Tempo hari saya mengantar 22 mahasiswa terjun ke sebuah desa di kaki Gunung Merbabu. Di sana, mereka akan menghabiskan waktu satu bulan lamanya untuk KKN. Ini tahun kedua saya menemani mahasiswa KKN di Desa Lencoh, desa yang indah dengan dingin yang menusuk tulang. KKN di Lencoh mengingatkan saya bertahun-tahun silam pernah KKN di kaki Tangkuban Perahu. Hawa dingin dan suasana desa mirip belaka.
Lepas dari sejumlah kritik yang dialamatkan pada pelaksanaan KKN selama ini, sebetulnya KKN menjadi wadah yang tepat untuk mahasiswa belajar. Ya, mereka harus belajar dari lingkungan yang mereka tinggali selama satu bulan. Bukan sebaliknya, merasa dari kota dan kampus sehingga berhak menggurui warga desa, mengajari ini itu dan menyuruh begini begitu.
Adapun bagi mahasiswa IAIN/UIN, momen KKN menjadi saat yang tepat untuk mengusung semangat Islam ramah. Islam yang akomodatif. Bukan malah menjadi perusuh dengan gemar menyalahkan tradisi yang sudah sekian lama terbangun di masyarakat, lebih-lebih mengkafirkan dan mengutuk mereka sebagai ahli neraka. Selain kontra produktif, laku semacam itu hanya akan membuat kegiatan KKN mereka bubar jalan.
Sebelum berangkat KKN, mahasiswa kami mengikuti sejumlah pembekalan. Salah satu materi pembekalan adalah mahasiswa diminta untuk selalu mengarusutamakan Islam rahmatan lil alamin. Mahasiswa dituntut untuk bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat. Kesediaan menghadiri tahlilan misalnya, meski sebetulnya secara ideologis ada di antara mahasiswa tidak sepakat dengan tradisi tersebut. Bukan memaksa, tapi permintaan untuk berlaku adaptif dan rendah hati.
Mahasiswa yang saya bimbing menuliskan kegiatan dan pengalaman mereka selama KKN di sebuah blog. Setiap pagi mereka mengunggah tulisan dan saya membacanya. Menarik menyimak pengakuan mereka tentang tradisi tahlil di Lencoh. Menurut mereka acara tahlilan rutin mampu memperkuat ukhuwah warga. Warga nyaris tak punya acara rutin lain yang mempertemukan seluruh elemen selain tahlilan.
Dari tulisan mahasiswa itu kita tahu bahwa mereka telah belajar dan menemukan fakta bahwa tahlilan bukan sekadar ekpresi religiusitas tapi juga soal solidaritas sosial warga. Ini tentu langkah yang baik, setidaknya para mahasiswa memiliki perpesktif yang jernih dalam melihat satu fenomena. Tidak menutup mata dan memandaang tahlilan secara hitam putih, hanya soal benar-salah dan surga-neraka.
Saya membayangkan para mahasiswa akan mendapatkan lebih banyak lagi pelajaran penting di tempat KKN. Sehingga ketika pulang dari KKN mereka semakin mampu meneguhkan Islam yang membawa rahmat bagi semesta. Jika di bangku-bangku perkuliahan mereka memamah teori demi teori, tempat KKN adalah laboratorium awal mereka sebelum nanti lulus, menjadi sarjana dan benar-benar terjun di masyarakat seutuhnya.
Semoga harapan saya terhadap KKN tidak terlalu tinggi. Mengingat sementara mahasiswa lain masih ada yang memaknai KKN sebagai “liburan dan jalan-jalan”. Atau KKN menjadi momentum untuk mencari gebetan dan menelikung pacar orang dengan dalihcinlok. Atau KKN hanya dipenuhi konflik dua kubu yang haus eksistensi. Alangkah remeh temeh.
Tak aneh jika sebelum KKN beredar meme di kalangan mahasiswa: KKN itu bukan baperan, tapi berperan di masyarakat. KKN itu mendukung program desa, bukan menikung pacar orang.