Peneliti senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi menyampaikan bahwa gerakan 212 yang berhasil memenjarakan mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok bukanlah puncak dari radikalisme di Indonesia. Namun aksi tersebut justru sebagai kran pembuka meningkatnya kasus radikalisme di Indonesia.
“Ada yang berpendapat jika aksi 212 dan demo-demo anti Ahok merupakan puncak radikalisme. Namun yang terjadi sebenarnya adalah gerakan tersebut justru menjadi kran yang membuka peningkatan radikalisme di Indonesia,” papar Burhanudin saat rilis survei LSI di Hotel Sari Pasific, Jakarta Pusat (24/9).
Pernyataan tersebut berdasarkan pada hasil penelitian LSI yang mendapat temuan meningkatnya tren intoleransi dalam politik sejak 3 tahun terakhir. Mayoritas warga muslim keberatan jika non-muslim menjadi kepala pemerintahan (bupati/walikota, gubernur, wakil presiden atau presiden).
Di akhir 2016 saat awal mula munculnya demo terhadap Ahok, tingkat intoleransi politik berada di 39 persen. Pada tahun 2017 naik menjadi 49 persen, dan pada 2018 terjadi peningkatan kembali ke angka 52 persen.
Menurut Direktur Eksekutif Indikator Politik tersebut, bisa jadi responden muslim menolak kepala pemerintahan berasal dari non muslim dengan argumen dalil kitab suci. Hanya saja Indonesia bukan merupakan negara Islam.
“Sayangnya kita bukan negara Islam. Dalam konteks demokrasi apapun latar belakang etnik dan agamanya punya hak sama untuk menjadi pejabat publik,” ujarnya.
Ia melanjutkan, aksi 212 yang diperkirakan bersifat temporal dan akan selesai begitu Ahok berhasil dipenjara, justru dampaknya masih berlanjut hingga saat ini. Imbas dari gerakan tersebut tak hanya meningkatkan tingkat intoleransi dalam hal politik, namun mulai menyasar pada intoleransi sosial keagamaan.
Hasil riset LSI bersama Wahid Institute, di 2016 terjadi penurunan tren intoleransi sosial kegamaan sejak 2010. Namun pada level intoleransi ini, justru terjadi peningkatan di tahun berikutnya setelah terjadi demo 212.
“Mereka juga umumnya keberatan jika non-muslim mendirikan rumah ibadah di sekitar wilayah mereka. Yang paling rendah intoleransi adalah jika non muslim mengadakan kegiatan agama”, kata Burhanudin.
Direktur The Wahid Institute Yenny Wahid menanggapi jika memang benar terjadi kecenderungan peningkatan intoleransi di Indonesia akibat sentimen sara yang digunakan di ajang politik. Namun menurutnya kasus semacam ini tak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga sedang menjadi tren di belahan dunia lain.
Yenny juga memprediksi jika narasi agama akan kembali dimainkan di kontestasi pemilihan Presiden tahun depan. “Menghadapi pilpres, faktor agama akan menjadi isu di perpolitikan ke depan, baik oleh kedua kubu. Oleh karena itu kita harus melakukan langkah untuk mengatasinya. Kita bebas mendukung siapapun. Namun jangan sampai menggunakan isu hoax dan tak berdasar,” ujarnya.
Ia menambahkan, bahwa bangsa Indonesia tidak disatukan karena kesamaan etnis, bahasa, atau agama seperti yang terjadi di negara lain. Namun bangsa ini bersatu karena kesatuan rasa ingin menjadi negara yang merdeka yang tak lagi dijajah, negara yang membawa keadilan dan kesejahteraan untuk masyarakatnya.
“Rasa ini lah yang menyatukan kita. Bila rasa ini mulai pudar, apa lagi yang akan mengikat kita? Ini menjadi persoalan besar,” ujar Yenny,