Setelah gugatannya ditolak oleh Pengadilan Tata usaha Negara (PTUN) hari ini, Senin (7/5), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berencana untuk melakukan banding kembali putusan itu. Putusan itu sendiri menyatakan bahwa sebagai organisasi HTI tetap ilegal dan dilarang.
Tentu saja, hal ini membuat publik bertanya, bukankah HTI–yang sedari awal menolak sistem hukum Indonesia–kok malah menggunakan cara-cara yang mereka tolak selama ini? Apakah hal ini menandakan inkonsistensi mereka sebagai organisasi dan dakwah?
Terkait hal tersebut, peneliti gerakan HTI dan penulis buku Kontroversi Dalil-Dalil Khilafah Muhammad Sofi Mubarok menyatakan bahwa organisasi yang kerap meneriakkan ganti sistem khilafah ini berkomentar.
“HTI memang mestinya mengikuti dan tunduk kepada landasan ideologi dan konstitusi yg sudah disepakati para founding fathers,” tutur Sofi sebagaimana dikutip NU Online.
Sofi juga kian menegaskan bahwa keputusan HTI dilarang sudah tepat. Pembubaran organisasi ini, menurutnya, juga bisa jadi pemutus sekian mata rantai gerakan-gerakan lain yang juga berpotensi untuk memecah belah bangsa. Apalagi, di tengah negara Indonesia yang begitu plural.
“Baik secara politis maupun sosiologis selalu melakukan gerakan memakzulkan atas pemerintahan yang sah,” ujarnya.
Terkait banding yang dilakukan HTI, Sofi pun berkomentar bahwa hal itu kian menunjukkan HTI tidak konsisten, apalagi sistem yang dianut mereka.
“HTI tidak konsisten dengan jalan pikirannya sendiri,” katanya.
Indonesia sendiri tidak sendirian sebagai negara yang melarang HTI. Banyak negara-negara lain juga melakukan hal serupa, mulai dari Turki hingga Jerman.