Ia bernama R (14), Siswa SMP N 2 Pringsurat Temanggung secara ajaib membakar gedung sekolahnya sendiri pada Selasa (27/6/2023). Kepada polisi dan awak media, ia mengaku melakukannya karena sakit hati sering dibully oleh teman-temannya. Bahkan beberapa guru diduga juga tidak menghargai murid.
“Ya kayak atensi saya nggak dihargai, sama pernah disobek-sobek (tugas) juga di depan saya,” ungkap R di depan media.
Pernyataan R ini ditanggapi oleh sang Kepala Sekolah, Bejo Pranoto. Katanya, siswa tersebut suka caper.
“Pokoknya caper, dia minta perhatian lebih pada teman-teman. Tidak nakal,” papar dilansir dari pemberitaan Kompas TV.
Sebagai sesama guru yang kebetulan menempati posisi sebagai kepala sekolah di Yogyakarta, saya mencoba membayangkan bagaimana situasi sehari-hari di sekolah itu.
Seorang anak, yang punya keberlimpahan inisiatif (contohnya dia mengajukan diri sebagai ketua orgaisasi PMR), berhadapan dengan guru-guru yang sehari-hari pekerjaanya dibagi berdasarkan mata pelajaran.
Yang bagus, mungkin punya inisiatif untuk dekat dengan anak, yang ‘profesional’, mungkin cukup dengan mengajar saja, di kelas saja. Ruang interaksi guru dan siswa akhirnya dominan hanya ada di kelas, di mana di sana mereka hanya bisa membincangkan materi pelajaran.
Ruang selain kelas yang bisa dipakai untuk ngobrol, barangkali, hanya ruang BK. Itupun masuk sudah dengan berbagai stereotype, bahwa mereka yang menghadap BK adalah mereka yang bermasalah. Pokoknya, kalau menghadap guru, dan buka nomongin pelajaran, berarti anak yang bermasalah.
Dengan situasi tersebut, bisa dibayangkan, ketiaadan ruang komunikasi yang intim antara guru dan anak menjadi ruang kosong yang bisa disisipi oleh kasus pembullyan dan kasus kenakalan remaja lainnya. Tak syak, ini berkaiatan dengan relasai guru dan siswa yang terbatas transaksi informasi materi saja.
Pentingnya ruang komunikasi intim saya sadari ketika satu kali saya mendampingi siswa untuk berkemah. Kemah yang isinya ‘cuma’ ngobrol, tanpa bentak sana-sini untuk unjuk arogansi. Kami mendirikan kemah di samping Waduk Sermo selama tiga hari.
Ruang Dengar di Sekolah
Satu bagian ngobrol yang cukup membekas pada diri saya, terjadi di satu keheningan malam. Pada momen itu, semua guru duduk melingkar bersama siswa.
Pak Gemak, rekan saya sebagai fasilitator, membagikan kertas. Anak-anak diminta untuk menggambar garis koordinat kartesius. Meminta mereka mengisi setiap titik berbeda dengan skala perasaan mereka ketika di umur tertentu. ‘Di umur segitu, coba ingat-ingat, apakah hal yang paling kamu rasakan’ kata Pak Gemak kepada anak-anak.
Suasana hening, anak-anak menulis kisah hidupnya di selembar kertas. Kemudian kami, fasilitator dan anak, dibagi menjadi beberapa kelompok. Di sana kami berbincang lebih dalam tentang apa yang sudah kami tulis di kertas. Setiap titik menandakan perubahan emosi si penulis. Dari sana anak akan bercerita, apa yang ia alami di masa-masa itu.
Dalam diskusi kecil itu, saya bersama beberapa 6 murid dari berbagai jenjang SMA. Mereka bercerita tentang masa lalu mereka. Ada yang menjadi korban bullying, ada pula yang tidak pernah diperhatikan orang tua atau di’standarkan’ dengan cara membandingkan si anak dengan saudara lain yang dianggap lebih pintar.
Perlakuan-perlakuan semacam itu membawa mereka menjadi seorang pemberontak. Mencari pengakuan atas dirinya. Menunjukkan bahwa dirinya bisa, mampu dan berbeda.
Pemberontakan ini ada yang mengarah ke hal positif seperti mengalihkan dengan aktivitas setumpuk, dan ada pula yang menjadi negatif dengan melakukan tindak kekerasan atau tindakan lain yang merusak diri.
Saya lihat satu persatu anak-anak. Masih ada yang belum dikeluarkan di sana. Tapi tak soal, tak semuanya harus selesai malam ini juga. Kami masih punya hari-hari ke depan.
Malam itu menjadi gerbang kami untuk saling mengenal satu sama lain.
Usai sesi pertama, kami berdiri. Melingkar kembali. Kami mengajak anak-anak untuk mengikhlaskan apa yang sudah terjadi. Bahwa apa yang terjadi di masa lalu, tak dapatlah berubah. Kita tak bisa jalan dengan beban masa lalu yang berat. Kita harus menerima itu. Kemudian meninggalkannya di belakang.
Anak-anak remaja membutuhkan teman untuk bercerita. Bukan hakim-hakim yang menyuruh mereka ini dan melarang mereka itu.
Mereka sudah cukup kepayahan dengan masalah-masalah yang mereka punya. Sedang orang dewasa seringnya bukan menjadi pendengar yang baik, malah penasihat-penasihat yang cerewet.
Menjadi fasilitator berarti menjadi teman mereka. Mendengar mereka, berperspektif seperti mereka dan berbicara dengan bahasa mereka. Kemah bukan wadah untuk menunjukkan kekuasaan/penguasaan yang lebih dewasa atas yang lebih muda. Namun, orang dewasa duduk bersama, mendengarkan dengan seksama apa yang menjadi masalah si muda, menjadi ruang sehat untuk saling bicara dan mendengarkan. Menuntun mereka menemukan, menganalisa dan memecahkan masalahnya secara mandiri dan jernih.