Dua hari lalu seorang tetangga saya mengantar undangan. Tertulis di sana: undangan yasin dan tahlil, memperingati meninggalnya eyang kami. Tidak ada yang aneh dengan undangan itu dan saya berpikir akan menghadirinya, karena malam Sabtu saya tak ada acara. Apalagi rumah si pengundang hanya berjarak tiga rumah dari rumah saya.
Hari itupun tiba. Selepas sembahyang Isya’ saya bersiap di depan rumah. Tetangga kanan kiri saya juga terlihat di depan rumah, sudah siap berangkat. Menariknya, salah satu tetangga saya, sebut saja Pak Paul, juga siap di depan rumahnya dengan jaket merahnya. Ia beragama Kristen dan ingin menghadiri undangan yasinan. Ia bahkan mengajak anak perempuannya yang masih sekolah di bangku SD.
Saya tentu senang melihat pemandangan itu. Pak Paul tampak tidak canggung dan tenang-tenang saja ikut yasinan. Ia bahkan berseloroh sedang mengunduh aplikasi Al-Quran di gawainya untuk dibacanya nanti. Ia juga bilang bahwa ia akan duduk di belakang dan menyimak saja karena memang tidak tahu arti dan makna yasin-tahlil. Acara yasinan rupanya juga dihadiri Pak Han yang Tionghoa dan bukan muslim.
Bagi saya, itu adalah pengalaman baru, mengingat sebelumnya saya hidup di lingkungan yang cenderung homogen. Kehadiran Pak Paul dan Pak Han yang disambut hangat oleh tuan rumah dan hadirin lain juga suatu hal yang menggembirakan. Acara yasinan tak ubahnya rapat RT yang siapa saja bisa hadir dan bercengkrama tanpa melihat latar belakang suku dan agama. Saya membayangkan jika yang terjadi adalah sebaliknya: seorang muslim datang ke “acara keagamaan” Kristen. Boleh jadi ia akan dihujat oleh saudaranya sesama muslim.
Saya kira, malam itu tak seorang pun ingin mengusir dan melarang Pak Paul dan Pak Han untuk hadir di acara yasinan. Di tengah orang-orang berpeci dan bersarung keduanya tampak tidak canggung dan biasa saja. Di sesi makan-makan, mereka ikut bercanda, membahas pilpres, sambat soal pekerjaan, menggunjing ketua RT baru yang berlatar militer dll. Menurut saya, toleransi di kompleks perumahan saya telah mewujud dalam tindakan, bukan sekadar wacana. Di sini, agama tampil dengan wajahnya yang ramah. Tidak kaku dan garang.
Kemauan menerima eksistensi kelompok lain, saya rasa itu ruh toleransi. Sebagian orang merasa hal itu makin terkikis seiring menguatnya kelompok yang mau menang sendiri dan enggan mengakui kelompok lain. Padahal hidup dalam keragaman adalah keniscayaan.
Usai acara, beberapa warga perumahan masih berkumpul dan ngobrol ngalor ngidul. Pak Adnan, yang baru saja resign dari bank tempatnya bekerja, berkisah tentang teman-temannya yang “hijrah”. Keluar dari bank karena takut riba dan khawatir gaji tak berkah. Meskipun di balik itu sebetulnya ada alasan lain yang lebih kuat: tekanan dari bank yang dirasa semakin tidak manusiawi. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, dari Senin sampai Ahad, hanya berkutat pada target dan target. Duniawi sekali.
Fenomena “hijrah” pegawai-pegawai bank ini menarik. Propaganda jauhi riba tampaknya berhasil. Yang tak kalah menarik, Pak Adnan menutup ceritanya dengan ajakan memilih capres 02, dengan sederet argumentasi. Saya tersenyum belaka mendengarnya.
Menyambung obrolan soal capres, Pak Adi, ketua kompleks kami, berujar bahwa bulan puasa nanti akan ada pemilihan ketua kompleks. Karena sudah dua periode, Pak Adi sudah saatnya diganti. Ia usul Pak Paul jadi penggantinya. Menanggapi itu, Pak Paul yang memang slengekan menukas: apa jenengan-jenengan tidak menonton tivi, kan sudah jelas, pemimpin itu tidak boleh kafir. Semua tergelak. Ada satire di situ. Pak Paul pun enteng saja menertawakan dirinya. Itu keahlian yang tak mudah. Ndilalah pas juga dengan ramai berita bebasnya BTP.
Malam itu, sepulang dari yasinan, saya makin yakin Indonesia akan baik-baik saja. Meski pilpres meruncingkan banyak hal, di pinggiran Solo orang-orang masih bisa berkelakar dengan tema yang sensitif: agama. Orang non Islam masih berkenan hadir dengan santai dan diterima dengan baik di acara yasinan. Masih bisa menjadikan “pemimpin kafir” sebagai guyonan.
Yah, walaupun di bagian Solo yang lain ada sekelompok orang yang marah-marah gara-gara mosaik jalan di depan balaikota diduga mirip salib. Mereka sangat khawatir Solo akan dijadikan kota salib. Hadeeh.