Ada masalah yang membelit sebagian pasar keislaman, yakni: di satu sisi menghayati moralitas yang strukturalis, namun kemampuan ekstraksi keagamaannya sporadis, alias tidak karuan. Jika paradoks ini benar, maka, bagaimana mungkin purifikasi moralitas struktural yang diperjuangkan dan dibela mati-matian itu benar-benar murni jika ketajaman ekstraksi pondasi dasarnya saja dipertanyakan? Kita patut curiga, dari mana suatu hal yang pondasi dasarnya rapuh namun berani menampilkan diri terkesan ‘kokoh’ mendapatkan kepercayaan diri?
Di era postmodern, atau era whatever goes, atau era sak karepe dewek, ada dua kemungkinan sumber kepercayaan diri: (1) karena benar-benar paham dan memiliki kemampuan ekstraksi yang memadai, atau (2)hasil fabrikasi ‘iklan,’ yang antara bungkus dan esensinya sering kali tidak sesuai. Masalahnya, di era postmodern, ekstraktor yang kompeten kerap dimarjinalkan atau bahkan dirundung.
Sebabnya, lewat sumber kepercayaan diri yang ke dua, postmodernisme menciptakan umat yang haus keelokan ‘bungkus’ namun tuna-esensi. Di sini, tradisi menikmati spectacle—atau kurang lebihnya ‘gemerlap’—muncul. Kalau ditelusuri akarnya, kita akan bertemu riwayat periklanan di awal abad 20 yang pada mulanya hanya sekedar menjual dengan ‘jujur’ (karena menganggap masyarakat kapitalistik pada masa itu cukup terliterasi), menjadi ke: menjual citra, pengakuan sosial dan fetis. Esensi barang adalah hal periperal dalam prinsip dagang a la postmodernisme.
Seiring waktu berjalan, saat 3 dekade menjelang millennium, karena daya topang ekonomi masyarakat semakin naik, dan teknologi komunikasi dan hiburan semakin canggih, maka budaya visual dan kehausan akan spectacle juga semakin canggih. Tradisi menikmati spectacle yang sebagaimana saat ini terlihat seakan-akan ‘natural’ itu dapat ditemui di mana pun, dan dalam bentuk apapun. Mulai dari keindahan, kengerian, kelucuan, keimutan, keromantisan, kepemimpinan hingga ketuhanan. Wujud narasinya pun A-Z, dan semuanya prasmanan dan bisa dikustomisasi.
Masalahnya, tradisi ini memprioritaskan kemanusiawian dibanding kemanusiaan; dan mendahulukan mistifikasi dibanding demistifikasi. Oleh karena itu, jika kita menelusuri akar dibalik suatu sajian, entah itu keindahan, kengerian, keimutan ataupun ketuhanan, kita akan menemukan rajutan dari watak-watak kemanusiawian: bias kognitif, oedipus, fiksi pelarian, festisisme, homo homini lupus, libido (baik itu di ranah cinta, politik, agama dan ekonomi), agresi, dan lain-lain di bagian hulu ataupun hilir sajian tersebut.
Dari latar itu, orang-orang seperti Derrida, Foucault, dkk. membolak-balikan makna teks dan fenomena sosial agar kebrutalan yang ditutupi mistifikasi benda/diri/tokoh/dll yang dipelihara postmodernisme bisa terungkap.
Dalam konteks agama, itulah kenapa di buku Amusing Ourselve to Death (1985), Neil Postman bilang, “(1) agama itu sekarang ditampilkan seperti hiburan, simplistik dan tanpa rasa rendah hati, dan tanpa rasa takut salah. Muatan historis, ritualistik dan kesakralan dihabisi. Penceramah adalah nomer satu, dan Tuhan nomer dua. (2) Sebagian besar penceramah entertainer itu adalah orang-orang yang tidak berpendidikan di bidangnya. (3) Adalah naif jika menganggap semua wacana (khususnya wacana agama) bisa konversi dari satu bentuk konten medium A ke bentuk konten medium B tanpa mengubah makna, tekstur dan nilainya.”
Jika ingin agama yang dijaja laris, postmodernisme menyarankan dua cara: pertama, disajikan dengan dosis kerecehan yang tinggi. Atau, kedua, disajikan dengan taburan nama-nama/kata-kata sakral yang berapi-api sehingga menyakralkan si penjaja, namun sekaligus monomer-duakan Tuhan. Di hikayat Kisah 1001 Malam, Zatud Dawahi, nenek dari negeri Romawi yang dendam kesumat terhadap ayah Pangeran Syarru Kaana pernah bersumpah, “aku akan membunuhmu meskipun jika harus menghafalkan Al-Qur’an, mempelajari ilmu hikmah dan menyelami tasawuf. 40 tahun adalah waktu yang sebentar bagi orang Arab untuk membalas dendam.”
Dengan mengumbar ilmu agama dan kata-kata shalih, Zatud Dawahi berhasil masuk kelingkaran kerajaan dan mendapatkan kepercayaan ayah Pangeran Syarru Kaana. Ia dianggap kekasih Allah dan semua orang tunduk padanya. Tidak lama kemudian, Zatud Dawahi berhasil membunuh ayah Pangeran Syarru Kaana. Di pemakaman, menteri kerpercayaan keluarga kerajaan menasehati Pangeran Syarru Kaana, “dari awal aku sudah curiga pada orang itu. Janganlah engkau mudah percaya pada orang yang banyak bicara agama.”
Postmodernisme ramah terhadap orang seperti Zatud Dawahi dan terhadap orang-orang yang naif. Sebagian pendakwah merasa baik-baik saja ketika mengubah/mengekstrak konten yang berakar dari tradisi oral dan tradisi tulis menjadi konten Tik-Tok, dll. Sehingga, substansi, tekstur ataupun nilai yang terdiskon tidak ia lihat. Akibatnya, pendakwah yang positivistik—atau yang menganggap semua alami-alami saja—kerap dikoreksi karena kedangkalan muatannya yang sering kali: tidak berasal dari tradisi perdebatan ilmiah, pura-pura pakar dibidang agama, minim ketelitian tinjauan bahasa, ahistoris, minim wawasan kebudayaan visual, dan gelap terhadap dampak teknologi/media pada psiko-kognitif manusia.
Jika dikoreksi, ketidak-karuan-an kompetensi diri ditutupi dengan “niat baik tulus karena Allah dan ingin menegakkan agama Allah.” Namun, niat baik tidak akan pernah lebih utama dibanding akibat yang ditimbulkan. Pembolak-balikan makna yang dulu digagas kritikus postmodernis, sekarang menjadi senjata makan tuan. Teknik pembolak-balikan makna kini digunakan untuk men-demistifikasi kepakaran si korektor, sekaligus me-mistifikasi benda/diri/tokoh/dll. Implikasinya, In a whatever-goes world, kepercayaan diri orang yang penuh keterbatasan membolehkan predikat ‘pakar’ ditukar secara arbitrer dengan kata ‘liberal,’ ‘sesat,’ ‘lentur,’ dll.
Paradoks yang dipaparkan di awal tulisan ternyata bukan sebuah paradoks, tapi sebuah pengingkaran. Bagaimana mana mungkin kesalehan tuna-esensi berbungkus spectacle yang tidak jenuh-jenuhnya menjajakan moralitas auto-surga bisa menyelamatkan kita, jika sama sekali tidak memiliki kompetensi membedah tipu daya dunia? Bagaimana mungkin ia benar-benar sakral jika masih monomer-duakan Tuhan untuk mistifikasi diri dipanggung? Bagaimana mungkin bisa rendah hati jika masih tidak takut salah?
Ketidak-karuan-an kompetensi diri mendorong sikap mudah kaget saat menghadapi perubahan zaman, sulit menerima pengetahuan/fakta yang berlainan dengan kepercayaan yang dianut, dan sempit dalam berempati pada diversitas moral. Ketika buta tipu daya dunia, dan tidak mampu mencari harmoni antara masa lalu dan masa depan, maka sikap a la postmodernis adalah alternatif yang paling mungkin bisa mengamankan moralitas diri. Sikap ini nyaman karena didukung oleh prinsip addunya lahwaw wa la’ibun dan la ‘arofa nafsi, alias tipu daya dunia dan apatisme diri bertopeng agama.