tersebut, para shohabat Badr tetap berpegang teguh dengan syari’atnya Rosulullah shollallahu alaihi wasallam. Mereka Rodliyallahu anhum tetap dalam keistiqomahan beribadah, sebab ibadah mereka kepada Gusti Allah Ta’ala bukan dalam rangka ingin meraih maghfiroh belaka, melainkan ibadah mereka kepadaNya karena memang Gusti Allah-lah satu-satunya Dzat yang berhak untuk disembah. Bukan karena mereka takut pada api neraka dan berharap surga
*Selengkapnya, klik di sini