Nama aslinya adalah Muhammad. Ia adalah putra seorang pengembara yang saleh dan taat kepada Allah bernama Idris. Muhammad lebih masyhur dengan julukan al-Syafi’i, yang merupakan nisbat kepada kakek ke-3nya yaitu Syafi’ bin al-Saib.
Konon Syafi’ sempat bertemu Nabi Muhammad SAW, tetapi waktu itu usianya masih sangat belia. Sementara al-Saib, ayah Syafi’ adalah sahabat yang menjadi mu’allaf pada saat perang Badar.
Jika ditelusuri, nasab Imam Syafi’i dari jalur ayah bertemu Nabi Muhammad pada Abdu Manaf, sementara dari jalur ibu, ia adalah keturunan ‘Ad, nama salah satu klan di Yaman.
Dalam kitab al-Futuhat al-Ilahiyyah fi Ahadis Khair al-Bariyyah karya Muhamamad bin Abdullah bin Ismail disebutkan bahwa ketika belum menginjak baligh (satu riwayat mengatakan umur 7 tahun), Imam Syafi’i mimpi bertemu Nabi Muhamamd SAW. Di dalam mimpi itu Nabi bertanya, “Hai anak kecil, kamu tahu siapa aku?” Imam Syafi’i kecil menjawab, “Aku adalah dari Anda, dan Anda adalah dariku.”
Imam Syafi’i kemudian diminta untuk mendekat. Nabi Muhammad meletakkan mulutnya ke mulut Imam Syafi’i sehingga bercampur antara ludah beliau dengan ludah Imam Syafi’i. Lalu Nabi Muhammad mendo’akan Imam Syafi’i dengan do’a keberkahan. Setelah itu – kata Imam Syafi’i, “Aku tidak pernah lagi keliru dalam menghafal hadis dan sya’ir-sya’ir.”
Ketika Imam Syafi’i berusia 54 tahun (150-204 H), ia sakit yang menyebabkannya meninggal dunia. Imam Bujairami dalam kitabnya al-Bujairami ala’ al-Khatib menyampaikan kabar tentang penyebab kematian Imam Syafi’i.
Kira-kira tahun 204 H, Imam Syafi’i pergi ke Mesir dan menetap selama 6 tahun untuk mengajar dan menyebarkan ilmu di sana. Tak disangka, beliau diajak debat oleh salah seorang pengikut Imam Malik yang sangat alim dan faqih (pakar fikih) bernama Asyhab bin Abdul Aziz al-Mishri (ada yang mengatakan bukan Asyhab tetapi Fatyan al-Maghribi. Dan pendapat inilah yang masyhur).
Imam Syafi’i sendiri bahkan memuji kealiman Asyhab. Kata Imam Syafi’i, “Asyhab itu seorang faqih. Sayang, ia punya sifat kepandiran (gegabah;kurang berfikir)”.
Dalam debat itu, Imam Syafi’i mampu mengalahkan Asyhab dengan hujjah-hujjah yang membuat Asyhab harus mengakui kekalahannya, sehingga lidahnya kelu tak mampu berkata apa-apa. Karena tidak terima dikalahkan, Asyhab memukul kening Imam Syafi’i dengan gembok yang menyebabkan Imam Syafi’i sakit selama beberapa hari dan akhirnya wafat pada Jum’at bulan Rajab 204 H. Jenazahnya dimakamkan setelah shalat Ashar di Qarafah al-Shugra (Mesir)
Dikabarkan bahwa Asyhab selalu berdo’a di dalam sujudnya agar Imam Syafi’i meninggal cepat. “Ya Allah, wafatkan al-Syafi’i. Jika tidak, aku khawatir ilmu Imam Malik akan binasa,” begitu do’a yang dibaca Asyhab.
Ketika do’a Asyhab diberitahukan oleh Ibnu Abdi al-Hakam kepada Imam Syafi’i, beliau lalu bersenandung:
تمنى أناس أن أموت وأن أمت * فتلك سبيل لست فيها بأوحد
فقل للذي يبغي خلاف الذي مضى * تهيأ لأخرى مثلها فكأن قد
Ada sebagian orang yang berharap aku mati dan kalaupun aku benar-benar mati
Kematian adalah jalan yang aku tempuh sedang aku bukan seorang diri
Katakan kepada orang yang berharap suatu hal yang berbeda dengan yang telah terjadi
Bersiaplah engkau menghadapi kematian serupa yang pasti akan menghampiri
Begitu terdengar kabar kematian Imam Syafi’i, Asyhab benar-benar gembira dan bersuka cita. Kegembiraannya ia ekspresikan dengan membeli budak dari uang pribadinya untuk dimerdekakan.
Di antara karomah Imam Syafi’i, meski terkenal sangat alim dan faqih, nama Futyan al-Maghribi/Asyhab tak banyak dikenal orang.
Wallahu A’lam