Penetapan waktu sholat subuh di Indonesia terlalu dini yaitu 20 hingga 30 menit. Selama ini fajar dianggap telah terbit ketika matahari pada posisi sudut depresi 20 derajat di bawah ufuk. Kondisi ini setara dengan 80 menit sebelum matahari terbit.
Hal ini dikemukakan oleh Ketua Himpunan Ilmuwan Muhammadiyah Prof. Tono Saksono dalam Seminar Evaluasi Awal Waktu Shalat Subuh Menurut Sains dan Fikih di Jakarta, Selasa. Ia mangatakan bahwa waktu masuknya awal Shalat Subuh yang digunakan di Indonesia selama ini terlalu dini. “ Kita terlalu dini 20 hingga 30 menit dari seharusnya. Hasil ini merupakan riset kami dengan alat Sky Quality Meter (SQM), pengukur kecerlangan benda langit,” ungkapnya seperti dilansir oleh Antara.
Aelama ini fajar dianggap telah terbit ketika matahari pada posisi sudut depresi 20 derajat di bawah ufuk. Kondisi ini yang setara dengan 80 menit sebelum matahari terbit. Hasil observasi sementara, fajar dimulainya Shalat Subuh bagi umat Islam Indonesia baru terjadi saat sudut depresi matahari pada kisaran 11 hingga 15 derajat di bawah ufuk. “Bila dikonversi dalam domain waktu setara dengan 44 sampai dengan 60 menit sebelum matahari terbit. Tidak ada satupun indikasi yang menunjukkan bahwa sinar fajar sebagai tanda awal subuh telah muncul saat matahari berada pada sudut depresi 20 derajat,” katanya.
Penentuan 20 derajat di bawah ufuk merupakan keputusan ulama Melayu di masa lalu untuk menentukan awal masuknya waktu Shalat Subuh. “Akan tetapi dulu memang belum ada peralatan secanggih sekarang. Ketika itu masih mengandalkan pengamatan dengan mata telanjang,”tambahnya.
Hal senada dikatakan oleh Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Prof Dr Thomas Djamaluddin. Menurutnya penggunaan standar 20 derajat di bawah ufuk itu memang sudah waktunya dikoreksi. Jamaluddin mengatakan bahwa perlu pengamatan dari lokasi yang gangguan atmosfernya minimal sehingga tidak akan mendistorsi hasil data. Ketetapan minus 20 derajat tersebut tampaknya diperoleh dari standar yang digunakan di Mesir 19,5 derajat atau dari Saudi 18 derajat di bawah ufuk. Padahal posisi negara-negara tersebut ada di lintang tinggi, dan Indonesia di khatulistiwa.
Menanngapi hal ini Wakil Ketua Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) Sirril Wafa mengemukakan pula NU siap membuka peluang untuk berubah dan mengusulkan perlunya kerja sama riset terkait astronomi antara NU, Muhammadiyah, MUI, Lapan. Sedangkan Wakil Rektor Uhamka Zamah Sari mengatakan untuk mengoreksi standar yang digunakan selama membutuhkan pengujian lanjutan baik dari segi astronomi maupun pemahaman fikih.