Seorang siswi kelas X di SMAN 1 Banguntapan, Bantul, DIY, mengaku dipaksa berhijab oleh guru BK di sekolah setempat. Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY) menyebut bahwa kejadian itu berlangsung ketika Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) (29/7/2022). Siswi tersebut kemudian disebut mengalami depresi dan bahkan sampai mengurung diri.
Yuliani, koordinator AMPPY yang mendampingi siswi tersebut, menceritakan salah satu pertanyaan guru BK kepada sang siswi, “Lha terus kamu kalau enggak mulai pakai hijab mau kapan pakai hijab, gitu?”. Yuli, seperti diberitakan detik.com, menyebut bahwa pernyataan guru tersebut sudah masuk dalam ranah pemasaksaan.
***
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, aturan seragam sekolah negeri ini seringkali berubah-ubah, utamanya menyangkut jilbab. Sempat dilarang berjilbab pada dekade 1970-an, muncul kebijakan wajib jilbab pada 1990-an di sekolah negeri hingga kini. Namun, regulasi itu berubah lagi di era Presiden Joko Widodo.
Seperti diketahui, tiga menteri Jokowi menerbitkan regulasi baru yang melarang mewajibkan sekaligus melarang pengekangan pemakaian seragam “agama tertentu” kepada siswa hingga guru. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim; Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian; dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri.
Nadiem Makarim, misalnya, mengatakan dalam penandatanganan SKB, bahwa Institusi sekolah tidak boleh lagi mewajibkan siswa maupun tenaga kependidikan menggunakan seragam dengan atribut keagamaan tertentu. “Agama apa pun itu. Penggunaan seragam sekolah dengan atribut keagamaan di sekolah negeri merupakan keputusan murid dan guru sebagai individu,” ujar Mendikbud.
Kasus pemaksaan jilbab ini harusnya bukan sekedar dipahami pada kasus pemaksaan terhadap non-Muslim, namun juga terhadap sesama Muslim. Sedari awal, kata “pemaksaan” itu sendiri merupakan kata peyoratif yang berkonotasi negatif. Segala bentuk pemaksaan biasanya akan meninggalkan sebuah hasil yang tidak baik.
Dalam kasus jilbab, meskipun menutup aurat merupakan bagian dari kewajiban seorang Muslim dan Muslimah, tetapi implementasinya tidak boleh dilakukan dengan cara paksaan, intimidasi, bahkan kekerasan.
Islam secara etimologi berarti tunduk dan berserah diri. Dengan demikian, Islam menghendaki kepasrahan total sebagai seorang Muslim. Semua ajaran Islam harus dilakukan dengan ketaatan dan kepatuhan yang tulus. Ketulusan tidak mungkin lahir, kecuali dari kesadaran yang utuh dalam lubuk hati terdalam.
Islam tidak menginginkan keterpaksaan. Islam menghendaki kemerdekaan dalam memilih dan melakukan sesuatu. Pilihan atas dasar kesadaran yang utuh, itulah yang dikehendaki Islam. Oleh karena itu SKB Tiga Menteri yang disinggung di atas bisa dikatakan sejalan dengan komitmen Islam ini, yaitu berangkat dari kesadaran personal tanpa intervensi berlebihan dari pihak luar.
Kita tentu tidak menampik bahwa Nabi Muhammad diutus untuk memperbaiki akhlak manusia. Konsep dakwah, atau secara etimologis berarti mengajak, menjadi bukti bahwa Islam memang turun untuk menyeru manusia menuju jalan yang benar. Namun yang perlu digarisbawahi, mengajak dan memaksa merupakan dua hal yang berbeda.
Kembali ke permasalahan jilbab, Guru Besar Ilmu Perbandingan Fikih di Universitas Al-Azhar Mesir, Syekh Ahmad Karimah mengatakan bahwa jika seorang Muslimah berada di bawah perwalian ayahnya dan belum menikah karena alasan apapun, atau jika dia diceraikan atau menjadi janda, maka dia berada dalam perwalian ayahnya sebagai jaminan fisik dan dia tinggal bersamanya.
Oleh karena itu, ayahnya, sebagai wali, wajib memerintahkannya untuk melakukan kebaikan dan melarangnya melakukan kejahatan. Jika dia mengabaikannya, maka menurut Syekh Karimah yang bersangkutan akan dikenakan sanksi oleh ayahnya dalam kapasitasnya sebagai wali yang bertanggungjawab atas anaknya.
Syekh Ahmad Karima menekankan bahwa yang perlu digarisbawahi di sini adalah sebatas pada perintah saja, bukan memaksa. Dalam agama tidak ada paksaan. Yang ada adalah amar makruf dan nahi mungkar, dengan adab yang baik dan melakukan bujukan yang lebih lembut.
Baca Juga, Sejarah Panjang Jilbab dan Kuasa atas Tubuh Perempuan
Jika dalam konteks keluarga saja ada mekanisme yang sudah diatur terkait memerintahkan penggunaan jilbab, maka harusnya pihak dari luar, atau dalam kasus ini sekolah negeri, harus mengevaluasi bagaimana harusnya mereka berinteraksi dengan murid-muridnya.
Tidak perlu berbicara dulu mengenai darurat toleransi atau kurangnya literasi keberagaman, mereka harusnya memahami dalam kodratnya sebagai manusia, bahwa “pemaksaan” bukanlah sebuah proses edukasi yang sehat. Atau bahkan bukan termasuk dalam kategorisasi “proses edukasi”. Pun bahwa “pemaksaan” juga bukan termasuk bagian dari “proses dakwah” menurut Islam. Lha wong ber-Islam saja tidak ada desakan, kenapa yang masalah lebih teknis begini harus dipaksa-paksa.
Wallahu a’lam bisshowab . .