Merebaknya penolakan ataupun perusakan tempat ibadah menambah catatan buruk intoleransi di awal tahun 2020. Mulai dari perusakan musala di Minahasa, penolakan renovasi Gereja Karimun, hingga penolakan tempat ibadah jemaat GKI dan GBI di Hartono Mall Yogyakarta oleh Front Jihad Islam (FJI). Penulis meyakini, masih banyak kasus serupa yang terjadi di berbagai daerah, baik yang diberitakan ataupun yang tidak terjamah oleh media. Baik yang mengalami sulitnya mendirikan rumah ibadah pada tahun-tahun sebelumnya, hingga berlangsung di tahun 2020, pun juga masih banyak.
Penolakan hingga perusakan tempat ibadah menjadi familiar di berbagai pemberitaan media massa saat ini. Seakan menjadi hal yang wajar dan dimaklumi serta menjadi pertanda merebaknya eklusivisme dalam beragama. Sikap eksklusivisme beragama yang lama kelamaan berujung pada tindakan intoleransi.
Mereka yang memiliki pandangann eksklusif hingga melakukan tindakan intoleransi tidak pernah minimbang sisi kemanusiaan, padahal sebagai warga Indonesia, masing-masing memiliki hak yang sama untuk beribadah. Konstitusi kita tidak membedakan dan tidak mengunggulkan salah satu pemeluk agama tertentu. Semua warga negara dengan berbagai macam agama, bahasa dan suku berhak untuk hidup dan dijamin untuk beragama termasuk urusan mendirikan tempat ibadah. Sisi kebangsaan kerap tidak menjadi perhatian mereka yang memiliki pandangan eksklusif, yang diutamakan adalah egosentris ingin menang sendiri.
Sepertihalnya yang dialami oleh pengurus GKI Gejayan, jemaatnya yang sudah ribuan sedangkan kapasitas gerejanya untuk ibadah hanya memuat 700 an orang. “Kami sudah meminta izin pemerintah setempat selama tiga tahun untuk melaksanakan ibadah di Hartono Mall, mas” ujarnya salah satu pengurus saat penulis berkunjung ke GKI Gejayan pada tanggal 04 Januari 2019. Mereka kesulitan untuk mendapatkan izin untuk memperlebar gerejanya, padahal tiap minggu ia melaksanakan ibadah kebaktian 11 kali karena kapasitas gerejanya yang tidak memadai.
Bahkan ketika ada perusakan atau penolakan dari beberapa warga terhadap tempat ibadah, aparat negara biasanya lebih memilih jalan agar kelompok minoritas untuk mengalah. Pernah salah seorang teman yang menghadapi penolakan tempat ibadah di Hartono Mall Yogyakarta, ditanya oleh salah seorang apparatus negara tentang tempat lahirnya. “Pantes masnya nggak asli Yogya, jadi tidak tahu budayanya di sini,” ujar salah seorang polisi kepada teman yang beragama Kristen.
Beragama yang Berlebih-lebihan
Orang yang menghambat berdirinya tempat ibadah agama tertentu, barangkali memiliki tujuan yang baik, agar agama yang dipeluknya tetap eksis. Namun cara dan batasannya tidak tepat sehingga melanggar harkat dan martabat kemanusiaan orang lain. Cara agar agamanya tetap eksis, tidak dengan cara melarang orang lain yang berbeda agama untuk beribadah atau mendirikan tempat ibadah.
Kalau ada paham keagamaan yang melanggar harkat dan martabat kemanusiaan, menurut Lukman Hakim Saifudin, Menteri agama tahun 2014-2019, pasti itu belebih-lebihan. Baginya, ukuran keagamaan seseorang dinilai dari seberapa jauh ia memanusiakan manusia. Ia
juga beranggapan bahwa beragama membuat pemeluknya semakin inklusif, menghargai perbedaan, termasuk perbedaan keyakinan dan beragama.
Beragama secara berlebih-lebihan menjadi sebutan lainnya dari ekstream. Orang yang bertindak ekstream atau beragama secara berlebih-lebihan ada tiga hal yang dilanggar, nilai kemanusiaan dan kesepakatan berbangsa. Begitu juga dengan penolakan serta perusakan tempat ibadah agama tertentu, ia telah beragama secara berlebih-lebihan. Ia tidak sadar kalau sudah melanggar kemanusiaan dan kesepakatan berbangsa.
Nilai kemanusiaan telah dilanggar karena ia tidak memberikan hak kepada umat agama lain untuk beribadah. Kalau menyadari bahwa Allah Swt. telah menciptakan makhluknya dengan beraneka ragam, maka ia menyadari bahwa perbedaan agama adalah sunnatullah. Dengan begitu, ia harus menyadari bahwa penghormatan terhadap pemeluk agama lain adalah suatu hal yang harus dilakukan.
Orang yang melarang pendirian tempat ibadah agama lain juga melanggar kesepakatan berbangsa. Kesepakatan atas berdirinya bangsa Indonesia tidak hanya kesepakatan umat muslim, melainkan juga kesepakatan umat-umat agama lain. Kesepakatan yang diperoleh dari berbagai macam tokoh pendiri bangsa kemudian muncullah landasan negara Indonesia yaitu Pancasila dan semboyan bhinneka tunggal ika.
Penolakan serta perusakan tempat ibadah layaknya sebagai gunung es, atau sebagai peristiwa yang tampak di permukaan. Peristiwa tersebut sudah mulai menjamur, kalau kita biarkan terus terjadi di masyarakat terutama di daerah-daerah, maka penolakan tempat ibadah umat agama tertentu akan menjadi hal yang wajar. Peristiwa penolakan atau perusakan tempat ibadah mulai menjamur bisa jadi karena kita membiarkan sikap eksklusif yang bergitu merebak di berbagai lini, misal di lembaga pendidikan, di pemerintahan desa atau di lembaga-lembaga lainnya. Kita terkadang bak pemadam kebakaran, hanya mengatasi peristiwa-peristiwa intoleransi, tanpa memperhatikan bahwa masjid, lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga lainnya sudah dikuasi oleh kelompok yang memiliki kecenderungan intoleran.
Nur Solikhin, Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana Interdisiplinary Islamic Studies Kosentrasi Psikologi Pendidikan Islam, UIN Sunan Kalijaga.