
Jika kita percaya hukum kausalitas, sebab-akibat, maka salah satu penyebab yang terang benderang dan bisa jadi bukti atas berbagai bencana alam, termasuk banjir bandang yang terjadi di Puncak dan Bekasi, adalah pembukaan lahan ugal-ugalan yang mengakibatkan hilangnya tutupan hutan dan mengganggu keseimbangan ekosistem. Pembukaan lahan yang tidak terencana ini memperburuk kondisi lingkungan, sehingga ketika hujan deras turun, air tidak dapat diserap dengan baik, menyebabkan banjir yang merusak.
Dalam diskusi yang berlangsung di Outlier Cafe pada 26 Februari 2025, Kiki Taufik, Global Head of Forest Campaign Greenpeace Indonesia, mengungkapkan keprihatinan mendalam mengenai kondisi deforestasi di Indonesia. Menurutnya, deforestasi di Indonesia telah mencapai angka yang mencengangkan, yaitu 16,4 juta hektar, yang setara dengan luas Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Pembukaan lahan untuk kebun sawit juga menjadi salah satu penyebab utama hilangnya biodiversitas. Kiki menekankan bahwa kegiatan ini tidak hanya mengancam spesies flora dan fauna yang ada, tetapi juga berkontribusi pada perubahan iklim mikro.
Meskipun ada penurunan dalam laju deforestasi, kondisi hutan di Indonesia semakin memburuk. Kiki mencatat bahwa pemerintah berencana untuk membuka lebih banyak lahan untuk kepentingan industri, meskipun kebutuhan domestik sudah terpenuhi.
“Kondisi hutan di Indonesia semakin menurun, dengan deforestasi tertinggi terjadi pada tahun 2015-2016. Penurunan deforestasi pada tahun 2020-2021 bukan karena upaya pemerintah, melainkan faktor lain, yaitu Covid-19,” ungkapnya.
Namun, alih-alih menyadari dampak bencana yang sudah ada, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemenhut) justru berencana untuk membuka 20 juta hektar lahan dengan alasan ketahanan pangan. Hal ini semakin diperparah dengan video Prabowo Subianto yang menunjukkan sikap acuh terhadap pembukaan lahan untuk sawit, dengan alasan yang sama bahwa pohon tetap ditanam. Dengan sikap pemerintah yang acuh seperti ini, sebagai masyarakat, masih optimiskah kita untuk menunda kiamat lebih lama?
(AN)