Entah bagaimana awal mulanya, obrolan santai dengan tetangga saya kemarin siang, tiba-tiba terselipi pertanyaan dengan nada sedikit nganu, “Lha iya, FPI itu kok bisa keras begitu sih bawaannya?”
Saya tercekat. Pikiran saya kemana-mana. Mau coba mengklarifikasi apa yang ia persepsikan, tapi saya nggak punya banyak bukti dan amunisi untuk membantahnya.
Karena dalam lingkaran ngopi itu saya satu-satunya yang dianggap Muslim (meskipun sebenarnya soal Muslim atau Non Muslim ini bukan hak tetangga saya untuk menilainya karena itu adalah prerogatif Tuhan), maka sayalah yang paling ditunggu-tunggu tanggapannya.
“Islam kan tidak selamanya begitu. Ada juga kok yang ramah, yang damai, dan yang suka guyon seperti Gus Dur. Ada juga, yang kelihatannya aja galak, tapi aslinya kan hatinya baik. Seperti Pak Nganu sebelah rumah itu, kan beliau juga sangar begitu, tapi dalemannya kalem hehe..” saya berusaha mencari analogi yang mudah dicerna, sambil berusaha menjaga nuansa santai agar obrolan soal FPI ini tidak semakin keras melantur.
Tak bisa ditutup-tutupi, hari ini agama memang tampil menjadi identitas, padatan-padatan organisasi, pasal-pasal aturan yang mengekang, dan teknis-teknis yang sangat birokratis. Repotnya, dalam kondisi seperti itu, agama secara tak kita sadari ter-formalisasi sebagai lembaga atau institusi, lengkap dengan bermacam afiliasinya: paham, gerakan, perjuangan, sampai hal-hal yang barangkali terlalu teknis seperti cara berpakaian, cara sholat, atau isi khutbah yang benar umpamanya.
Padahal sebenarnya, dalam ranah pribadi, keberagamaan tentu saja tak perlu ditampil-tampilkan atau dipaksakan. Bahkan Tuhan sendiri menyampaikan, kalaupun manusia memilih kafir, biarlah baginya agamanya. Tuhan memberi kebebasan mutlak bagi manusia dalam menempuh jalan kembali padaNya. Agama adalah kedaulatan pribadi tanpa paksaan.
Namun pada tataran sosial, pemahaman dan praktek keberagamaan yang bersifat ‘belakang layar’ itu tak semestinya dibawa keatas panggung pergaulan. Sebab dalam lingkaran kebersamaan, yang perlu dibawa dari Islam adalah buah matangnya, masakan enaknya, keindahan akhlaknya, kebaikannya. Bukan lagi mekanisme, metode, atau syariatnya.
Maka berangkat dari titik pijak tersebut, keislaman seseorang akan mendorongnya untuk menampilkan kebaikan-kebaikan, keindahan-keindahan budi pekerti, sehingga mewujudkan harmoni sosial dalam masyarakat. Sesuatu yang justru sangat dibutuhkan dalam habitat Indonesia yang beraneka ragam perbedaan keyakinan.
“Bagimu agamamu, bagiku kau saudaraku”, begitu quote yang sempat saya lihat dijadikan sablon kaos anak-anak muda. Tanpa bermaksud menjadikan bahan lelucon apalagi merevisi ayat-ayat-Nya, saya rasa quote itu pas sekali untuk menggelitik kesadaran keberagamaan kita.
Dengan itu, agama justru mutlak ada dan menjadi jangkar kesadaran pikir serta tindakan, tanpa perlu selalu ditampak-tampakkan dalam simbol-simbol, identitas, apalagi lembaga-lembaga.
Sebab, pelembagaan atau institusionalisasi agama dapat menimbulkan efek negatif yang tidak melulu pada soal ndakik-ndakik seperti misalkan dalam skala bangsa dan negara, namun sangat mungkin juga terjadi pada ranah sehari-hari yang ada di sekitar kita. Adanya fenomena saling menyalahkan, mendikte, dan kebingungan beragama mengarah pada satu akar masalah yang sama, yakni: formalisasi agama.
Misalkan saja ada orang yang telah baik-baik saja menjalani kehidupan dan kebudayaan sosialnya, sukses pendidikan, juga karir pekerjaannya, nyenengke dalam berteman dan bertetangga. Kemudian tiba-tiba datang ustadz yang mengajarkan bahwa cara beragama yang benar yang begini-begitu, dari cara sholat sampai cara sesrawungan yang kemudian me-negasi kebaikan-kebaikan dalam hidupnya karena tak sesuai tuntunan agama (menurut pemahaman Ustadz tadi dan golongannya).
Wajar jika kemudian orang tersebut merasa hidupnya salah kaprah, gagal total, bahkan merasa tidak beragama. Padahal nyata, dia sedang dalam keadaan baik-baik saja, kecukupan, dan barangkali juga membawa manfaat buat liyan. Bukankah hal-hal positif yang telah dimilikinya hingga kebermanfaatan yang dia cipta adalah substansi ber-Islam yang diinginkan Tuhan?
Kelak, dengan pemahaman agama seperti itu, untuk menuju Tuhan dan menjalani kehidupan beragama dia perlu menunggu tafsir-tafsir Ustadz atas dalil, atau minimal pandangan dan pendapat Ustadz agar dia merasa aman. Ber-Tuhan tak lagi menjadi kedaulatan manusia sebagai ahsani taqwiim karena ia telah di-eksploitasi oleh agama yang menjadi institusi.
Jadi, sekali lagi, Islam bukanlah barang wujud yang kaku dan padat berupa lembaga-lembaga, organisasi-organisasi, atau institusi: ormas, partai, ataupun negara. Bukan. Islam adalah kesadaran, software, operating system, pemahaman, cara pikir, dan terutama, sistem keyakinan yang sangat lembut, cair, dan nir-benda.
Tentu saja kita tidak sedang bermaksud meniadakan syari’at beragama. Namun diatas praktek-praktek ibadah, ritual keagamaan, hingga pergaulan sosial kehidupan, perlu kita ketengahkan gagasan Islam sebagai sebuah kesadaran. Juga sama sekali bukan dalam rangka mengajak hidup sekuler dengan meninggalkan agama, namun sebaliknya, melibatkan agama dalam posisi dan proporsi yang akurat.
Seperti yang pernah dikatakan Gus Dur dengan mengambil contoh Turki yang ambyar pada era Kemal Attaturk karena meninggalkan Islam dalam sendi-sendi kehidupannya, sedangkan pada saat yang sama, Jepang melejit maju karena meletakkan Shinto (pedoman, pegangan, dan pemahaman hidup berTuhan) sebagai penggerak perubahan dan pembangunan di negerinya.
Agama yang dijagrak pada tempat yang tepat, dalam skala pribadi maupun negara, sudah pasti menjadi jalan rahmat. Kiranya dia menyulitkan, membuat runyam, tidak seneng tur nyenengke, maka kemungkinan besar itu belum sebenar-benarnya agama, melainkan kepentingan-kepentingan yang mengatasnamakan Tuhan.