Baru beberapa hari yang lalu saya bertemu dengan Ex petinggi organisasi terorisme Jamaah Islamiyah (JI), Nasir Abbas, di Ciputat dan gobrol lumayan panjang tentang gerakan-gerakan yang memperjuangkan daulah khilafah. Hizbut Tahrir tak ketinggalan jadi bahan pembahasan kami sore itu. Organisasi ini dalam analisis perbincangan kami, sangat sering menungangi beberapa aksi yang dilakukan oleh “umat islam”, terutama di aksi 212.
Yogyakarta adalah basis Ahlusunnah Wal Jamaah yang sangat kental dengan budaya. Keraton Yogyakarta merupakan keraton yang kerap menampilkan dengan sangat jelas nasionalisme dan keaswajaannya. Kita tidak bisa memungkiri juga bagaimana keraton ini turut mewarnai sejarah peradaban NKRI.
Di Yogyakarta ini hari Sabtu (3/3) segerombolan oknum mengatasnamakan Umat Islam melaksanakan aksi sambil membawa banner bertuliskan seruan menegakkan khilafah. Kelompok ini juga meneriakan khilafah secara berulang-ulang.
Saya tidak begitu paham apakah mereka mahasiswa atau oknum bayaran. Tetapi dengan sangat jeli saya melihat terpampang bendera oranye berlogo Gema Pembebasan. Rasanya saya tahu siapa dalangnya. Yups, siapa lagi kalau bukan eks Hizbut Tahrir.
Dalam obrolan dengan Nasir Abbas sehari sebelum peristiwa itu, HT memang organisasi yang sangat pandai menyembunyikan tangan-tangan usil mereka. HT sebagaimana kita kenal, pandai berlagak playing victim, seolah-olah terdzolimi. Jangan terkecoh, mereka hanya cari simpati.
Dalam pawai itu terlihat ada segerombolan ukhty-ukhty yang membawa tulisan “96 tahun tanpa khilafah, umat Islam tertindas” eh tapi, sebentar dulu. Umat Islam yang mana yang tertindas? Indonesia? Baiknya ngaca dulu saja deh.
Justru di negara ini umat Islam lah yang sering menindas. Jangankan kepada non-muslim, kepada sesama Islam yang hanya beda pemahaman beragama saja, main diskriminasi. Contoh korbannya: Ahmadiyah, Syiah. Lantas kata “tertindas” itu jika dikaitkan dengan kondisi di Indonesia sangat tidak relevan jadinya.
Anehnya lagi yang saya temukan, segerombolan akhy-akhy berbaju adat surjan, ada juga yang pakai batik. Tapi masalahnya mereka teriak-teriak anti nasionalisme.
“Lha kalok anti nasionalisme, sampeyan pakai batik itu saja sudah menunjukkan sikap nasionalis sampeyan. Priben toh?” Bathinku. Makin bingung deh, dasar kelakuan.
Yang saya sesalkan, pertama dan paling utama, mengapa aparat kepolisian setempat meloloskan izin kegiatan tersebut? Ini yang harusnya ditelusuri. Saya tidak berani menduga-duga keterlibatan apapun. Hanya saja saya menyayangkan tragedi “kecolongan” ini.
Padahal sebelumnya sudah diwanti-wanti, pasti sudah tahu dan paham lah bahwa HTI sudah merupakan organisasi terlarang. Kok ya masih dibolehkan berdemokrasi, sedangkan mereka sendiri menganggap demokrasi adalah toghut serta nasionalisme bukan ajaran Islam.
Kedua, saya kok merasa pemerintah sesudah membubarkan status legalnya ormas HTI, lantas menghilang begitu saja. Tidak adakah upaya yang lebih serius terkait bagaimana supaya mereka tidak bisa berkutik melawan demokrasi dan nasionalisme, lebih-lebih melawan negara untuk memaksakan penerapan syariat Islam ala kedelusian mereka?
Ketiga, lagi-lagi mengorek memori tentang wacana pemerintah terkait pemulangan eks WNI ISIS. Kalau gerombolan calon-calon penggerak “ISIS baru” saja di Indonesia di biarkan, bagaimana mungkin yang di Suriah sana mau dipulangkan? Ambyar jum, ambyarrr!!
Pawai yang terjadi di Yogja ini benar-benar menampar kita. Memang ini bukan kejadian sekali dua kali, namun sudah berkali-kali terjadi. Hizbut Tahrir ternyata meskipun sudah dibubarkan, gerakannya tetap saja eksis. Bahkan aksinya mendapat pengawalan aparat. Kok bisa begitu, ya?
Setelah tragedi kecolongan di Yogja ini, apakah kita yang mengaku moderat dan nasionalis ini tetap diam dan membiarkan aksi mereka berjalan begitu saja?
Ingat bagaimana Suriah sampai diambang kehancuran gara-gara gerakan semacam ini. Bagaimana menurutmu?