Sebuah masjid berdiri di tengah lorong kecil padat pemukiman sekitar Jalan A.P. Pettarani. Saban hari jalan ini menjadi pusat lalu lalang masyarakat Kota Makassar. Setelah beberapa kali menunaikan shalat berjamaah di masjid itu, penulis kemudian menyadari bahwa marbot masjidnya adalah seorang remaja bernama Yudi.
Dengan telaten, ia membuka pintu masjid saat waktu salat telah dekat, kemudian menyalakan pengeras suara masjid. Semuanya ia lakukan dengan merangkak. Ya, ia merangkak, bukan berjalan. Yudi adalah seorang difabel dengan kelainan di kedua engkel kakinya.
Samsuddin, takmir masjid tersebut memiliki alasan tersendiri ketika menjadikan Yudi sebagai marbot di masjid itu. Menurutnya, masjid adalah milik semua pihak, baik kaya ataupun miskin, bangsawan atau rakyat jelata.
“Masjid juga milik mereka yang disabilitas, milik mereka yang penuh dosa, milik mereka yang dicap buruk oleh masyarakat bahkan masjid juga milik mereka yang non muslim. Masjid bukan saja milik mereka yang beribadah di sini, tetapi milik seluruh masyarakat,” begitulah itu kata Samsuddin yang penulis ingat.
Di daerah yang lain, kira-kira 24 jam-an perjalanan darat dari Makassar, ada sebuah desa bernama Ambaipua, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Sebuah rumah ibadah berdiri di jalan poros yang menghubungkan antara Bandar Udara Haluoleo dengan Kota Kendari. Uniknya, rumah ibadah untuk agama Islam ini dibangun oleh seorang pengusaha yang menganut agama Buddha. Ya, Anda tidak salah baca. Seorang pengusaha beragama Buddha bernama Alexander Tanjaya membangun sebuah masjid dengan luas 10×10 m² di desa Ambaipua.
Saat ditanyai mengenai motivasi dari tindakannya itu, ia bercerita bahwa hatinya terpanggil membangun masjid setelah melihat masyarakat desa tersebut harus berjalan dengan menenteng alat shalat ke desa tetangga sejauh kurang lebih 1 Km untuk menunaikan ibadah shalat berjamaah. Mengenai hal itu, Alexander juga mendengar pengakuan langsung masyarakat sekitar bahwa di desa tersebut belum ada masjid sebagai sarana penyelenggaraan ibadah.
Dalam proses pembangunan masjid bernama Masjid Rahmatan lil Alamin ini, pemerintah dan masyarakat setempat sangat mendukung tindakan Alexander Tanjaya, walaupun ia seorang non-muslim. Menurut salah satu tokoh masyarakat setempat, sangat wajar dan tidak masalah jika ada seorang non-muslim yang membangun masjid di wilayah itu, justru masyarakat sangat berterima kasih atas tindakan tersebut.
Dua cerita ini adalah potongan kecil dari sekelumit kisah rumah ibadah yang ada di Indonesia. Sayangnya, masih banyak problem rumah ibadah di tempat-tempat lain.
Problem Rumah Ibadah di Berbagai Daerah di Indonesia
Setidaknya ada tiga problem yang terjadi pada rumah ibadah di beberapa daerah.
Pertama, rumah ibadah kerap kali menjadi tempat berlangsungnya doktrinasi radikalisme dan kampanye intoleransi. Ya, doktrinasi radikalisme dan kampanye intoleransi ini kerap disebarkan melalui rumah ibadah dengan membawa spirit agama. Hasil survei yang dilakukan oleh P3M pada 2017, menunjukkan bahwa terdapat 41 masjid pemerintahan yang terindikasi radikal di DKI Jakarta.
Selain itu, rumah ibadah juga jadi sasaran perusakan. Hal inidapat dilihat dalam beberapa peristiwa, seperti bom masjid Polresta Cirebon pada 2018 dan tindakan intoleransi yang dialami Meiliana pada 2016 yang berujung pada rusaknya 3 vihara dan 8 klenteng di Tanjung Balai.
Kedua, sebagian besar rumah ibadah di Indonesia juga masih belum ramah disabilitas menjadi problem kedua. Menurut catatan Yayasan Dria Manunggal, 95% rumah ibadah di Indonesia masih belum ramah disabilitas. Selain karena keterbatasan fasilitas, kesadaran pengurus masjid juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut.
Contohnya pengusiran oleh petugas yang dialami penyandang disabilitas bernama Abraham Ismed di Masjid Raya Sumatera Barat pada 2019 dan peristiwa pemukulan oleh salah satu jamaah terhadap marbot masjid penyandang disabilitas di Batam pada September 2022.
Ketiga, sulitnya perizinan pendirian rumah ibadah bagi kaum minoritas dan lemahnya perlindungan negara bagi kaum minoritas dalam menjalankan ajaran agamanya. Hal ini pernah terjadi di Kota Cilegon. Di kota tersebut, terdapat 8.705 orang non muslim, namun tidak terdapat satu pun rumah ibadah selain masjid.
Penolakan terhadap berdirinya rumah ibadah non muslim di Kota Cilegon berdasar pada Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975 Tertanggal 20 Maret 1975 tentang Penutupan Gereja/Tempat Jamaah Bagi Agama Kristen dalam Kabupaten Serang.
Bukannya melindungi hak-hak beragama non muslim sebagai minoritas, Walikota Cilegon dan jajarannya bersama tokoh agama dan tokoh masyarakat justru mendukung kampanye dan tindakan intoleransi tersebut. Tidak heran jika dalam beberapa tahun terakhir Kota Cilegon selalu menempati posisi kota dengan indeks toleransi terendah dalam survei Indeks Kota Toleran (IKT) yang dilakukan oleh Survei Setara Institute.
Problematika di atas menghilangkan esensi dari rumah ibadah. Padahal hal itu merepresentasikan ajaran agama dan karakter umat yang beribadah di dalamnya. Seharusnya kita bisa belajar dari kisah rumah ibadah di Makassar dan Konawe Selatan yang telah disebutkan di awal tulisan ini.
Penulis berpandangan bahwa seperti itulah seharusnya rumah ibadah. Idealnya rumah ibadah harus terbuka terhadap semua pihak, tidak terbatas pada komunitas agama yang beribadah dalam rumah ibadah itu.
Rumah ibadah tidak hanya berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan ibadah atau kajian keagamaan semata. Rumah ibadah seharusnya menjadi oasis di tengah dekadensi moral dan karakter masyarakat dengan mendakwahkan nilai-nilai kebaikan serta kebenaran yang diyakini secara universal oleh umat manusia.
Mengenai status kepemilikan, rumah ibadah adalah milik seluruh masyarakat sekitar, bukan hanya milik komunitas agama yang beribadah di dalamnya. Dengan status kepemilikan bersama oleh seluruh masyarakat itu, maka rumah ibadah sudah seharusnya menjunjung tinggi prinsip inklusivitas dengan terbuka pada semua masyarakat tanpa memandang usia, suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin hingga kelas sosial.
Bahkan, karena kompleksitas aktivitas masyarakat, rumah ibadah sudah sepantasnya menjadi subjek penunjang ekonomi demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat sekitarnya tanpa menghilangkan fungsi utama dari rumah ibadah.
Beberapa hal di atas merupakan esensi rumah ibadah yang merepresentasikan esensi ajaran agama dan umat yang beribadah di rumah ibadah tersebut. Esensi-esensi tersebut cenderung memiliki kesamaan karena berasal dari satu zat, yakni Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Jika esensi rumah ibadah dapat dimanifestasikan dengan baik, maka rumah ibadah tidak lagi sebatas rumah Tuhan yang menjadi tempat penyelenggaraan ibadah dan pusat kajian keagamaan semata, melainkan sebagai pusat peradaban dengan masyarakat berakhlak mulia dan bertakwa kepada Tuhan. (AN)