Gangguan kejiwaan adalah masalah sepanjang masa kehidupan manusia, dan di era yang begitu kompetitif lagi hingar bingar ini, persoalan kesehatan mental atau mental health adalah sesuatu yang mendesak untuk dipahami masyarakat. Kekeliruan memahami persoalan ini akan memicu banyak sekali salah persepsi yang akan merugikan para penyintas gangguan jiwa atau publik secara umum. rumah sakit islam
Pemerintah Indonesia telah menyusun kebijakan melalui UU Kesehatan Jiwa no. 18 tahun 2014, menyebutkan bahwa masyarakat dengan masalah kesehatan jiwa dibagi menjadi dua kategori: Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), yang masing-masing dilayani dan ditangani secara berbeda.
UU Kesehatan Jiwa menyebutkan bahwa ODMK maupun ODGJ mesti mendapatkan pelayanan sampai pengobatan yang memadai dari profesional kesehatan jiwa, baik dokter, psikolog maupun psikiater di layanan kesehatan. Sederhananya, ODMK adalah kalangan yang butuh pendampingan karena berisiko mengalami gangguan kejiwaan; dan ODGJ adalah orang-orang yang sudah memiliki gejala gangguan perilaku yang nyata sehingga mengganggu fungsi hidupnya – dan kadang perlu dirawat secara khusus.
Orang kebanyakan menganggap bahwa pengidap masalah kejiwaan adalah orang gila. Padahal selain melanggengkan stigma, penyebutan istilah “orang gila” ini menjadi salah satu penghambat usaha meningkatkan pengetahuan kesehatan jiwa di ranah publik dan proses penyembuhan para penderita gangguan jiwa.
Setiap masa memiliki perspektif tersendiri soal bagaimana suatu masalah kejiwaan muncul pada suatu individu atau kelompok masyarakat. Bimaristan, sebagai model awal institusi pelayanan kesehatan dalam peradaban Islam atau rumah sakit Islam tak luput memerhatikan bahwa gangguan kejiwaan juga merupakan persoalan kesehatan.
Ahmed Ragab mencatat dalam The Medieval Islamic Hospital: Medicine, Religion, and Charity bahwa sedari mula Bimaristan didirikan untuk akses layanan kesehatan seluas mungkin, tak terkecuali pasien gangguan kejiwaan. Kebanyakan Bimaristan yang didirikan secara wakaf, menyertakan keterangan dalam dokumennya bahwa bimaristan digunakan untuk merawat orang sakit dan terlantar, tak terkecuali “orang-orang gila”.
Kebanyakan Bimaristan memisahkan ruang rawat pasien gangguan jiwa ini dengan ruang rawat biasa, semata karena persoalan keamanan dan kenyamanan pasien lainnya. Bimaristan al Mansuri di Baghdad misalnya, membangun gedung rawat pasien gangguan jiwa di komplek yang berbeda dengan gedung induk – sehingga ia adalah satu bangunan tersendiri yang khusus dan terpisah. rumah sakit islam
Kitab-kitab hadis maupun fikih klasik lumrahnya menyebut orang dengan gangguan jiwa dengan al-majnun (orang yang tertutup akalnya) atau zawalul ‘aql (hilang akalnya). Dalam literatur hadis misalnya, agaknya disebutkan bahwa orang-orang majnun mesti diruqyah, didoakan, serta dalam beberapa kisah, dipasung. Selain itu dalam literatur fikih, sering sekali dinyatakan hak-hak orang dengan gangguan jiwa mesti diwakili keluarga atau orang yang “sehat jiwanya”.
Pada lingkup Bimaristan, orang dengan gangguan jiwa umumnya disebut al-mukhtallin (orang-orang yang terganggu akalnya) atau orang dengan penyakit yang disebut al-mamrurin atau dulu disebut melancholia. Adalah suatu kemajuan bahwa para pengelola bimaristan mulai menyikapi orang dengan gangguan kejiwaan dari perspektif medis, bukan semata-mata urusan gaib.
Tenaga medis di Bimaristan mengidentifikasi orang dengan gangguan jiwa setidaknya melalui gejala berikut: adanya gangguan mengenali realitas, ilusi yang aneh, mimpi buruk, serta sikap beringas yang tak terkendali.
Selain gejala di atas, dikenal juga kondisi melancholia dengan gejala rasa hilang minat, sedih, serta perasaan nihil yang dalam. Melancholia ini dulu dipahami sebagai dampak gangguan akumulasi cairan tubuh yang bersifat gelap dan panas, sehingga memengaruhi emosi dan pikiran. Pemahaman soal relasi penyakit dan gangguan keseimbangan dinamika cairan tubuh manusia ini sebagaimana ide para intelektual dan filsuf Yunani yang dipelajari para dokter di masa itu.
Biasanya, orang-orang dengan gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit Islam (Bimaristan) terindikasi yang membahayakan lingkungan, menyulitkan keluarga, atau terlantar. Tindakan pemasungan dan perantaian adalah hal yang jamak dilakukan. Para penghuni diberikan ramuan obat dalam sekian rentang waktu, serta diusahakan untuk bisa kembali hidup layaknya manusia umumnya. Sesekali, ulama diundang untuk mendoakan mereka.
Para penderita gangguan kejiwaan ini sering meracau, mengacau, serta sangat tak terduga dalam mencipta kegaduhan di tengah masyarakat. Karena itu orang dengan gangguan jiwa – sedari dulu – tak selalu sebagaimana yang kita bayangkan: lusuh, dekil, tak terurus. Banyak juga orang dengan gangguan jiwa yang tampak rapi dan mampu merawat diri sendiri, bahkan tampak terpelajar, namun memiliki gejala-gejala sebagaimana di atas sehingga membuat mereka mesti “diamankan” ke Bimaristan.
Alkisah, pada era pemerintahan Ahmad bin Thulun di Mesir, tersebutlah ia sering berkunjung ke bimaristan untuk sidak aktivitas pelayanan. Di satu waktu, Ibnu Thulun berjumpa dengan seorang pria yang dipasung di bangsal khusus pasien gangguan kejiwaan. Penampilannya rapi, tampak bersih, dan ketika menyapa Ibnu Thulun, ia bicara dengan rapi dan intelek. Orang ini mendaku bahwa ia adalah korban sebuah intrik yang menjadikannya dicap gila. Padahal menurut dirinya, ia tidak gila dan sehat-sehat saja.
Ibnu Thulun terkesan dan heran mengapa orang yang tampak baik-baik saja ini sampai dipasung dan dirantai di bangsal gangguan jiwa. Lewat instruksi Ibnu Thulun, pria ini dibebaskan dari pemasungan, namun tetap dipantau dalam Bimaristan. Sayangnya sekian hari berlalu, ia membuat kekacauan di Bimaristan saat Ibnu Thulun berkunjung. Sang pria melemparinya dengan buah delima dan hampir mencederainya. Gegara kekacauan yang terjadi, pria ini dirantai kembali. Entah karena apa, Ibnu Thulun tak pernah blusukan lagi ke bangsal khusus kesehatan jiwa di Bimaristan di hari-hari setelahnya.
Kisah serupa dicatat oleh al-Maqrizi dalam karyanya Durarul Uqud al Faridah. Alkisah, seorang dokter bertemu dengan pasiennya di Bimaristan yang berpenampilan rapi dan rupawan. Dokter ini menanyakan,
“Hei, mengapa kamu bisa masuk di sini?” tanya sang dokter. Pasien itu tidak menjawab pertanyaannya. Terdiam sesaat, sang pasien malah melantunkan sajak-sajak tentang waktu dan nasib.
Sekilas kisah di atas menunjukkan bahwa pasien dengan gangguan jiwa tampak seperti orang yang bernasib kurang beruntung, salah dipahami, serta merasa menjadi korban intrik dan konspirasi masyarakat lainnya. Mereka bisa memberi kesan intelek dan cerdas, yang kerap membuat para tenaga medis atau pengunjung terkesan – dan mempertanyakan kembali apa yang sebenarnya terjadi pada mereka.
Rupanya, pasien gangguan jiwa bukan hanya dari kalangan yang sudah memicu kekacauan atau meresahkan publik. Para kaum sufi juga pernah ada yang dirawat di bimaristan. Abu Bakar asy-Syibli disebutkan pernah berjumpa dengan salah seorang rekan sufinya di Bimaristan. Ketika sedang berkunjung, ia dipanggil oleh seseorang yang mengenalnya.
“Wahai Abu Bakar, bolehkah kau mintakan pada Tuhan? Kalau mengisi hatiku dengan cinta-Nya masih dirasa kurang, lantas apa guna Dia memasungku begini?”. Perkataan yang intim dengan Tuhan begini sangat familiar dalam tradisi sufi.
Bahkan Abu Bakar asy-Syibli sendiri konon diriwayatkan pernah dirawat di rumah sakit Islam (Bimaristan). Tidak cukup jelas keterangan apa yang membuatnya mesti dirawat di sana. Orang-orang menjenguknya ke bangsal. Tapi asy-Syibli malah melempari mereka dengan batu, seraya berujar,
“Jika kau mencintaiku, tahanlah diri sebagaimana penderitaan yang kualami ini.” Perkataan semacam ini bak simbol seorang hamba mesti menerima takdir dan bersyukur atas ketetapan Tuhan.
Kisah-kisah sufi atau para pelaku tasawuf banyak digambarkan “jiwanya tertawan dengan cinta pada Tuhan”, sehingga kerap menunjukkan perilaku yang tidak lumrah bagi masyarakat umumnya. Perlu Anda tahu, kitab-kitab tasawuf kiranya banyak mengulas kisah semacam itu sebagai hikmah, dan keabsahan faktualnya patut dipertanyakan. Kitab dalam tradisi sufi, tentu berbeda dengan kisah-kisah biografi atau sejarah.
Uniknya, kala itu kalangan pemberontak yang ‘berbahaya” bagi penguasa juga sering dimasukkan ke bangsal perawatan gangguan jiwa di Bimaristan, meski tanpa gejala gangguan kejiwaan sebagaimana dikenal saat itu. “Pembinaan” di sana menjadi salah satu opsi putusan pengadilan sebagai bentuk hukuman.
Tersebutlah seorang ulama saleh bernama Ali Said bin Ibrahim al Badrasyi, yang nasibnya kurang beruntung: miskin dan tidak pernah berada dalam posisi yang disegani masyarakat. Dicatat oleh Imam Al-Sakhawi, Ali Said al-Badrasyi pernah merasakan suatu masa ketika ia sangat resah secara spiritual. Ia memilih menyepi dalam bimbingan seorang guru sufi. Namun dalam kondisi semacam itu, ia pernah berpolemik dengan seorang hakim terpandang secara terbuka. Polemik dengan pejabat ini berbuntut hukum: Ali Said mesti “dibina” di bangsal pasien gangguan jiwa Bimaristan selama sepekan.
Ada juga kisah tentang pemuda bernama Al-Mahalli, seorang murid ulama terpandang. Karir dan namanya tidak cukup populer dalam sejarah. Al Mahalli ini menyerukan di tengah-tengah keramaian suatu pernyataan tentang penolakan sistem perbudakan dan kritik atas pembangunan monumen. Ia dicap agresif dan gila oleh penguasa dan mendapat hukuman “diamankan” di bangsal kejiwaan bimaristan. Tampaklah bahwa cap “gila” bisa menjadi satu alat pemberangus orang-orang yang tidak sejalan dengan penguasa.
Pernah juga dalam suatu kasus yang diriwayatkan oleh Imam as-Suyuthi, tersebutlah seseorang dijatuhi hukuman mati akibat mengaku sebagai Nabi, telah melihat Tuhan, dan peliknya, memiliki cukup banyak pengikut. Hakim telah membuat putusan: ia menista agama dalam kondisi sadar penuh, maka mesti dihukum mati. Tapi atas saran para dokter ia dinilai sedang terganggu jiwanya (mukhtallul ‘aql). Ia diputuskan mendapat hukuman pemasungan dan pembinaan di bimaristan.
Bimaristan yang menyediakan layanan kesehatan khusus orang dengan gangguan jiwa, memiliki dua sisi: sebagai tempat perawatan dan hukuman. Ada orang yang dirawat sesaat semata karena putusan pengadilan. Penilaian atas kegilaaan mereka semata akibat semata sikap melawan penguasa yang ditunjukkan dengan kegaduhan yang nyata. Barangkali – asumsi waktu itu – dengan “diasingkan”, “dikurung” atau menghuni bangsal kejiwaan bimaristan sementara waktu bisa membuat mereka menginsafi kesalahan pikirannya.
Lain lagi untuk pasien yang benar-benar ditengarai memiliki gangguan jiwa secara nyata dan dapat didiagnosis. Di bimaristan, mereka dirawat dan diterapi sebagaimana orang sakit – hanya saja pemasungan dan perantaian masih lumrah dilakukan.
Kedua jenis penghuni ini bercampur dalam satu lokal. Orang biasa yang dihukum karena dicap subversif dan pemberontak, disuruh tinggal bersama orang-orang dengan gangguan jiwa, adalah sebentuk “siksaan moril” dari penegak hukum.
Ragam kisah seputar layanan kesehatan jiwa di bimaristan ini menunjukkan bagaimana sikap penguasa dan perspektif tenaga medis kala itu dalam menyikapi orang dengan gangguan jiwa maupun kalangan yang “dicap” terganggu jiwanya. Mereka diasingkan dari tatanan masyarakat. Dengan pengasingan dan kesan begitu, orang dengan gangguan jiwa terstigma macam-macam – barangkali dari dulu sampai sekarang, mulai dari meresahkan keluarga, membahayakan diri dan sekitarnya, serta tidak berguna, yang menjadikan mereka tidak berhak mendapat tempat dalam kehidupan bermasyarakat.
Selain itu, bangsal perawatan pasien gangguan jiwa juga menjadi alat penguasa atau pejabat menghukum oposisi. Hal ini menjadikan pelayanan kesehatan mental atau rumah sakit jiwa adalah bayangan tempat yang gelap, pedih, mencekam, dan menjadikan siapapun penghuninya ikut terganggu mentalnya juga. Stigma atas banyak hal muncul bukan hanya sebab ketidaktahuan, tapi juga karena ia juga dilanggengkan oleh sejarah. (AN)