Fakhruddin ar Razi dikenal sebagai ulama besar dankharismatik. Beliau menguasi menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti Filsafat, sejarah, matematika, astronomi, kedokteran, teologi dan tafsir. Bahkan di setiap bidangnya, Al Razi mampu mengungguli pakar-pakar di zamannya. Tak salah kalau gelar Syeik al-Islam melekat padanya.
Sebagai ulama besar di zamannya, tentu saja mempunyai banyak murid. Salah satu diantaranya bernama Nassabah Ismail bin Husain al Alawi. Dikisahkan suatu hari sang murid berkunjung kepada gurunya. Tentu saja hal ini membuat Syeikh ar Razi senang.
“Wahai Nassabah, aku akan sangat senang kalau engkau mau menulis sebuah kitab yang secara rinci mengupas tentang keturunan Ali bin Abi Thalib. Nanti kalau kitab itu sudah selesai, aku akan sangat senang untuk mempelajari dan menghapalkannya,” ucap Syeikh Fakhruddin.
Mendengar hal itu betapa kagetnya Nassabah. Satu sisi ia merasa ragu, tetapi di sisi lain merasa tertantang untuk menulis kitab yang dimaksudkan oleh gurunya. Setelah selesai bercengkrama dan berdialog dengan gurunya, Nassabahpun pamit.
Hari berganti begitu pula dengan tahun. Akhirnya kitab yang dimaksudkan oleh Syeikh Fakhruddin berhasil diselesaikan oleh Nassabah. Segera ia ingin menemui gurunya. Maka dengan tekad bulat untuk menyerahkan kepada gurunya. Nassabah kepada gurunya . Setelah bertemu dengan gurunya Nassabah duduk ditikar bersama dengan mudir-murid lainnya. Namun gurunya justru menginginkan Nassabah duduk di kursinya.
“Duduk di kursi itu,” perintah Syeikh Fakhruddin.
Sontak Nassabah kaget mendengar apa yang dikatakanan gurunya. Ia ragu dan takut. Serta merta perintah itu kemudian ditolaknya permintaaan sang guru. Namun apa yang terjadi gurunya membentaknya dengan keras.
“Aku sudah bilang duduklah di kursi itu,” kata gurunya sambil menujuk kuris yang biasa didudukinya ketika mengajar.
Akhirnya dengan gemetar Nasabbah duduk dikursi gurunya. Apa yang kemudian terjadi? Ternyata Syeikh Fakhruddin membaca kitab karangan muridnya itu dengan sesekali bertanya dan meminta penjelasan terhadap apa yang tidak dipahaminya.
Setelah selesai, Syeikh FaKhruddin berkata,” Wahai muridku sekarang boleh duduk dimana kamu suka. Tulisanmu ini adalah ilmu yang luas. Kamu sekarang adalah guruku. Dan salah satu etika murid adalah duduk bersimpuh di hadapan gurunya seperti yang aku lakukan tadi.”