Dalam Tarikh Madinah Dimasyq jilid 8, Ibnu Asakir meriwayatkan pengalaman unik dari perjalanan haji al-A’masy, seorang tabi’in yang dikenal mempunyai kepakaran dalam bidang hadis. Ia banyak meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah. Selain itu, dikenal sebagai sosok muhaddis, ia juga dikenal lantaran sikapnya yang terhitung unik dalam menyikapi sebuah hal.
Dengan pengetahuan dan kedalaman ilmunya, ia bisa menyikapi sebuah peristiwa secara out of the box, tanpa mengurangi nilai dari nasihat ataupun syariat yang sedang diperjuangkan. Salah satu kisahnya sudah pernah saya tulis disini.
Pengalaman unik yang dialami al-A’masy ketika sedang berhaji.
Suatu ketika al-A’masy berangkat haji. Is ditemani oleh dua sahabat karibnya, yaitu Ala’ dan Malik ibn Mighwal.
Ketika sedang ihram, ternyata mereka bertiga bertemu dengan seorang pemilik unta tak dikenal yang agak usil. Tidak dijelaskan secara rinci apa sebab dan bagaimana kejadian yang membuat mereka bertiga merasa terdzalimi. Yang jelas mereka bertiga sangat geram dengan ulah pemilik unta tersebut.
Dalam momen tersebut diceritakan al-Ala’ adalah orang yang pertama maju menghadapi orang tersebut. Dengan tangan kekarnya ia menenteng kepala pemilik unta tersebut.
“Andai saja aku tidak sedang ihram, entah apa yang akan kulakukan kepadamu,” ucap al-Ala’ yang tampak begitu geram. Ia pun melepas cengkramannya.
Sejurus al-’Ala’ melepas tanganya, Malik ibn Mighwal ganti meringkus pinggang dari orang tersebut. Tentu dengan ekspresi penuh kegeraman.
“Untung aku juga sedang ihram, kalau tidak entah apa yang akan kuberikan pelajaran bagimu!” tegas Malik ibn Mighwal yang juga terbakar emosi tapi mencoba menahannya karena masih ihram.
Mereka berdua sebenarnya sangat-sangat emosi dengan ulah tukang unta tersebut, akan tetapi mereka masih ingat salah satu hal yang harus dihindari dalam ihram adalah jidal atau bermusuhan, berkonflik, bantah-bantahan atau bahkan berkelahi.
Tak disangka, dari belakang al-A’masy diam-diam mengambil sebuah tongkat di sekitar situ dan dengan keras dihantamkan kepada orang tidak tahu diri tersebut. Tongkat itu tepat mengenai badan dari pemilik unta tersebut. Usai melepaskan satu pukulan itu al-A’masy berujar:
سبحان الله ولااله الاالله والجمّال يظلمنا
“Maha suci Allah, dan tiada Tuhan selain Allah. Tukang unta ini telah mendzalimi kita”
Kedua temannya pun heran. Mereka berdua sudah berusaha menahan emosi dan amarah karena masih dalam keadaan ihram, lah, kok, al-A’masy dengan entengnya menghantamkan satu pukulan kepada tukang unta tersebut.
“Gimana, sih, wahai al-A’masy, kamu itu masih dalam keadaan ihram tapi malah melakukan hal tersebut, bahkan ia sampi terluka, loh!” protes temannya.
Dengan santai al-A’masy justru mengomentarinya
اسكت من تمام الحج ضرب الجمّال
“Hussstt, diam saja kalian, di antara kesempurnaan Haji adalah dengan memukul tukang Unta ini”
Kedua temanya pun hanya terdiam mendengar penjelasan al-A’masy.
Bukti Kapabilitas al-A’masy
Memang secara umum orang yang sedang berhaji, hendaknya menghindari hal-hal yang tercela. Secara eksplisit, Al-Qur’an telah menjelaskan hal-hal yang tidak boleh dilakukan orang yang sedang berhaji dalam tiga hal: yakni rafats, fusuq, dan jidal. Tiga hal ini termaktub dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 197:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
Artinya: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berdebat di dalam masa mengerjakan haji.”
Namun besar kemungkinan yang dilakukan oleh al-A’masy adalah sebagai pelajaran bagi tukang unta tersebut agar tidak melakukan hal serupa kepada jamaah haji yang lain. Bukan karena hendak berjidal, seperti dalam larangan tersebut. Jika tidak diberikan hukum jera, ia tentu besar kemungkinan akan berlaku demikian.
Selain itu, apa yang dilakukan al-A’masy juga tidak berasal dari ruang kosong, justru itu menunjukkan kedalaman ilmu al-A’masy. Sebagai pakar hadis tentu ia mengetahui sebuah riwayat kejadian hampir serupa yang dilakukan oleh Abu Bakar as-Shiddiq di hadapan Rasulullah.
Dalam Radd al-Mukhtar Ibnu Abidin menyebutkan sebuah riwayat bahwa Abu Bakar As-Shiddiq juga pernah memukul tukang untanya karena kecerobohannya di jalan, hal itu dilakukan Abu Bakar untuk memberi pelajaran kepadanya agar tidak ceroboh lagi.
Dalam riwayat lain, yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim ketika mengetahui apa yang dilakukan oleh Abu Bakar terhadap tukang unta miliknya, Rasulullah hanya tersenyum, dan berseloroh:
انْظُرُوا إِلَى هَذَا الْمُحْرِمِ مَا يَصْنَعُ
“Lihatlah apa yang dilakukan orang yang sedang ihram ini (Abu Bakar)”
Reaksi Rasulullah terhadap apa yang dilakukan Abu Bakar tentu tidaklah kontradikif dengan larangan jidal seperti ayat diatas. Mengingat, pertama apa yang dilakukan Abu Bakar bukanlah termasuk dalam kategori jidal. Akan tetapi lebih itu adalah bentuk pengajaran Abu Bakar terhadap tukang untanya. Selain itu menurut sebagian ulama kalimat Rasulullah dalam peristiwa tersebut juga menunjukkan ingkar halus, jika bisa dengan cara yang lain maka lebih baik.
Walaupun begitu tentu tersulut emosi saat berhaji tetaplah tidak baik, seorang yang sedang ihram hendaknya sekuat tenaga untuk menahan dirinya agar tidak tersulut emosi.
(AN)