Subuh tadi ada penjelasan Ulama KH Afifuddin Muhajir yg menarik. Oh iya, selain ngaji al-Mustasfa karya imam Al-Ghazali, kebetulan saya juga ngaji kitab Syarh jam’ul jawami’ karya imam Jalaluddin al-Mahalli. Dua duanya adalah kitab usul fiqh. Saya ngaji lewat youtube.
Pagi tadi ada penjelasan menarik kiai Afif, panggilan ulama kharimatik itu soal “pengelolaan tambang dan pajak negara”. Ini yang keren dari pengajian beliau, ngajinya kitab klasik, tapi bisa digiring dan dikaitkan dengan isu isu kekinian.
Pertama saya tulis teks kitab aslinya dulu, begini bunyinya, “مسألة حكم المنافع قبل الشرع أي مر. وبعده الصحيح أن أصل المضار التحريم والمنافع الحل، قال الشيخ إلا أموالنا لقوله صلى الله عليه وسلم إن دماء كم وأموالكم حرام”
Teks kitab yg dibaca adalah perihal manfaat dan mafsadah yg ditangguhkan hukumnya (موقوف, bahasa fiqhnya) sampai turunnya ayat. Ketika ayat al-Quran sudah turun, barulah hukum itu berlaku. Hukumnya adalah “Setiap sesuatu yg mudorot atau berbahaya itu Haram, dan setiap sesuatu yg mengandung manfaat itu Halal”.
Turunlah sebuah ayat “Kami menciptakan untuk kamu (manusia) sesuatu di muka bumi ini.
Dari ayat itu, barulah muncul sebuah ketentuan hukum “Setiap sesuatu yg mudorot atau berbahaya itu hukumnya Haram, dan setiap sesuatu yg mengandung manfaat itu hukumnya Halal”.
Artinya, ya ambillah manfaat setiap sesuatu yang ada di bumi ini selama mendatangkan manfaat, bisa memancing ikan di laut, menanam sayuran di sawah, termasuk mengelola tambang.
Tapi di sisi lain juga ada ayat yg berbunyi “ولا تفسدوا في الأرض بعد اصلاحها”. Artinya, silakan mengelola tambang tapi jangan sampai menimbulkan kerusakan (mudorot tadi). Berdasarkan ayat yang diteruskan oleh ketentuan hukum barusan, memang pengelolaan tambang hukumnya diperbolehkan (halal) selama menghasilkan manfaat, dan tidak menimbulkan mafsadah atau kerusakan. Tapi apa iya bisa tidak menimbulkan kerusakan dari pengelolaan tambang.
Oleh karenanya satu hal lagi yg perlu kita sadari bahwa tidak ada namanya tidak menimbulkan kerusakan, artinya pasti ada kerusakan sebagai akibat dari pengelolaan tambang. Maka dari itu, penting sekali melakukan pertimbangan yg sangat matang mana yg lebih logic atau masuk akal antara manfaat yg didapat dari pengelolaan tambang, dan kerusakan yg ditimbulkan karenanya.
Kemudian ada pengecualian dari ayat tadi bahwa setiap sesuatu di bumi ini memang diciptakan untuk manusia, artinya silakan diambil manfaatnya. Namun tidak untuk konteks darah (nyawa) dan harta manusia.
Artinya, harta manusia tidak boleh diambil paksa, dieksploitasi begitu saja. Harta manusia adalah milik mereka sendiri, tidak boleh kita mengambilnya, kecuali untuk kewajiban membayar zakat yg menjadi keharusan dalam agama, atau atas kerelaan mereka sendiri. Lalu bagaimana dengan pembayaran pajak, bukankah itu dipaksa oleh negara?.
Dalam hal ini para Ulama sepakat bahwa jika zakat tidak cukup untuk memberantas kemiskinan atau untuk keperluan2 lain, maka orang-orang kaya masih punya kewajiban di luar zakat.
Maka, dalam kasus ini, diberlakukan status darurat karena zakat belum bisa memenuhi kebutuhan negara atau memberantas kemiskinan. Tidak bisa kebutuhan negara tercukupi tanpa kebijakan penarikan pajak.
Oleh karena bolehnya mengambil harta seseorang yg kaya itu masuk dalam konteks Darurat, maka berlaku sebuah kaidah atau aturan yg menjadi konsekuensi turunannya “يقدر بقدر الضرورة/ diambil sesuai kebutuhan saja.
Artinya, kalau yg dibutuhkan adalah sekian, maka jangan dipaksa bayar pajak lebih. Dapat disimpulkan bahwa kebijakan penarikan pajak dari harta seseorang adalah diperbolehkan (halal) selama memenuhi syarat syarat berikut; “penarikannya sesuai kebutuhan, pengelolaannya benar, dan penyalurannya harus tepat”. Kalau semua syarat itu terpenuhi, maka tidak masalah negara menagih paksa harta seseorang lewat kebijakan pajak.
Lalu pertanyaan selanjutnya?, apakah iya Negara sudah memenuhi syarat syarat tersebut. Apakah iya pengelolaan pajak sudah benar, apakah tidak dikorupsi?. Silakan pembaca jawab sendiri..
Wallahu a’lam bis showab..