SEBAGAI agama Langit terakhir yang merahmati semesta alam, Islam turun secara bergelombang selama duapuluh tiga tahun. Kota Makkah al-Mukarromah dan Madinah al-Munawwaroh adalah saksi bisunya. Berikut pemakaman para penganut terawal (asabiquna l-awwalun) dan juga Sahabat Nabi Saw generasi perdana (tabi’in). Merekalah yang turut menghidupkan spirit Islam dengan segenap kesadaran, serta keyakinan penuh tak bersyarat. Lantas bagaimana mereka menyangga agama baru yang dibawa oleh manusia terbaik sepanjang masa itu?
Sayyidina ‘Ali karamallahu wajhahu dan Abu Hurairah ra berkata, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda, “Bermula syariat itu beberapa perkataanku, dan bermula thariqat itu beberapa perbuatanku (amalanku), dan bermula hakikat itu beberapa hal-ku (pendirianku), dan makrifat itu kepala hartaku (hasil perolehanku).” Dalam redaksi yang hampir mirip, sabda Nabi Saw itu berbunyi, “Syariat ialah kata-kataku (aqwali), thariqat ialah perbuatanku (a`mali) dan hakikat (haqiqah) ialah keadaan batinku (ahwali). Ketiganya saling terkait dan tergantung.”
Setelah Islam bertumbuh kembang selama 1400an tahun dan menjelma menjadi agama dengan penganut terbesar sedunia, kaum Muslim hanya berkutat pada dua subjek penyangga yang kerap menimbulkan perselisihan tak berujung: syariat dan thariqat (perkataan dan perbuatan Nabi Saw). Beliau berkata-kata dengan bahasa kaumnya, serta bertingkah laku seturut adab kebangsaan masyarakat Arab secara umum. Perkataan dan perbuatannya itu dihapal, ditiru, digugu oleh siapa saja yang ditemui Beliau selama hidup. Generasi ketiga (tabi’ut tabi’in) Islam menamai kecenderungan ini dengan sebutan Sunnah, yang dicatat dalam Hadits.
Alhasil, wajah Islam yang kini kita lihat melulu soal dzahiri (eksoterik), bukan batini (esoterik). Padahal ranah hakikat dan makrifat, sarat dengan peng(alam)an kita pribadi. Bukan tekstual, apalagi kontekstual. Alam dan ilmu itu, berasal dari paduan tiga huruf yang sama dalam bahasa al-Quran (‘ain-lam-mim). Konotasinya mengarah pada Pengetahuan tentang keberadaan diri di jagat raya ini. Lalu siapa di antara generasi pertama Islam yang memegang kunci Ilmu Hakikat dan Ma’rifat? Nabi Saw pernah melansir pesan yang berbunyi, “Ana madinat l-‘ilm wa ‘aliyyun babuha (Aku adalah kota ilmu dan ‘Ali pintunya).”
Namun apa mau dikata, sebagian besar Muslim malah tak mau beranjak dari urusan dzahirnya. Gemar menyoal dosa-pahala. Getol membahas neraka dan surga. Sehingga bangunan Islam yang berdiri, jadi timpang. Limbung tak tentu arah. Padahal jika segala yang di dalam diri sudah ajeg, niscaya ekspresi luarnya jadi ngadek (berdiri). Hakikat Islam adalah kenyataan hidup, dan Ma’rifatnya lah yang menyempurnakan diri kita selaku ciptaan. []
*) Ren Muhammad, 25 Ramadhan 1438 H