Mudik dan Pulang Kampung, Sama atau Beda, Sih?

Mudik dan Pulang Kampung, Sama atau Beda, Sih?

Mudik dan Pulang Kampung tidak bisa disamakan walaupun muradif. Namun mudik dan pulang kampung sama-sama bahaya dilakukan saat musim pandemi.

Mudik dan Pulang Kampung, Sama atau Beda, Sih?
Ilustrasi mudik. Foto: TEMPO/Subekti

Saya menunda mendiskusikan mudik dan pulang kampung dua-tiga hari setelah publik menghebohkan dua kata itu dua hari sebelum Ramadan 2020. Dengan menunda, saya harap diskusi jadi murni masalah linguistik, tidak bias emosi, apalagi emosi dan tendensi politik. Seperti diketahui, dalam wawancara dengan Najwa Shihab, Presiden Joko Widodo membedakan mudik dan pulang kampung. Itu sehubungan dengan kebijakan larangan publik untuk mudik di tengah wabah Covid-19 yang memprihatinkan ini. Kontan jagat maya heboh, sebab menurut kamus mudik berarti pulang kampung alias sinonim. Mudik dan pulang kampung sama saja artinya.

Bagaimana sebaiknya kita memahami masalah tersebut dari sudut pandang linguistik? Seperti kebanyakan Anda, saya hanyalah pengguna bahasa Indonesia. Saya hanya berusaha menghayatinya sebaik mungkin, sebisa yang saya lakukan.

Pada hemat saya, setiap kata bersifat unik. Keunikan kata terletak antara lain pada asosiasi, konotasi, nuansa, dan rasa yang dikandungnya. Setiap kata memiliki asosiasi, konotasi, nuansa, dan rasanya masing-masing. Karena itulah diksi jadi penting. Dua buah kata memang bisa memiliki arti yang sama secara leksikal, alias muradif. Tetapi dua kata yang muradif bisa dipastikan mengandung asosiasi, konotasi, nuansa, dan rasa yang berbeda satu sama lain. Kata pandang memang searti dengan kata lihat, namun nuansa dua kata itu berbeda. Secara semantik, aku memandangmu memang sama dengan aku melihatmu. Tapi asosiasi, konotasi, nuansa, dan rasa dua kalimat itu kiranya jelas berbeda.

Di samping itu, kata memiliki konteks sosial di antara para penggunanya, baik secara leksikal, morfologis, sintaksis, maupun semantik. Bagaimana kata diartikan, dibentuk secara morfologis, digunakan secara sintaksis, dan dimaknai secara semantik sangat tergantung pada konvensi para penggunanya. Konvensi itu kadangkala sangat longgar, bahkan dapat dikatakan tidak ada konvensi yang benar-benar disepakati.

Dalam hal ini, penggunaan kata, baik secara morfologis, sintaksis, maupun semantik bisa mana-suka atau bahkan kacau. Dalam kasus ini linguis atau ahli bahasa akan memutuskan mana kata yang baku dan mana kata yang tidak baku —betapapun di kalangan mereka sendiri seringkali hanya dicapai kesepakatan yang lonjong, alias mufakat tidak bulat.

Konteks sosial kata, katakanlah sosiologi kata, kadang samar, kadangkala jelas. Tapi yang pasti, kata hampir selalu terikat pada konteks sosialnya. Kata tidak bisa dilepaskan begitu saja dari konvensi para penggunanya, baik konvensi yang samar maupun jelas. Demikianlah misalnya kata aku dan saya memang sinonim alias muradif, namun konteks sosial dua kata itu berbeda satu sama lain. Karenanya, dalam penggunaannya, kata yang satu tidak selalu bisa ditukar dengan kata yang lain.

Demikianlah misalnya kepada dosen, mahasiswa akan menggunakan saya sebagai kata orang pertama, demikian juga sebaliknya. Kata saya berasal dari sahaya, dan kata sahaya berkaitan dengan frase hamba sahaya. Itu sebabnya, kata saya mengandung konotasi merendah. Dengan demikian, konteks sosial kata saya adalah keharusan mahasiswa merendah demi menghormati sang dosen, atau menempatkan sang dosen di posisi lebih tinggi. Demikian juga sebaliknya.

Di situ kata saya tidak bisa diganti begitu saja dengan kata aku. Dosen menyebut dirinya dengan aku kepada mahasiswanya, rasanya gimana gituh. Meskipun keduanya memiliki arti yang sama, namun kata aku mengandung konotasi egaliter. Karenanya, kata aku biasanya digunakan dalam konteks sosial ketika orang pertama merasa setara dengan orang kedua atau lawan bicaranya. Konsekuensinya, dengan menggunakan kata aku dua orang yang berbicara akan merasa lebih dekat, lebih akrab. Seakan tidak ada jarak antara keduaya. Sebaliknya, penggunaan kata saya sedikit-banyak akan membuat dua orang yang berkomunikasi berjarak satu sama lain, karena yang satu memposisikan diri lebih rendah dibanding yang lain.

Ujung terjauh dari konteks sosial kata-kata adalah adanya norma tertentu atas penggunaan kata-kata itu sendiri, baik norma moral, norma sosial maupun norma politik. Demikianah misalnya ada kata yang tabu digunakan menurut ukuran norma moral, norma sosial, atau norma politik. Kata-kata yang berhubungan dengan alat vital, misalnya, dipandang tidak sopan digunakan begitu saja, bahkan ketika orang belajar anatomi tubuh sekalipun. Dalam arti itu, kata-kata terikat pada konteks sosialnya.

Tentu saja, kata pertama-tama berkaitan dengan arti leksikal kata itu sendiri. Arti leksikal kata direkam, dibakukan, dan diakui oleh kamus. Kata dan artinya terus berkembang, bertambah, dan berubah di kalangan penggunanya dari waktu ke waktu. Tugas kamus adalah merekam, membakukan, dan mengakui kata berikut artinya yang berkembang di kalangan penggunanya. Itu sebabnya, setiap kali orang ingin mengetahui arti kata, dia akan membuka kamus —seperti dilakukan banyak orang saat heboh kata mudik dan pulang kampung tempo hari itu. Di situlah memang terletak arti penting kamus.

Kamus tentu punya keterbatasan. Kamus tidak selalu sanggup membawa serta keunikan setiap kata, yakni asosiasi, konotasi, nuansa, dan rasa kata itu sendiri. Kamus juga tidak selalu sanggup membawa serta konteks sosial kata, apalagi norma moral, norma sosial, dan norma politik setiap kata. Lebih-lebih, norma sosial dan terutama norma politik relatif cepat berkembang atau berubah.

Tapi bagaimanapun, kamus yang baik sebisa mungkin berusaha membawa serta keunikan dan konteks sosial kata yang direkamnya. Itu antara lain dilakukan dengan memberikan contoh penggunaan kata dalam kalimat. Contoh biasanya diambil dari penggunaan kata itu sendiri oleh masyarakat, yakni dari korpus yang dikumpulkan dari para pengguna kata itu sendiri. Maka, membaca kamus tak cukup hanya dengan membaca arti kata yang ingin diketahui, melainkan perlu pula membaca contoh penggunaan kata dalam kalimat yang diberikan kamus itu sendiri. Dengan cara itulah keunikan dan konteks sosial kata dapat diketahui —betapapun tidak selalu memuaskan. Keknya kita memang tidak pernah diajar cara menggunakan kamus dengan baik dan benar, sih.

Jadi, apakah mudik dan pulang kampung sinonim? Ya. Muradif. Tapi bukalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang saya kira paling panyak penggunanya, dan jangan lupa membaca contoh penggunaan dua kata itu dalam kalimat yang disediakan kamus tersebut —agar Anda tidak menganggap kamus sudah mati. Untuk kata mudik, KBBI memberikan contoh kalimat ini: ­Seminggu menjelang Lebaran sudah banyak orang yang mudik. Sementara, untuk pulang kampung, KBBI memberikan contoh ini: Dia pulang kampung setelah tidak lagi bekerja di kota.

Contoh penggunaan dua kata itu dalam kalimat, merupakan keunikan dan konteks sosial dua kata itu masing-masing. Benar bahwa mudik dan pulang kampung bermuradif alias bersinonim, tapi keunikan dan konteks sosial keduanya berbeda. Maka, meskipun muradif, mudik tidak bisa disamakan begitu saja dengan pulang kampung, sebagaimana tadi: aku tidak bisa disamakan begitu saja dengan saya.

Sebenarnya Anda ingin mudik atau pulang kampung sih? Ya terserah anda lah, mau mengikuti keunikan dan konteks sosial dua kata itu masing-masing atau tidak. Secara linguistik, begitu aja sik.

Tapi mudik dan pulang kampung sama-sama berbahaya di musim wabah Covid-19 ini.

Udah ya. Selamat menjalankan ibadah puasa. Salam. (AN)