Alkisah, di suatu daerah terdapat seorang laki-laki yang memiliki empat anak. Suatu saat, ia sedang sakit. Salah satu dari anaknya (anggap saja Fulan), berbicara kepada tiga saudaranya bahwa jika salah satu dari mereka mengurus orangtua, dalam hal ini sang ayah, maka ia tak berhak mendapat harta warisan (manakala sang ayah telah meninggal). Bahkan dirinya pun juga tak berhak.
“Begitu juga dengan aku. Jika aku mengurus ayah, maka aku tak berhak mendapat harta warisan,” ucapnya.
Namun, anehnya, Fulan justru mengambil jalan ini. Ia habiskan waktunya untuk mengurus sang ayah. Hingga suatu saat, ajal ayahnya pun tiba. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Beberapa waktu selepas meninggalnya sang ayah, si Fulan bermimpi. Dalam mimpinya itu, ada yang berkata kepadanya, “Pergilah ke suatu tempat! Di sana, engkau akan mendapati uang seratus dinar, namun tak ada berkah sama sekali. Ambillah!”
Keesokan harinya, ia pun berdiskusi dengan istrinya. Istrinya menyuruhnya untuk mengambil uang tersebut. Namun ia menolaknya.
Pada malam berikutnya, ia bermimpi lagi. Yang dikatakan sama, hanya saja nominalnya berbeda, “Pergilah ke suatu tempat, di sana ada uang sepuluh dinar. Namun tak mengandung berkah. Ambillah!” Ia pun melakukan hal yang sama seperti sebelumnya: berdiskusi dengan istrinya. Istrinya pun juga masih seperti yang awal, menyuruhnya untuk mengambil uang tersebut. Fulan pun sama: menolak dengan tegas.
Hingga, malam ketiga pun ia bermimpi lagi. Pada mimpinya kali ini, yang dikatakan suara itu berbeda, “Pergilah ke suatu tempat. Di sana ada uang satu dinar namun mengandung keberkahan. Ambillah!” Kali ini, tanpa berdiskusi dengan istrinya seperti sebelumnya, ia langsung mengambilnya.
Sepulangnya dari mengambil uang itu, si Fulan bertemu dengan seorang penjual ikan. Ia hanya menjual dua ikan. Fulan bertanya berapa harga ikan itu, “Berapa kau jual dua ikan itu?”
“Satu dinar,” jawab penjual ikan itu.
Ia pun membelinya dan membawa pulang ke rumah. Di rumah, ikan itu dibelah perutnya dan ternyata di dalam perut masing-masing ikan itu terdapat mutiara yang sangat bagus (berarti ada dua mutiara). Ia pun membawa satu mutiara kepada raja yang berkuasa di daerah setempat. Sang raja pun memberinya uang yang sangat banyak sebagai ganti mutiara itu.
Sang raja berkata, “Mutiara ini kurang lengkap jika tidak disertai dengan saudaranya (mutiara satunya). Datangkan lagi ke sini! Aku akan beri kamu uang yang sama seperti yang pertama”. Ia pun pulang ke rumah dan mengambil mutiara satunya. Mutiara itu pun diberikan ke raja dan raja memberikan uang yang telah ia janjikan. Alhamdulillah.
Kisah di atas termaktub dalam kitab al-Nawadir karya Ahmad Shihabuddin al-Qulyubi. Banyak ibrah (pelajaran) yang bisa kita dapatkan dari kisah di atas, beberapa di antaranya adalah sebegai berikut:
Berbakti kepada orangtua
Orangtua adalah keramat bagi anak-anaknya. Perjuangan dan pengorbanan mereka sangat besar. Sangking begitu besarnya, apapun yang diberikan dan dipersembahkan anak kepada orangtuanya tak akan pernah sebanding. Dari kisah di atas, terbaca dengan jelas, siapa saja yang berbakti kepada orangtua maka akan mendapat keberkahan yang sangat luar biasa.
Berkah adalah segalanya
Berkah menurut para ulama adalah bertambahnya kebaikan. Berkah menjadi inti dari segala hal yang dimiliki seseorang. Suatu yang banyak tanpa bernilai berkah maka sama saja tak bernilai apa-apa. Ia hanya banyak secara kuantitas, namun kualitasnya tak ada. Begitu pula sebaliknya, yang sedikit namun memiliki berkah maka itu berarti sangat berharga.
Bersegara mengerjakan kebaikan
Si Fulan yang tidak berdiskusi dengan sang istrinya ketika akan mengambil uang satu dinar namun berkah tersebut menunjukkan betapa pentingnya menyegarakan perbuatan baik. Ketika seseorang yakin bahwa yang ia kerjakan benar-benar baik, maka hendaknya ia langsung mengerjakannya tanpa menunggu lama.