HTI menimbulkan gejolak yang lebih besar karena sebelumnya pemberitaan tentang HTI juga telah marak.
Peristiwa pembubaran HTI oleh pemerintah ini menarik bila kita lihat melalui sudut pandang teori kebencian oleh Niza Yanay (The Ideology of Hatred: 2013). Kebencian menurut Yanay, merupakan akar dari semua konflik sosial yang terjadi hari ini. Apapun bentuk konfliknya, kebencian adalah dasarnya.
Pembubaran HTI merupakan manifestasi dari upaya negara dalam membentengi menularnya ideologi yang berpotensi merusak merusak nilai-nilai Pancasila dan Demokrasi yang telah kita anut hingga hari ini. Indonesia bagaimanapun tidak menemukan titik persetujuan ketika Islam menggantikan posisi Pancasila sebagai ideologi negara. Meskipun beberapa pihak mengakui bahwa sesungguhnya Islam dan Pancasila selaras, tetapi fakta di lapangan seringkali tidak bertutur demikian.
Di sinilah konflik terjadi, yaitu persinggungan antara ideologi Pancasila dan Ideologi negara Islam. Akhirnya, Indonesia dengan ideologi Pancasilanya sebisa mungkin harus mempertahankan diri dan memusnahkan segala virus ideologi lain yang berpotensi merusak dirinya.
Menurut Yanay, kebencian yang terjadi antara satu pihak dengan pihak lawannya menimbulkan reaksi berupa pemberontakan oleh pihak yang ditekan (the opressed) terhadap pihak yang menekan (an opressor). Reaksi kontra yang diperlihatkan oleh kawan-kawan HTI terhadap pembubaran resmi ormas mereka merupakan refleksi dari sikap berontak dan ketidaksetujuan terhadap keputusan pemerintah. Kebencian ini logis dan wajar, karena mereka yang ditekan tentu akan berusaha melakukan perlawanan.
Namun, ada hal yang cukup mengkhawatirkan ketika pemerintah memilih jalan memutus perjalanan panjang organisasi ini. Mereka yang berperan sebagai the oppressed (HTI) justru berpotensi menyimpan kebencian berlebih yang berujung pada dendam. Kebencian ini akan melahirkan sudut pandang baru, men-generalisasi bahwa semua elemen pemerintah adalah musuh dan harus dihancurkan (kita tahu bahwa dalam dalam sejarahnya HTI termasuk kelompok Islam yang fundamentalis (Purwawidada, Fajar: 2014. 57)). Yang lebih parah adalah potensi terjadinya pemberontakan dalam skala besar (boleh jadi terorisme) yang tidak mustahil terjadi mengingat kiprah HTI sudah cukup lama mengakar dan berkembang di Indonesia.
Potensi Konflik
Kemunculan HTI di Indonesia yang sejak pertama kali dibawa oleh Abdurrahman al-Bagdadi pada 1980an telah menambah daftar kehadiran gerakan Islam transnasional di tanah air. Usianya memang tidak setua dua ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah, tetapi pergerakannya cukup memberikan pengaruh yang signifikan bagi kelangsungan penyebaran doktrin “Dar al-Islam” di beberapa tempat di Indonesia.
Kini, dengan terbitnya pernyataan resmi pemerintah membubarkan HTI tentu menjadi pukulan keras yang melukai para petinggi dan anggotanya. Apa yang dilakukan oleh pemerintah sangat mungkin termasuk jenis kedua dari kebencian yang disebutkan oleh Yanay yaitu kebencian justru dilakukan oleh pihak penekan (an opressor) terhadap pihak yang ditekan (the opressed). Pada kebencian jenis ini, an opressor (pemerintah) akan berupaya mengambil dukungan dari berbagai pihak untuk melegitimasi bahwa kebencian yang mereka lahirkan itu adalah benar. Di sinilah muncul keinginan yang berlebih berupa hasrat untuk membunuh, menghancurkan, bahkan melenyapkan the opressed.
Jika pemerintah sudah mencapai jenis kebencian kedua yang disebutkan ini, maka ketegangan dan konflik tentu akan semakin meluas. Pasalnya, HTI adalah ormas Islam, dan nama Islam yang melekat padanya tak bisa diabaikan begitu saja. Boleh jadi kebencian pemerintah yang berlebih terhadap ormas seperti HTI, justru menjadi bumerang jika pemerintah terkesan begitu berang dalam menghentikan agenda-agenda dakwah Islam di tanah air dan secara mudah mencap radikal kelompok-kelompok tertentu. Masyarakat akan melihat tindakan pemerintah justru membatasi ruang gerak penyampaian ajaran Islam di Indonesia.
Namun, sejauh ini apa yang dikatakan oleh Yanay mengenai kebencian jenis kedua ini tampaknya tidak terjadi sekarang. Walaupun HTI dibubarkan, tidak lalu mencemooh dan menindas ormas ini beserta anggotanya. Pemerintah justru memberikan opsi untuk mengambil jalur hukum jika ada pihak yang berkebaratan terhadap keputusan tersebut.
Terhentinya kiprah HTI sampai saat ini setidaknya akan memberikan rasa kekhawatiran kepada masyarakat secara lebih luas terhadap berbagai kelompok yang berbasis radikal dan berusaha mengganti ideologi negara. Masyarakat diingatkan bahwa negara saat ini sedang berada dalam situasi yang kurang aman dan sedang dihadapi ancaman.
Potensi Kebencian
Pasca pembubaran HTI, semakin menguatkan benak kita untuk menaruh kecurigaan terhadap maraknya kelompok Islam garis keras, lebih khusus menaruh sikap anti terhadap kelompok HTI beserta anggotanya. Ketidaksenangan ini ditanamkan kepada kita terus-menerus sehingga melahirkan konotasi baru bahwa HTI adalah kelompok orang yang berbahaya. Benak kita yang terus diberi kesan semacam ini akhirnya akan melahirkan perasaan benci dan menjarak dari mereka.
Secara sederhana kita bisa melihat ini dalam kehidupan sehari-hari, misalnya ketika kita melihat sejumlah wanita yang tidak kita kenal berpakaian hitam dan memakai cadar, apa yang terpikir dalam benak kita? Saya yakin kebanyakan kita berfikiran bahwa ia adalah salah satu dari anggota HTI dan kita cenderung akan menjauhinya. Inilah yang disebut Yanay sebagai The Devaluation of The Victims. Kita secara tidak sadar telah memendam perasaan benci kepada mereka, bahkan hanya berdasarkan ciri-ciri yang kenyataannya belum tentu wanita-wanita itu adalah HTI. Kita, berdasarkan gambaran pengetahuan yang kita dapatkan tentang HTI sebelumnya telah menjadikan itu sebagai basis, sehingga ketika sedikit saja kita menemukan indikasi yang sama kita menjadi defensif, bahkan menjauhinya.
Jika kita bisa berfikir lebih jernih, apa yang kita benci dari HTI sesungguhnya bukanlah manusianya, tetapi ideologinya. Bukan orangnya, tetapi cara berfikirnya yang mengandung kesalahan.
Mereka sebagaimana kita juga adalah manusia yang memiliki dimensi-dimensi kehidupan lain yang bersifat positif. Dirinya sebagai seorang HTI ataupun mantan dari ormas tersebut barangkali bernilai negatif tetapi bagaimana dengan dirinya sebagai manusia yang bekerja, berteman, membantu orang lain, bahkan telah memilih menjadi seorang muslim?
Tidak ada satu alasanpun yang mengharuskan kita untuk menjauhi mereka. Jika itu ada, maka periksa diri, barangkali kebencian sedang menguasai kita. Bukankah kita sering mendengar dari para ulama, Rasulullah mengatakan bahwa sesama muslim itu bersaudara?
Muhammad Syafi’i, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Ikuti tulisan tentang HTI lainnya