Tradisi khas umat Islam di Indonesia menjelang Hari Raya Idul Fitri adalah tradisi mudik. Sebagian besar umat Islam di Indonesia biasanya akan mudik dari perantauan ke kampung halaman. Mereka akan bepergian dengan menempuh perjalanan puluhan hingga ratusan kilometer, baik itu dengan mengendarai sepeda motor, mobil, hingga kendaraan umum seperti bus, kereta, dan pesawat.
Sebagian pemudik akan memilih untuk melakukan perjalanan di malam hari, sebagian lainnya akan memilih perjalanan siang hari. Baik perjalanan malam atau siang, keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Hanya saja, jika memilih perjalanan siang, maka perjalanan yang dilakukan bebarengan dengan waktu berpuasa Ramadhan.
Seorang pemudik atau musafir (orang yang melakukan safar atau perjalanan) termasuk ke dalam golongan orang-orang yang dibolehkan untuk tidak berpuasa dan menggantinya di hari yang lain. Hal ini berdasarkan Firman Allah dalam Qs. Al-Baqarah [2] ayat 185:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗوَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْر
Artinya: “Barang siapa di antara kalian hadir (di tempat tinggalnya, dengan kata lain bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran.”
Dalam kitab Faraidul Bahiyyah karya Sayyid Abu Bakar al-Ahdal, juga disebutkan bahwa keadaan dalam perjalanan merupakan satu dari tujuh sebab keringanan dalam beragama. Enam sebab lainnya adalah pemaksaan, lupa, ketidaktahuan, adanya kesulitan, sakit, dan ketidakmampuan atau disabilitas.
Tidak Berpuasa Lebih Baik Bagi Musafir dalam Keadaan Tertentu
Seringkali dikatakan bahwa rukhshoh atau keringanan bagi seorang musafir adalah disebabkan perjalanan yang cukup menguras tenaga. Bagi sebagian orang, mungkin hal itu tidak akan menjadi masalah bagi dirinya untuk tetap berpuasa. Namun, bagi sebagian yang lain, hal itu bisa menjadi masalah. Karena, tidak dapat dipungkiri, bahwa kemampuan yang dimiliki setiap orang itu berbeda-beda.
Yusuf al-Qardhawi dalam kitab Fiqh as-Shiyam mengutip sebuah hadis dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Dalam hadis tersebut, dikisahkan dari Aisyah, bahwa suatu ketika Hamzah bin Amr al-Aslami berkata kepada Nabi Muhammad SAW, “Apakah aku (tetap) berpuasa saat dalam perjalanan?” Nabi menjawab, “Kalau kamu menghendaki berpuasa, maka berpuasalah. Dan kalau kamu mengehendaki berbuka, maka berbukalah.”
Itu artinya, musafir memiliki kebebasan untuk memilih tetap berpuasa saat dalam perjalanan atau tidak berpuasa. Karena kedua sikap tersebut sama-sama diperbolehkan. Tetapi, dalam keadaan tertentu, musafir sebaiknya tidak berpuasa. Ada enam keadaan seorang musafir lebih baik tidak berpuasa, enam hal ini dirangkum oleh Yusuf al-Qardhawi dalam Fiqh as-Shiyam-nya.
Pertama, puasa yang di dalamnya terdapat penderitaan yang luar biasa. Menurut Al-Qardhawi, puasa dalam keadaan seperti ini makruh. Misalnya, berpuasa dalam perjalanan yang dilakukan saat musim panas yang membuat cairan tubuh cepat berkurang, dan jika seseorang melanjutkan puasanya, dikhawatirkan menjadi dehidrasi. Bahkan, dalam taraf tertentu, puasa semacam ini bisa menjadi haram jika sampai membawa mudharat.
Kedua, ketika seorang musafir berada dalam suatu rombongan yang membutuhkan bantuannya, dan jika ia berpusa, maka ia tidak bisa memberikan bantuan tersebut, padahal sangat dibutuhkan. Dalam hal ini, tidak berpuasa lebih baik bagi sang musafir, karena tenaganya dibutuhkan dan bermanfaat bagi banyak orang. Nabi Muhammad pernah bersabda, sebagaimana dikutip oleh Al-Qardhawi, kepada sekelompok sahabat yang memilih tidak berpuasa dalam perjalanan demi membantu rombongannya, “Hari ini, orang yang berbuka (tidak berpuasa) pergi dalam keadaan membawa pahala.”
Ketiga, untuk mengenalkan dan mengajarkan sunnah Nabi berupa rukhshoh untuk musafir. Hal ini untuk menghindari anggapan di suatu kalangan bahwa membatalkan puasa saat dalam perjalanan itu tidak boleh. Dengan tidak berpuasa, maka musafir tadi bagaikan sedang menunjukkan kepada kalangan tersebut bahwa ada keringanan bagi musafir untuk tidak berpuasa. Ini juga merupakan sebuah bentuk syiar agama, bahwa Islam ini agama yang memudahkan pemeluknya dalam menjalankan syariatnya.
Keempat, ketika seorang musafir berada dalam rombongan yang semuanya memilih tidak berpuasa. Dan jika tetap berpuasa, maka ia akan menjadi satu-satunya orang yang berpuasa dalam rombongan tersebut. Menurut Al-Qardhawi, hal ini agar seorang musafir tidak menyelisihi kesepakatan jama’ah (rombongan). Juga agar terhindar dari perbuatan riya` yang dikhawatirkan akan muncul ketika dia tetap melanjutkan puasanya.
Kelima, ketika seorang amir memerintahkan untuk tidak berpuasa, sebagai bentuk kasih sayang dan perhatian terhadap kendisi musafir. Menurut Al-Qardhawi, jika seorang amir telah memerintahkan, maka dianjurkan untuk menaati perintahnya. Tentu perintah yang dimaksud di sini adalah perintah yang telah melalui kajian dan pertimbangan yang matang. Apabila kebutuhan untuk tidak berpuasa makin mendesak, maka menjadi wajib untuk tidak berpuasa.
Seperti halnya seorang dokter yang memiliki otoritas dalam bidang kesehatan. Misalnya, bagi pengidap penyakit tertentu, dianjurkan untuk tidak berpuasa saat dalam perjalanan. Maka, pengidap yang bersangkutan wajib mematuhi anjuran dari dokter, karena untuk menghindari mudhorot yang bisa muncul ketika tetap melanjutkan berpuasa.
Keenam, ketika dalam perjalanan untuk berjihad melawan musuh. Apabila peperangan memanas, dan dengan tidak berpuasa bisa membuat para pasukan menjadi lebih kuat, maka mereka lebih baik tidak berpuasa. Seperti ketika Nabi Muhammad bersama para sahabat pergi ke Mekkah, namun tiba-tiba musuh mendekat, maka Nabi menganjurkan para sahabat untuk mengambil keringanan tidak berpuasa.