Terlepas dari kontroversi ucapan dan tindakannya, Rizieq Shihab merupakan otoritas baru keagamaan yang dianggap sebagai simbol “Panglima Besar Umat Islam”. Namun, setelah ia dan keluarga umrah ke Arab Saudi dan hingga sekarang belum kembali ke Indonesia, pertanyaan yang selalu muncul, siapa sebenarnya sosok yang dapat menggantikan dirinya untuk menjaga api solidaritas yang dianggap merepresentasikan umat Islam?
Pasca demonstrasi 212 dan kepergiannya, beberapa orang dan kelompok sebenarnya mencoba mengambil alih otoritas itu tapi selalu gagal. Akibatnya, kita bisa melihat setidaknya sudah ada tiga organisasi kemasyarakatan yang mengatasnamakan alumni 212, seperti Persaudaraan Alumni (PA) 212 di bawah Pimpinan Slamet Ma’arif, Alumni Presidium 212 di bawah Aminuddin, dan Garda 212 di bawah Ansufri Idrus Sambo. Masing-masing kelompok ini memiliki orientasi politik yang berbeda-beda.
Dalam “perayaan” reuni 212 kemarin, praktis hanya PA di bawah Pimpinan Slamet Ma’arif saja yang bergerak dalam mengorganisir acara tersebut. Meskipun menghadirkan massa yang cukup banyak, tapi tidak ada satupun sosok dari organisasi ini yang bisa merepresentasikan sosok seperti Rizieq Shihab; bersuara lantang, provokatif, dan memiliki keberanian untuk menyulut emosi. Namun, melihat rekam jejaknya yang melakukan persekusi kepada kelompok minoritas dan berkali-kali berhadapan dengan kepolisian, saya melihat sosok pengganti itu kepada Bahar Smith.
Dalam ceramahnya, ia tidak hanya lantang, tetapi berani mengejek orang nomor satu di Indonesia dengan menggunakan atribut perempuan yang bernada merendahkan dengan sikap misoginis. Padahal kita tahu, UU ITE merupakan produk hukum yang bisa mengancam siapa saja di ruang publik. Kondisi ini membuat masyarakat kemudian bersikap hati-hati. Karena itu, keberanian untuk berceramah secara provokatif tanpa dukungan orang kuat dibelakangnya, rasanya mustahil Bahar Smith bisa berbicara dengan provokatif semacam itu.
Di sisi lain, membangun narasi rejim Jokowi yang dianggap “menindas ulama” sempat bisa dinetralisir dengan naiknya Ma’ruf Amin sebagai calon Wakil Presiden mendampingi Jokowi. Pemicu untuk membentuk stigma terhadap Jokowi pun relatif menjadi lebih berkurang. Dalam banyak hal, kelompok oposisi dari kelompok Islam seperti ini kehilangan isu utama untuk menurunkan elektabilitas Jokowi.
Di sini, terlepas dari provokasi ucapannya, gaya ceramah yang menyulut ini yang dibutuhkan sambil terus membangun asumsi Jokowi anti ulama dan Islam. Dengan kata lain, Bahar bisa menjadi proxy di tengah ketiadaan Rizieq Shihab dalam membangun narasi perlawanan terhadap rejim Jokowi.
Upaya untuk melakukan ini terlihat, misalnya, dengan pendapat Sandiaga Uno yang menganggap ceramahnya mengandung hikmah dan penuh makna, meskipun kita tahu itu merupakan provokasi dengan balutan agama.
Usia yang relatif muda, sebenarnya tidak menjadi beban bagi Bahar sebagai bagian dari kelas milenial untuk bicara provokasi semacam itu. Apalagi sebelumnya, ia telah membangun basis dengan membentuk paramiliter seperti FPI, yaitu Majelis Pembela Rasulullah pada 2012 dengan melakukan razia Cafe De Most Pesanggrahan Jakarta Selatan.
Provokasi itu yang tampak sulit dilakukan oleh generasi yang jauh lebih tua, di mana pertimbangan menjadi basis untuk bertindak. Karena itu, apabila nanti Bahar kemudian ditangkap, hal ini bisa menjadi dalih atas prakondisi yang diciptakan sebelumnya di mana Jokowi sebagai presiden yang dianggap sebagai “anti-ulama”.
Di sisi lain, kondisi ini merupakan peluang bagi predator politik untuk menunggu langkah selanjutnya untuk memanfaatkan momentum isu di tengah gelombang islamisasi sekaligus kebijakan atas pembubaran HTI sebelumnya yang sudah menciptakan prakondisi. Dari kondisi ini, rejim Jokowi harus berhati-hati dalam melihat jebakan ini.
Salah langkah sedikit saja, amplikasi anti-Islam secara otomatis akan terus dimainkan. Apalagi kita tahu, dalam reuni kemarin, ketimbang aksi 212 dua tahun sebelumnya, FPI dan anak-anak organisasinya lebih memainkan peran sangat signifikan dalam reuni tersebut.
Meskipun harus disadari juga, tidak semua yang hadir dalam reuni itu merupakan orang-orang yang anti-Jokowi. Ini karena orang yang anti-Ahok tidak otomatis anti-Jokowi. Selain itu, Jokowi juga bukanlah Ahok yang memiliki bawaan dobel minoritas, baik etnik ataupun agama. Ada juga dari yang hadir reunian ini justru mendukung Jokowi. Reunian yang bertepatan dengan hari Minggu juga memungkinkan orang untuk hadir dalam mengenang sesuatu yang dianggap sebagai perjuangan Islam. Namun, siapa yang memegang otoritas suara, khususnya sound-system di depan panggung justru ialah yang dimuat dan terartikulasikan oleh media.
Melalui liputan media, baik cetak ataupun online, kita tahu ini memiliki pertautan yang keras dengan pilpres 2019. Saya sebut demikian, dibandingkan dengan tahun lalu, jumlah massa yang hadir merayakan alumni ini jauh lebih banyak. Elit-elit politik dari kubu lawannya Jokowi juga hadir.
Di sini, pertautan politik elektoral dan aksi massa dengan jumlah yang banyak memiliki keterhubungan yang erat. Tanpa adanya momentum elektoral, sangat mustahil jumlah aksi bisa jauh lebih banyak. Demonstrasi aksi bela bendera, protes pembubaran HTI, dan pembebasan Rizieq Shihab bisa jadi contoh dalam hal ini. Dengan demikian, reunian 212 merupakan sekadar pemanasan untuk proses elektoral pilpres tahun depan.