Pendidikan agama di Indonesia memiliki sejarah panjang. Ajaran Hindu dan Buddha memengaruhi budaya Indonesia dan berlanjut pada masa kerajaan-kerajaan di Nusantara. Lalu Islam masuk melalui jejaring ulama dari Arab maupun negeri-negeri sekitar Nusantara. Kemudian agama Kristen diperkenalkan oleh bangsa Eropa di Indonesia. Tak dikesampingkan pula pelbagai agama adat, seluruhnya memiliki pendidikan keagamaan sebagai langkah penjaga eksistensi masing-masing.
Konon bermula dari interaksi ekonomi umat muslim dari berbagai daerah yang intens dengan masyarakat Nusantara tempo dulu, lalu berkembanglah sistem surau, masjid. Lambat laun berkembang pula pesantren sebagai model institusi pendidikan. Ajaran Islam mulai luas dikenal, disampaikan lintas generasi secara kontinyu dan berkesinambungan di pesantren, meski mengalami banyak konflik dan hambatan pada masanya.
Seiring zaman, pendidikan agama Islam di Indonesia mulai banyak mengalami pembaharuan. Persebaran warga Indonesia ke berbagai negeri turut membentuk ide-ide modernisasi pendidikan, tak terkecuali pendidikan agama Islam. Sistem pendidikan yang digunakan dalam menyampaikan pelajaran-pelajaran agama mulai mengadopsi sistem dari Eropa maupun negara-negara Arab yang juga sedang mengalami “wabah pembaharuan”, termasuk pesantren dan madrasah. Pesantren pun mulai memasukkan ilmu non-agama dalam kurikulumnya, serta perubahan kultur “santri berpeci-sarung” ke “santri berdasi-celana”.
Pendidikan Indonesia mulai berkembang pesat. Sekolah dan universitas didirikan, pengkajian sains dan ilmu-ilmu sosial digalakkan demi menopang kehidupan masyarakat dalam menghadapi era modern. Patut diperhatikan, secara perlahan porsi pendidikan karakter kebangsaan, salah satunya pendidikan keagamaan, mulai berkurang. Hingga saat ini, kurikulum maupun kegiatan sekolah dari tingkat dasar hingga menengah kurang mewadahi pendidikan agama sebagai kebutuhan yang mendesak.
Memang tuntutan dunia saat ini mengharuskan seseorang mampu menguasai ilmu-ilmu saintifik, sehingga ia diharapkan memiliki kemampuan yang kompetitif. Meski demikian, konon para bapak Republik Indonesia, meski berkutat pada persoalan politik dan sosial kebangsaan. Di masa kecil mereka “dipaksa” orang tua agar tetap dekat dengan ulama setempat. Para kyai, para Buya, adalah rujukan sikap keagamaan para pendahulu bangsa. Pendidikan agama bukan hal yang patut dikesampingkan.
Zaman teknologi saat ini rupanya menyamarkan banyak hal dalam bagaimana cara masyarakat mempelajari agamanya. Ulama yang memiliki kapasitas keilmuan, kalah pamor dengan ulama yang pandai berorasi belaka.
Selain itu, di tengah gersangnya rasa keagamaan di abad modern khususnya bagi masyarakat perkotaan, muncullah ide pendidikan-pendidikan agama formalistik. Agama diajarkan sebagai sesuatu yang tidak menyatu dengan kehidupan, seakan-akan cukuplah hanya dengan bersembahyang dan melaksanakan perintah-perintah agama secara tekstual dan kaku, urusan beragama dianggap selesai.
Peluang ini dimanfaatkan dengan baik oleh kalangan Islam yang dengan penampilannya mudah menguasai masjid-masjid di perkantoran maupun kampus, perlahan tapi pasti mulai mempengaruhi publik. Islam yang santun lagi luwes, digantikan dengan ajaran Islam yang terasa sangat kering. Agama hanyalah soal hukum dan ritual. Agama tercerabut dari nilai masyarakat yang ada. Islam dianggap harus dilaksanakan dengan keseluruhan sesuai yang mereka pahami, dan yang tidak sejalan dipersalahkan.
Kembali membicarakan pendidikan agama, universitas ternyata menjadi lahan penanaman nilai-nilai Islam yang formalis, dan tentu ini cukup meresahkan. Ajaran ini mendapat perhatian yang cukup kuat dari kalangan yang haus akan ajaran Islam. Ketidakmapanan ilmu-ilmu agama ini membuat mereka mudah percaya pada doktrin-doktrin teks agama yang membuat agama terasa begitu sempit dan kaku. Dengan pemahaman ini, mereka berani tampil. Lantas? Muncullah ulama-ulama baru yang jago orasi tapi kurang mengandung isi.
Hal yang juga mengkhawatirkan lagi adalah agama tidak diamalkan seiring dengan denyut kebudayaan bangsa. Agama yang berpegang teguh pada substansi dalam pelaksanaannya adalah hal yang dibutuhkan dalam menghadapi gerakan-gerakan Islam formalis yang membayangi generasi muda saat ini.
Para pendakwah terdahulu di Indonesia telah memperkenalkan ajaran Islam yang amat terbuka pada nilai-nilai kebudayaan. Mereka mengedepankan tata moral yang berasal dari kearifan lokal dibanding lafal tekstual agama yang telah mereka kenali. Ajaran agama yang sedemikian rupa menjadi ajaran turun temurun yang membangun tenun kebangsaan Indonesia.
Keramahan agama mesti disampaikan, keluwesan agama harus dikenalkan. Pendidikan agama Islam untuk kaum muda di masa modern ini memang banyak hambatan, namun apakah rela Islam yang santun dan ramah di Indonesia ini hanya tinggal nama?