Seorang kawan asal Kediri bermain ke tempat saya di Jogja. Dia hanya mampir sebentar, sebelum esoknya melanjutkan perjalanan ke Magelang untuk mengikuti sebuah acara di Borobudur. Dia adalah mahasiswa sejarah di salah satu kampus di kota asalnya. Dia juga aktif dalam sebuah komunitas yang bergerak di bidang pelestarian sejarah dan budaya. Setelah menjemputnya di terminal, saya mengajaknya ke warung makan untuk istirahat dan ngobrol.
“Situs Calon Arang dirusak,” kata dia mengawali pembicaraan.
“Ha? Dirusak bagaimana?” tanya saya penasaran.
“Vandalisme. Ada yang memindahkan posisi benda dan mencoreti lantainya.”
“Dicoreti apa?”
Dia diam sejenak, lantas membuka gawai dan mulai sibuk dengan sesuatu di dalamnya.
“Nih lihat sendiri!” sambil memberikan gawainya kepada saya.
Di sana tertulis: INI BUKAN TEMPAT DI PUJA. INGAT MURKA ALLAH SEPERTI ACEH. SUNAMI.
“Beritanya sudah menyebar di media nasional,” tambah dia, meyakinkan.
Saya pun segera membaca beritanya, dan pembicaraan kami berlanjut lagi. Hingga akhirnya diskusi itu berhenti saat kami menemukan kesimpulan, bahwa ada kesalahpahaman antara masyarakat dan juru kunci situs tersebut. Sang juru kunci telah membangun beberapa fasilitas tambahan di area situs dengan maksud memberi kenyamanan untuk pengunjung. Tapi lambat laun situs peninggalan Kerajaan Kediri itu malah beralih fungsi menjadi tempat pemujaan oleh beberapa pengunjung. Dari situlah masyarakat mulai resah, dan puncaknya adalah perusakan situs oleh oknum tak dikenal.
Saya tak menyalahkan kesalahpahaman yang terjadi, apalagi membenarkan perbuatan syiriknya. Saya hanya menyayangkan adanya perusakan tersebut, entah atas dasar apapun dan oleh siapapun. Sejarah telah membuktikan, bahwa situs-situs adalah guru yang baik untuk belajar dari sejarah atau untuk sekadar mengenang peristiwa lampau. Merusaknya bukanlah tindakan solutif.
Riwayat perusakan situs alias daerah temuan benda-benda purbakala sebenarnya sudah berlangsung lama. Aksi vandalisme pada Situs Calon Arang di Kediri hanyalah menambah daftar panjang perusakan situs di wilayah Jawa Timur. Belum lama ini, terjadi perusakan Candi Kidal di Malang yang ditabrak oleh sebuah mobil, yang diduga sopirnya sedang berhalusinasi. Atau penjarahan batu bata pada Situs Majapahit di Mojokerto, di mana saksi yang mengetahui pencurian itu diintimidasi oleh para pelaku.
Lantas jika ada pertanyaan: Bukankah ini hanya sebuah candi usang yang tak terpakai? Bukankah itu malah baik sebagai upaya pemberantasan syirik dan ajaran puritan? Baiklah.
Pertama, Indonesia adalah negara hukum. Situs merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa yang dilindungi Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Merusaknya berarti melanggar hukum. Kedua, situs merupakan bukti sejarah yang konkret, sebagai penguat bukti lain dalam bentuk catatan. Bukti sejarah seperti inilah yang dapat menjadi pembelajaran bagi generasi selanjutnya.
Ketiga, kita hidup di negara yang memiliki sejarah penyebaran Hindu-Budha yang panjang, sehingga peninggalan sejarah kedua agama tersebut layaknya kita hormati, sebagaimana kita menghormati para pemeluknya saat ini. Biar pun Indonesia kini dihuni oleh mayoritas Muslim, bukan berarti kita bisa sewenang-wenang terhadap agama minoritas.
Sekarang jika ada pertanyaan balik: Bagaimana semisal Indonesia memiliki sejarah penyebaran Islam yang panjang di masa lalu, sedangkan sekarang agama mayoritas ternyata bukanlah Islam? Relakah umat Muslim jika peninggalan Islam dihancurkan dengan alasan “sudah usang” dan “sebagai upaya pemberantasan syirik”? Tentu tidak. Jangankan di negara kita sendiri, perusakan situs-situs peninggalan sejarah Islam di negara lain saja kita sudah ikut merasa kehilangan.
Kelompok ISIS (Islamic State in Iraq and Syiria) adalah contoh paling brutal untuk kasus ini. Sejak menduduki kota Mosul di Irak dan beberapa titik di Suriah, ISIS telah menghancurkan puluhan situs bersejarah. Sampai bulan lalu, gerombolan teroris ini sedikitnya telah menghancurkan 23 makam para sufi dan ulama serta masjid-masjid kuno, 11 gereja dan biara, 14 situs kuno yang berusia ribuan tahun, juga tak luput beberapa perpustakaan dan museum penyimpan artefak serta literatur pra-Islam.
Berdasarkan laporan National Geographic, bahwa jumlah masjid dan makam para ulama serta nabi yang dirusak ISIS jauh lebih banyak daripada rumah ibadah atau situs bersejarah milik agama lain. Di antara makam ulama dan nabi yang dihancurkan mereka adalah makam Nabi Yunus dan Imam Awn al-Din. Kebrutalan ISIS sangat kentara saat mereka menghancurkan bangunan-bangunan sejarah itu dengan cara meledakkan dan membuldozernya.
Tak jauh dari alasan para perusak situs Hindu-Budha di Indonesia, alasan klasik ISIS menghancurkan situs peninggalan Islam di Irak dan Suriah adalah untuk “memberantas syirik” dan “menjualnya untuk mendanai organisasi”.
Jika kita menilik sejarah lebih jauh ke lagi, kita akan menemukan rencana penghancuran situs-situs peninggalan Islam di Mekkah dan Madinah. Kala itu, Abdul Aziz bin Abdul Rahman alias Ibnu Saud sedang gencar menerapkan asas tunggal Wahabi dan memberangus mazhab-mazhab lain di dua kota suci umat Islam tersebut. Umat Muslim sedunia mulai resah saat mereka mendengar bahwa makam Nabi Muhammad, putri-putrinya, serta para sahabat hendak dibongkar. Ibnu Saud beralasan bahwa makam-makam tersebut berpotensi menyeret umat Muslim kepada perbuatan syirik.
Di Indonesia, para kiai pesantren yang sebagian pernah mengenyam pendidikan di Mekkah dan Madinah kemudian menjalin komunikasi untuk membahas persoalan tersebut. Setelah melalui proses komunikasi yang panjang, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Hasyim Asy’ari mengundang sejumlah kiai untuk rapat di kediaman Kiai Wahab di Surabaya.
Pertemuan itulah yang kemudian dikenal dengan istilah Komite Hijaz, yang melahirkan sejumlah tuntutan keberatan atas apa yang akan dilakukan oleh Raja Abdul Aziz. Komite Hijaz adalah cikal bakal lahirnya organisasi Islam terbesar sedunia, atau yang kita kenal sekarang dengan nama Nahdlatul Ulama.
Saya kira, berpikiran sempit adalah hulu dari penghancuran situs yang pernah terjadi. Menghancurkan sebuah situs atas dasar agama namun penuh egoisme dan kemarahan adalah sebuah paradoks. Sudah selayaknya kita harus berpikiran terbuka dan melihat peluang manfaat yang lebih besar pada sebuah benda peninggalan sejarah. Di samping itu, kita juga perlu memikirkan perasaan orang lain (juga agama lain), menghormati keyakinan mereka, dan mulai membangun komunikasi supaya tidak terjadi kesalahpahaman yang sia-sia.
Dalam bukunya Compassion, Karen Armstrong pernah menulis, “jika ingin diperlakukan baik, maka berlakulah baik pada orang lain.”
Mohammad Pandu, pegiat literasi di Islami Institute Yogyakarta.