Setiap perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, saya selalu teringat pada Karen Amstrong, penulis asal Inggris, yang telah menulis banyak buku tentang tentang sejarah agama. Saya sangat terkesan berjumpa dengannya, mendengarkan bagaimana ia menceritakan tentang Nabi Muhammad dengan sangat indah.
Dalam kuliah umum (dan promo bukunya, “Compassion”) di Univ. Paramadina Jakarta (2013), antara lain Karen bercerita, kisah favoritnya adalah kisah perjanjian Hudaibiyah. Saat itu, Rasulullah mengajak umatnya di Madinah untuk berhaji ke Makkah, tanpa membawa senjata. Bagaimana mungkin perjalanan menuju markas musuh dilakukan tanpa membawa senjata untuk membela diri? Tapi itulah yang dilakukan oleh Rasulullah yang memang selalu membawa pesan cinta dalam setiap langkahnya.
Lalu, ketika orang-orang Makkah menghalangi masuknya rombongan haji ke Makkah, dilakukanlah negosiasi dan ditandatanganilah Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian ini sangat luar biasa dari sisi compassion dan menunjukkan betapa Nabi Muhammad adalah sosok yang sangat welas asih dan telah melepaskan egonya secara total. Beliau sendiri yang mencoret kata ‘Rasulullah’ dalam naskah perjanjian itu, karena negosiator dari Makkah menolak adanya kata itu.
Yang ada dalam diri Rasulullah hanyalah cinta. Sama sekali tak ada rasa ego dan ketersinggungan saat gelar yang valid dan disematkan langsung oleh Allah SWT itu harus dicoretnya sendiri (dalam naskah perjanjian itu). Gara-gara perjanjian yang sepintas tak adil itu, Nabi Muhammad dikecam oleh sahabat-sahabatnya sendiri. Namun beliau bersabar. Terbukti dua tahun kemudian, welas asih dan cinta Rasulullah-lah yang terbukti ‘menang’, dengan masuknya kaum muslimin secara bebas ke Makkah.
Di web charterforcompassion.org ada transkrip wawancarai Karen dengan jurnalis Belanda, Lisette Thooft. Lisette bertanya, “..bagaimana Anda menjelaskan, kebanyakan teroris sekarang ini terinspirasi dari Islam?”
Karen menjawab, “Terorisme tidak ada kaitannya dengan Muhammad, sebagaimana Perang Salib tidak ada hubungannya dengan Yesus. Tidak ada [hal] dalam Islam yang lebih keras dari agama Kristen. Semua agama telah melakukan kekerasan, termasuk agama Kristen. Antisemitisme dulu tidak dikenal di dunia Muslim: itu adalah [paham] impor dari periode modern. Mereka mendapatkannya dari kita [Barat]. Para misionaris membawanya. Dan kemudian datanglah negara Israel. Yudaisme telah menjadi [agama] kekerasan di dunia modern, akibat negara itu [Israel].”
Selanjutnya, Karen menjelaskan bagaimana kolonialisme Barat terhadap bangsa-bangsa Muslim telah sedemikian menghina mereka. Kolonialisme itu berlanjut hingga hari ini ketika Barat terus mendukung rezim-rezim yang represif. Barat mendukung Saddam, atau Shah Pahlevi yang menembaki ratusan demonstran Iran yang menolak pemaksaan penggunaan baju ala Barat. [Hari ini Trump mendukung penjagal Khashoggi dengan dalih: ‘Saudi sekutu AS untuk melawan Iran’].
Kata Karen, “Semua ini mendorong kaum Muslim ke arah kekerasan. Ketika orang diserang, mereka akan menjadi ekstrim. Tapi sangat sedikit yang setuju dengan terorisme; 93% Muslim menjawab ‘tidak’ saat ditanya apa mereka setuju dengan serangan 911 -dalam survey yang diadakan Gallup. Dan alasan yang mereka berikan sangat relijius. Sebaliknya, 7% yang setuju dengan 911 memberikan alasan yang sepenuhnya politis.”
Tentu, Karen juga menegaskan bahwa sebagian dari para teroris itu memang kriminal, penjahat atas nama agama; di antaranya Osama bin Laden. Tapi sebagian dari mereka adalah orang-orang yang “salah asuhan”.
Karen mengutip interview yang dilakukan oleh psikiater forensik CIA kepada ratusan tahanan teroris di Guantanamo dll, dan si psikiater ini menyimpulkan bahwa ajaran Islam tidak ada kaitannya dengan terorisme. Problemnya adalah kebodohan/ketidaktahuan terhadap Islam. Seandainya mereka mendapatkan pendidikan agama dengan cara yang benar, mereka tidak akan melakukan terorisme.
Sayangnya, ini pula yang sedang terjadi di Indonesia: beberapa survey terbaru di Indonesia menunjukkan banyak sekali guru agama yang teradikalisasi dan mengajarkan Islam dengan cara yang salah. Baru-baru ini, lembaga super-takfiri, Gerakan Muslimah Anti Syiah menyebar undangan kepada guru-guru agama di Bandung untuk ditraining soal “membentengi akidah”.
Semua tahu, alasan utama pembantaian terhadap sesama Muslim yang dilakukan para teroris di Suriah, Irak, Afghan, adalah karena si Muslim itu dianggap punya “akidah sesat”.
Terakhir, ada kalimat dari Karen yang membuat saya terharu:
“Kita harus mengingat betapa beruntungnya kita. Saya telah menyadari ini, berkat perjalanan saya dan berkat studi saya, betapa beruntungnya saya. Dan hal ini datang bersama dengan tanggung jawab. Jika Anda telah diberi ‘tangan yang baik’ (bantuan), Anda harus melakukan sesuatu yang baik dengan ‘tangan’ tersebut.”
Kalimat Karen ini membuat saya berpikir lama, panjang (baru sempat saya tuliskan hari ini). Betapa beruntungnya saya dengan semua yang sudah saya pelajari dan jalani hingga hari ini. Seandainya saya berada di ‘tangan’ yang salah, mungkin saja hari ini saya berada di Idlib atau Kabul, atau di sudut kota di Indonesia, mengadakan training “menyelamatkan akidah”, sambil berhalusinasi tentang perang demi Tuhan.
Anda pun, pembaca tulisan ini, memiliki keberuntungan itu (karena mayoritas pembaca tulisan saya biasanya seide dengan saya; haters biasanya menolak membaca).
Jadi, mari kita bergerak dengan kemampuan yang ada, untuk menyelamatkan mereka yang kurang beruntung. Dengan niat welas asih, dengan cinta, seperti yang diajarkan Sang Nabi.
**
Teriring doa belasungkawa atas gugurnya 43 orang (dan terlukanya 82 orang) yang hadir dalam acara Maulud Nabi di Kabul, Afghanistan, akibat ledakan bom bunuh diri teroris.
**
Wawancara Karen: https://charterforcompassion.org/igb-background-articles-by-karen-armstrong/wahhabism-to-isis-how-saudi-arabia-exported-the-main-source-of-global-terrorism
[Karen menyebut Barat bertanggung jawab dalam penyebaran Wahhabisme -ajaran yang sangat menyimpang dari Islam yang menjadi akar terorisme: https://www.newstatesman.com/politics/uk/2015/11/spread-wahhabism-and-west-s-responsibility-world]