Malam Rabu (2 Oktober 2024) saya menghadiri semacam “haul” Pak Djohan Effendi (lahir 1 Oktober 1939, wafat 17 November 2017) yang diadakan oleh Esoterika, ICRP (Indonesian Conference On Religion and Peace) dan Institute Dialog Antar Iman di Indonesia (DIAN) dengan host Mas Budhy Munawar-Rachman dan Pak Elza Peldi Taher. Sedangkan Narasumbernya adalah Mas Ahmad Gaus, Bu Elga J. Sarapung dan Pdt. Sylvana Maria Apituley. Pak Djohan punya banyak kiprah sosial, politik dan keagamaan.
Di dalam pemerintahan, Pak Djohan pernah jadi Kepala Badan Litbang Departemen Agama (1998-2000), Mensesneg (2000-2001) di era Presiden Gus Dur dan—jangan lupa—selama 20 tahun pernah menjadi “penulis pidato” Presiden Suharto di masa Orde Baru. Tetapi kita ingin mengenang Pak Djohan sebagai tokoh senior dialog antar umat beragama, tokoh yang gigih membela kelompok-kelompok minoritas dan tokoh yang aktif mengkampanyekan pluralisme.
Pertama-tama, setelah mendengar testimoni dari para narasumber, tokoh-tokoh lintas agama, murid-murid dan orang-orang yang dekat dengan Pak Djohan, saya merasa memiliki “kebanggaan” kembali sebagai muslim Indonesia. Beliau adalah muslim yang sepanjang hidupnya bergulat dengan problem pluralitas (agama dan budaya), kelompok minoritas keagamaan dan usaha-usaha untuk menciptakan dialog dan perdamaian di kalangan agama-agama di Indonesia.
Dari apresiasi, respek, dan penghormatan kelompok-kelompok non-muslim dan minoritas muslim kepada Pak Djohan, saya merasa memiliki kembali “kebanggaan” (proud) dan “dignity” bahwa ada muslim yang jadi tokoh penting dialog antar agama dan sangat dihormati/dikenang oleh banyak kelompok non-muslim yang pernah dibelanya.
Kenapa mesti bangga? Karena wajah masyarakat muslim hari-hari ini, umumnya, adalah anti-tesis dari Pak Djohan. Sebagaimana yang terjadi di Abad Pertengahan, sebagian muslim Indonesia, hari-hari ini, juga masih terus bertikai seputar doktrin-doktrin teologi—gak habis-habis, sebagai tokohnya terus mengkampnyekan “kepentingan umat Islam” (padahal umat Islam udah dapat banyak banget dari negara), dan hampir setiap bulan ada saja berita non-muslim tidak bisa beribadah di tempat-tempat tertentu atau di komplek perumahan karena dihalang-halangi oleh sebagian muslim. Hampir tidak ada lagi Gus Dur baru dan Pak Djohan baru. Syukurlah sebagian masyarakat sipil punya sikap dan suara kritis mengingatkan lagi tentang “keindonesiaan kita”.
Kedua, Mas Gaus menyebut “dialog antar agama” adalah benchmark-nya Pak Djohan yang tidak bisa dilekatkan secara khas kepada tokoh lain. Ciri khas Pak Djohan memang “kegiatan dialog” ini. Menurut Mas Buddhy, inisiasi dan usaha-usaha Pak Djohan untuk mengadakan dialog di tahun-tahun 1970-an dan 1980-an adalah usaha teologis baru, pandangan yang cukup maju pada masa itu, jangan dilihat sekarang: era ketika dialog lintas iman sudah biasa dilakukan di mana-mana. Menurut saya pernyataan kedua aktivis itu penting jika melihat konteks historis saat itu. Mari kita lihat.
Sejak tahun 1100-an, pandangan muslim terhadap agama dan keyakinan non-muslim, umumnya bersifat teologis-apologetik, bahkan terhadap sesama muslim yang beda aliran. Misalnya Abdul Karim al-Syahrastani (w. 1153) menulis kitab al-Milal wa Nihal. Isinya adalah deskripsi agama-agama dan keyakinan non-Islam dan Islam sendiri. Syahrastani banyak mengkritik keyakinan non-Islam dan menunjukkan kelemahan-kelemahan teologi mereka, lalu di akhir kitab ia menegaskan bahwa “Islam adalah agama yang paling baik dan sempurna” (dibandingkan dengan agama-agama lain). Abu Manshur Abdul Qahir Al-Baghdadi (w. 1038 M) lebih vulgar lagi. Ia menulis al-Farqu baynal Firaq. Ia menilai semua aliran dalam Islam sebagai “kufrun” wa “dhalal” (kafir dan sesat), kecuali satu yang selamat (al-firqoh al-najiyah), yaitu Ahlussunnah Waljamaah versi Al-Baghdadi.
Beberapa referensi studi Islam menyebut kitab-kitab seperti al-Milal wa Nihal karya Syahrastani atau al-Fashlu fi al-Milal wa al-Ahwa wa an-Nihal karya Ibn Hazm al-Andalusi sebagai buku akademik dalam bidang Perbandingan Agama. Tetapi, studi yang dilakukan oleh Porf. Ismatu Ropi, Guru Besar Perbandingan Agama UIN Jakarta, menyatakan lain. Pak Ismet, panggilan akrabnya, memandang bahwa karya-karya polemis tentang perbandingan agama atau agama-agama yang ditulis oleh banyak ulama muslim di Abad Pertengahan adalah lebih tepat disebut sebagai karya “heresiologi”. Heresiologi berasal dari kata “heresy” yang pada perkembangannya berarti “kepercayaan yang salah”, “kesalahan-kesalahan doktrin atau dogma yang bertentangan dengan gereja”, atau “sekumpulan orang yang menganut paham yang salah”, atau “penafsiran manusia atas kitab suci yang bertentangan dengan gereja” (Ismatu Ropi 2022).
Jadi, heresiologi adalah semacam ilmu atau pengetahuan tentang keyakinan atau kepercayaan pada suatu lembaga keagamaan atau sekelompok orang yang dianggap salah, sesat, kafir, palsu dan menyimpang (heterodoks) dari paham mainstream yang asli dan benar (ortodoks). Dalam konteks tradisi keulamaan Islam, baik di Abad Pertengahan maupun di masa modern, kelompok-kelompok heretik adalah yang dinggap bertentangan dengan lembaga keulamaan Islam atau bertentangan dengan paham mainstream umat Islam yang ortodoks.
Dalam konteks inilah, kitab-kitab polemik di atas lebih tepat dipahami sebagai karya heresiologi. Menurut Pak Ismet, istilah-istilah seperti riddah atau irtidad (murtad), kufr (kafir), dhalal (sesat), firaq atau infiraq (menyimpang), selain dalam bahasa Inggris ada istilah heresy, apostasy, dan blasphemy, adalah terminologi-terminologi yang sangat erat digunakan dalam studi heresiologi (Ismatu Ropi, 2022).
Setelah dinyatakan heretik, sesat dan menyimpang oleh lembaga keulamaan yang otoritatif (seperti MUI di Indonesia), maka tidak jarang muncul tindakan-tindakan “persekusi” kepada kelompok-kelompok yang dianggap heretik. Dalam sejarah Islam, termasuk Islam di Indonesia, kita menemukan banyak sekali praktik-praktik “persekusi” atau “inkuisisi” (inquisition, mihnah) terhadap sekumpulan orang yang dianggap heretik.
Polemik di antara agama-agama di Indonesia, terutama Kristen versus Islam, juga terjadi sejak masa kolonial. Pak Ismet, melalui karyanya Fragile Relation, Muslims and Christians in Modern Indonesia (2000) menyajikan data-data historis. Hendrik Kraemer misalnya, menulis sebuah buku ajar berjudul Agama Islam (1928) untuk guru-guru Kristen. Namun isinya terdapat hal-hal yang dianggap “menyinggung” atau “menghina” keyakinan kaum Muslim. Seorang tokoh Muhammadiyah, A.D. Haanie merespons dan menulis Islam Menentang Kraemer (1929) sebagai bentuk perlawanan atas buku Agama Islam. Kasus lain, menurut catatan Pak Ismet, adalah Ten Berge, seorang Pendeta Jesuit yang menulis dua artikel pada 1931 yang salah satu isinya menghina Nabi Muhammad sebagai orang Arab yang “bodoh” dan suka tidur dengan perempuan.
Kontan saja, tulisan itu mengundang amarah dan reaksi. Salah satunya adalah Muhammad Natsir, mantan Perdana Menteri dan tokoh Masyumi, yang kemudian menulis “Islam, Katolik dan Pemerintah Kolonial” sebagai bentuk bantahan yang keras. Antara tahun 1930 dan 1940, Menurut Pak Ismet, Natsir juga menulis beberapa artikel sebagai reaksi atas aktivitas Kristenisasi dan serangan kaum nasionalis sekular serta kaum abangan. Dua artikelnya yang berjudul Qur`an en Evangelie dan Moehammad als Profeet adalah reaksi atas tulisan-tulisan Domingus Christoffel yang sering menyerang Islam dan menghina Nabi Muhammad.
Dalam catatan Pak Ismet selanjutnya, pada masa Orde Lama dan Orde Baru muncul tokoh-tokoh Islam atau sarjana Muslim yang membuat tulisan polemis atau tulisan yang bersifat reaktif. Diantaranya adalah A. Hassan, tokoh utama Persatuan Islam dan Hasbullah Bakry. Hassan menulis buku berjudul Iesa dan Agamanja: Djawaban Terhadap Buku ‘Isa didalam Alquran (1958). Dari judulnya saja terlihat bahwa buku itu merupakan reaksi (balasan atau pertahanan) atas buku berjudul Isa didalam Alquran (1956) tulisan seorang Kristen Advent bernama Rifai Boerhanoe’ddin. Buku Hassan itu kemudian dielaborasi lebih luas oleh O. Hashem dengan judul Keesaan Tuhan: Sebuah Pembahasan Ilmiah (1962). Karya Hasbullah Bakry yang berjudul Isa dalam Qur`an, Muhammad dalam Bible (1959) adalah buku yang menyanggah karya F.L.Bakker berjudul Tuhan Yesus dalam Agama Islam (1957) [Ismatu Ropi, 2000], dan masih banyak lagi karya-karya yang menunjukkan polemik Muslim dan Kristen saat itu.
Tentu saja, konflik serius muslim-Kristen di tanah air adalah soal isu Kristenisasi sepanjang tahun 1970-an hingga 1980-an. Isu ini sangat dahsyat dampaknya pada masyarakat muslim. Misalnya, salah satu respons atas isu yang sangat sensitif ini, muncul karya Umar Hasyim yang berjudul Toleransi dan Kemerdekaan Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama (1979). Dalam satu bab berjudul “Cita-Cita, Program Kerja, Dan Metode Kerja Mereka” Hasyim menyebutkan bahwa ia menerima selebaran (pamflet) yang isinya menerangkan bahwa umat Kristen Katolik akan mengkristenkan pulau Jawa dalam waktu 20 tahun, dan seluruh Indonesia dalam 50 tahun dengan berbagai cara dan program kerja mereka. Pamflet-pamflet, brosur dan buku tentang isu Kristenisasi di Indonesia yang tersebar di banyak lembaga pendidikan Islam, pesantren dan lain-lain benar-benar mengganggu hubungan muslim dan umat Kristiani dalam jangka waktu yang cukup lama, bahkan mungkin hingga hari ini. Kedua kelompok agama ini seringkali saling memandang dengan pandangan curiga, kebencian dan permusuhan. Apa, mengapa dan bagaimana konflik dan permusuhan itu muncul dan terus berkembang, saya kira, itu akan menjadi pembahasan sendiri. Bukan pada artikel ini tempatnya. Saya hanya mendeskripsikan “keadaan historis”-nya saja saat itu.
Dengan deskripsi yang cukup panjang di atas—atau katakanlah konteks sosio-politik saat itu—, maka usaha-usaha Pak Djohan—sejak tahun 1970-an—untuk mempertemukan para tokoh agama yang berbeda dalam “suatu dialog yang setara” bukan perkara yang mudah, tapi sebaliknya: sangat sulit, penuh tantangan dan hambatan. Kita bisa membayangkan kesulitan itu dalam konteks psiko sosio-religius saat itu yang penuh kecurigaan dan ketegangan. Pemerintah Orde Baru pernah membuat perhelatan nasional “Musjawarah Antar Agama” pada November 1968. Profesor Mukti Ali, belum jadi Menteri Agama saat itu, ikut terlibat. Tapi konferensi ini gagal total karena penolakan kelompok Kristen atas poin-poin penting.
Menurut kelompok Muslim misalnya, beberapa kelompok Kristen menolak beberapa poin pada proposal Presiden Soeharto dalam musyawarah itu ketika: (1) diminta untuk menahan diri dalam sikap memaksakan kehendak, (2) diminta menahan diri untuk kegiatan misionari (dakwah) kepada orang yang sudah beragama, dan poin-poin lain (Media Zainul Bahri, 2015).
Memang tidak mudah mengajak para tokoh agama untuk dialog dalam kondisi ketegangan seperti di atas. Tetapi, satu tahun kemudian (pada 1969), Mukti Ali berhasil mengumpulkan tokoh-tokoh agama yang beragam untuk suatu perhelatan “dialog antar agama” tidak resmi, Acara itu dianggap sukses. Mukti Ali berhasil meyakinkan para koleganya, tokoh-tokoh non-Islam bahwa dialog antar agama tidak semata pada persoalan-persoalan teologis tetapi juga penting untuk mendiskusikan secara mendalam problem-problem sosial-kebudayaan masyarakat pemeluk agama.
Konon, Pak Harto senang dengan apa yang dilakukan Mukti Ali, sementara yang dilakukan pemerintah dianggap gagal. Itulah salah satu pertimbangan Pak Harto mengangkat Mukti Ali menjadi Menteri Agama pada 1971, lalu berlanjut pada 1972 hingga 1978.
Ketika menjadi Menteri Agama itulah momen Profesor Mukti Ali menggandeng Djohan Effendi untuk berbagai kegiatan dialog antar-iman. Mukti Ali dan Djohan Effendi sudah bersahabat secara dekat sebagai senior-yunior pada diskusi-diskusi yang diadakan di forum Limited Group Discussion, paguyuban kultural-intelektual di Yogyakarta yang didirikan oleh Mukti Ali sebagai dosen/Wakil Rektor IAIN Yogya saat itu.
Saat Mukti Ali menjadi Menteri Agama, proyek dialog itu masih bernama “proyek kerukunan hidup umat beragama”. Pertama-tama Mukti Ali menunjuk Masudi (Sekretaris Menteri Agama) sebagai ketua pertama, lalu Amidhan (Sekretaris Dirjen Bimas Islam) sebagai ketua berikutnya. Setelah itu, barulah Djohan Effendi yang memimpin “proyek Kerukunan Beragama” itu (Ahmad Gaus, 2009). Dalam catatan Mas Gaus (2009), selama mengembangkan kegiatan “dialog antar agama” Pak Djohan menekankan setidaknya lima (5) model: (1) saling mengenal. Semua peserta dialog harus saling mengenal dengan baik satu sama lain; (2) dialog yang setara. Dibangun perasaan teologis bahwa dalam dialog semua peserta harus diperlakukan secara setara, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah; (3) akarnya adalah iman; (4) agama adalah anugerah Tuhan. Dalam dialog harus disyukuri bahwa agama yang dianut masing-masing adalah nikmat terbesar dari Tuhan, menyimpan kekayaan dan kearifan yang luar biasa. Jangan sampai dialog membuat orang malah tidak percaya kepada Tuhan atau malah pindah agama; (5) “problem solving”. Pendekatan yang dilakukan dalam semua perhelatan dialog tidak semata bersifat normatif tapi harus “problem solving”. Para peserta dialog dari berbagai agama yang beragam diminta untuk ikut mengajukan proposal-proposal sebagai alternatif “pemecahan masalah” atas berbagai problem sosial, kebudayaan dan keagamaan.
Menurut Mas Gaus, di masa Pak Djohan, selama lima tahun (1972-1977), tidak kurang dari 23 kegiatan dialog para pemuka agama telah dilakukan di 21 kota di Indonesia. Tentu saja dengan dukungan penuh Mukti Ali sebagai Menteri Agama yang sangat antusias merawat dan mengembangkan kerukunan antar umat beragama.
Setelah Mukti Ali lengser dari Menteri Agama pada 1978 dan diganti Menteri baru orientasi kerukunan dan dialog berubah. Menteri Agama yang baru, yang memang tidak memiliki “panggilan akademik dan kultural” untuk kegiatan dioalog antar agama memiliki pandangan yang berbeda dengan Mukti Ali. Karena ada intrik-intrik politik dan kekuasaan, Pak Djohan akhirnya dipecat sebagai Kepala Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan pada 1978 itu, dan otomatis tidak memimpin proyek kerukunan lagi.
Orientasi kerukunan atau dialog antar agama pada tim Menteri Agama yang baru berubah dan mewujud dalam dua hal: (1) berbentuk regulasi-regulasi, dalam arti muncul banyak aturan untuk membuat kerukunan dan harmoni, bukan lagi gerakan-gerakan kultural, tapi sudah semacam aturan top-down, dari atas ke bawah; (2) “pendekatan keamanan”, dalam arti berbagai problem dan ketegangan pada masyarakat intra dan antar agama diselesaikan dengan cara “keamanan” dan aturan yang tegas dari pejabat Menteri Agama. Jadi, keadaan kemudian berubah. Ada beda antara usaha-usaha yang dilakukan oleh Mukti Ali dan Djohan Effendi sebagai akademisi yang memang memiliki “panggilan hidup” untuk kerukunan dan perdamaian dengan Menteri Agama baru dan para pejabatnya yang kembali pada karakter birokrasi, yakni “struktural”.
Itulah signifikansi pernyataan mas Budhy dan Mas Gaus di awal tulisan ini bahwa pak Djohan pantas disebut sebagai tokoh agama dengan benchmark “dialog antar agama” di era Indonesia modern dan bahwa inisiasi dan usaha-usaha Pak Djohan, bersama-sama dengan Mukti Ali, pada masa-masa 1970-an bukan jalan yang mudah dan lempang. Kini, ketika sering muncul berita “persekusi” terhadap kelompok-kelompok minoritas keagamaan (religious minority), kita merindukan sosok, kiprah dan wibawa Pak Djohan, bersama-sama dengan Mukti Ali dan Gus Dur. Seringkali berbagai problem ketegangan agama di tanah air ternyata bisa selesai dengan cara-cara dan pendekatan kultural.