Sebagai salah satu cabang ‘ulumul hadis, Ma’anil Hadis menghadirkan berbagai pendekatan dalam memaknai nash, khususnya hadis. Titik tekan kajiannya adalah metode dalam upaya memahami hadis dengan mempertimbangkan berbagai aspek; aspek kebahasaaan, asbab al-wurud, kedudukan Nabi ketika hadis diucapkan, kepada siapa hadis ditujukan, menangkap maksud yang diinginkan Nabi, hingga menerapkannya dalam konteks kekinian (Mustaqim, 2016: 4).
Objek kajian Ma’anil Hadis adalah hadis-hadis yang berada dalam tema yang sama (baca: tematik). Tujuannya adalah untuk mengetahui makna apa yang paling tepat dari suatu permasalahan, apakah cukup jika hanya dimaknai secara tekstual ataukah harus dimaknai secara kentekstual. Sebab, ada kalanya pemahaman tekstualis akan membawa pada truth claim.
Untuk memahami sejauh mana seharusnya teks diteliti dan dimaknai, diperlukan pengetahuan yang menyeluruh, tidak hanya pengetahuan mengenai valid atau tidaknya sebuah teks. Lebih dari itu, pengetahuan yang dibutuhkan melingkupi berbagai aspek, seperti pengetahuan sosial dan budaya Arab saat ‘hadis’ itu diucapkan oleh Nabi. Menurut Syuhudi Ismail, sebagai apa Nabi ketika mengucapkan ‘hadis’ juga akan mempengaruhi pengambilan kesimpulan (Abror, 2017: 4). Nabi yang juga seorang manusia apakah selalu melontarkan kata sebagai seorang rasul, dalam artian bahwa segala ucapannya adalah wahyu yang mesti dijalankan oleh semua orang. Ataukah Nabi mengucapakannya ketika benar-benar sebagai seorang manusia; sebagai kepala negara, tokoh masyarakat, seorang suami, ayah, atau sebagai manusia dalam kedudukan lainnya.
Kembali mengambil masalah jenggot sebagai contoh. Tidak ada hadis yang menegaskan bahwa hukum berjenggot adalah wajib. Dalam hadis hanya disebutkan bahwa jenggot adalah salah satu dari fitrah (lihat HR. al-Bukhari no. 5889 mengenai lima fitrah), yang mana fitrah ini kemudian dimaknai sebagai sunah. Padahal, jika diteliti secara kebahasaan, fitrah berarti sifat alami pembawaan manusia sejak lahir(Munawwir, 1997: 1063). Dalam Lisan al-‘Arab kata fitrah dimaknai dengan al-khilqah (al-Irfiqy, 1993: 56), yang berarti alami, bentuk fisik, susunan tubuh, dan lain sebagainya. Ini bisa dipahami berdasarkan daerah dimana Nabi mengatakannya, yaitu jazirah Arab, dimana jenggot memang merupakan salah ciri fisik mereka.
Alasan mengapa Nabi (seakan) menjadikan jenggot sebagai sunah dengan menyuruh umatnya agar tidak memotongnya bisa dijelaskan lewat hadis lain, yaitu “Sesungguhnya Yahudi dan Nashrani tidak menyemir rambut, maka berbedalah dengan mereka!” (HR. al-Bukhari no. 3462). Pada masa Nabi, Yahudi dan Nashrani membiarkan rambut, kumis, dan jenggot mereka apa adanya, tidak ada usaha untuk merapikannya. Sedangkan Islam mengajarkan agar hidup bersih, maka wajar jika Nabi mengajak umatnya agar berbeda dengan Yahudi dan Nashrani pada saat itu.
Dari kajian kebahasaan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kata fitrah bukan saja bermakna sunah, melainkan juga berarti bentuk fisik alami. Dan dapat disimpulkan bahwa Nabi pada saat mengatakannya adalah sebagai penduduk Arab. Adanya perintah untuk tidak menyamai Yahudi dimaksudkan sebagai identitas dan mudah membedakan antara muslim dan lainnya. Dari sini maka jelas bahwa metode berbeda dalam memaknai teks akan menimbulkan kesimpulan yang berbeda.
Maka, adanya pendapat bahwa jenggot sebagai sunah yang wajib merupakan kekeliruan. Seandainya pun ia tetap yakin bahwa jenngot adalah sunah yang wajib, itu tidak menjadi masalah selama ia tidak menafikan pendapat lain, apalagi melakukan truth claim. Oleh karena itu, Ma’anil Hadis bisa menjadi alternatif dalam mengonter paham dan sikap truth claim di masyarakat, yang mana sikap ini mengancam pluralitas umat beragama, khususnya Islam itu sendiri. Karena dalam konsep ilmu Ma’anil Hadis, semua pemaknaan bisa jadi benar, tergantung metode apa yang digunakan. Selain itu, Ma’anil Hadis juga bisa menjadi alternatif untuk masyarakat dalam upaya membedakan antara syari’at dan budaya. Sehingga, apa yang ada dalam teks tidak selalu dimaknai sebagai syari’at yang mesti dijalankan.