Setelah libur super panjang selama satu tahun penuh, akhirnya bulan depan anakku, Bilqis, akan kembali bersekolah. Setahun lalu, aktivitas Bilqis bermain di taman kanak-kanak sengaja kami hentikan karena berbagai alasan. Sesuai rencana semula, setelah satu tahun kami akan mengembalikannya ke habitat anak-anak TK.
Sebagaimana keluarga yang bersiap menyambut tahun ajaran baru, kami pun mulai melakukan pengecekan persiapan Bilqis masuk sekolah. Kami mulai membuat daftar apa saja kebutuhan-kebutuhannya yang belum kami penuhi. Salah satu kebutuhan itu adalah sepatu sekolah.
“Bilqis, uang THR nya digunakan untuk beli sepatu sekolah, ya?” Ujarku padanya pada saat kami selesai menghitung total pendapatannya selama lebaran.
“Oke,” jawabnya santai.
Tentu aku pun bahagia. Ibu-ibu memang senang hati bila ada pos pengeluaran yang bisa dihemat.
“Tapi, beli kura-kura, squishy, dan nonton Toy Story 4 juga, ya!” Tambahnya kemudian.
Aku tepok jidat. Anak ini ternyata sudah mengerti bagaimana bersenang-senang dengan uangnya sendiri. Setelah setengah dari uang THR nya dimasukkan tabungan, sisanya masih cukup untuk memenuhi keinginan-keinginannya itu. Jadi, permintaannya kami loloskan.
Sepatu menjadi prioritas pertama untuk dibeli. Sesuai janji kami, suatu malam kami mengajaknya ke toko sepatu. Aku membiarkan Bilqis memilih sepatunya sendiri. Aku ingin menjadi orang tua yang mampu menghormati pilihan anaknya. Tapi, konsisten bersikap begitu ternyata susah. Ketika Bilqis menunjuk satu model sepatu yang menurutku “enggak banget,” aku segera mengusulkan padanya agar memilih sepatu model yang lain. Sekarang, aku paham kenapa dulu aku sering bertengkar dengan ibuku ketika kami membeli barang-barang keperluanku.
Setelah sibuk melihat-lihat, akhirnya Bilqis menjatuhkan pilihan pada sebuah sepatu sneakers berwarna fuchsia. Aku pun suka dengan pilihan terakhirnya. Sudah terbayang Bilqis akan tampil keren mengenakan sepatu itu. Kami minta pada pramuniaga untuk mencarikan ukuran satu nomor diatas sepatu yang ada didisplay. Setelah dicoba, ternyata kaki Bilqis tidak bisa masuk, sepatunya masih terlalu kecil. Kami minta lagi satu nomor lebih besar, masih juga sempit. Akhirnya, kami meminta satu nomor lagi diatasnya, namun sayang yang tersisa hanya tiga nomor diatasnya dan terlalu besar di kaki Bilqis.
Bilqis terlanjur jatuh hati pada sepatu berwarna fuchsia itu. Aku pun juga. Tapi, tak mungkin tetap membeli sepatu yang tak cocok di kakinya. Akhirnya, kami memberi pilihan pada Bilqis apakah ia akan tetap membeli sepatu model lain di toko itu atau ingin mencari yang lebih baik di toko yang lain? Bilqis memilih yang kedua.
Mengingat kami cukup lama berada di sana dan berakhir dengan tak membeli apa pun, aku minta Bilqis untuk permisi pada pramuniaga.
“Tante, maaf ya tidak jadi beli karena tidak ada yang cocok untuk Bilqis,” katanya malu-malu.
“Iya, tidak apa-apa. Terima kasih, ya,” jawab si pramuniaga sambil tersenyum. Andai Bilqis tak bicara begitu, aku yakin pramuniaga itu akan nggrundel.
Demikianlah agenda hari itu kami anggap selesai. Kami bergegas pulang ke rumah. Sesampainya di depan pintu rumah, Bilqis menangis dan tidak mau turun dari motor. Kami berdua terheran-heran melihatnya, merasa tidak ada sesuatu yang salah sejak tadi. Ayah Bilqis yang sudah lelah memilih untuk mlipir dan memintaku untuk menanganinya.
Sekitar sepersekian detik aku merasa punya legitimasi untuk membentak Bilqis dan menyuruhnya diam saja. Tapi akhirnya yang kulakukan adalah mempraktikkan tips mengelola emosi yang kubaca di internet, menghitung mundur dari angka sepuluh sampai satu. Aku tarik nafas dalam-dalam melalui hidung, lalu kulepaskan pelan-pelan melalui mulut. Ketika sudah cukup tenang, aku meraih dirinya yang masih menangis.
“Bunda boleh bicara?” Tanyaku.
“Boleh. Huhuhuu,” dan ia pun menangis.
“Bunda bicara kalau sudah tenang. Kalau masih menangis, tidak apa-apa. Bunda dengarkan suara tangisnya,” balasku.
“Huhuhuu… huhuhuuu.. huhuuu…” Tangisnya masih berlanjut, tapi tak lama mereda.
“Boleh tahu Biqis menangis karena apa?” Tanyaku saat suara tangisnya nyaris hilang.
“Karena tidak jadi beli sepatu, huhuhu,” isaknya.
“Oke, Bunda baru ngomong lagi kalau Bilqis sudah tenang. Sekarang, tarik nafas yang dalaaammm… lepaskaaaann…” Aku membimbingnya relaksasi.
“Iya, tadi kan kita mau beli sepatu, tapi kan tadi tidak ada yang cocok. Bilqis bilang mau cari di tempat lain?” Lanjutku.
“Iya, kan Bilqis bilang cari di tempat lain, tapi kenapa kita malah pulang?” Gugatnya.
Aku tepok jidat. Kesalahan kami adalah tak memperjelas kapan waktunya mencari sepatu di toko lain. Kami otomatis berpikir mencari sepatu di tempat lain dan hari lain, tapi Bilqis berpikir mencari sepatu di toko lain, tapi di malam itu juga.
“Iya, maksud Bunda tadi cari di toko lain di hari yang lain, tidak malam ini.” Jelasku.
“Tidak mau. Maunya sekarang.”
“Tapi, ini sudah malam, Bilqis.”
“Pokoknya, sekarang!”
“Tidak bisa, Bilqis. Ayah sama Bunda udah capek. Kalau cari sepatu dalam keadaan capek, nanti malah dapatnya yang jelek. Biar dapat sepatu yang cocok dan bagus kan kita juga harus dalam keadaan bagus.” Aku masih terus melakukan usaha persuasi.
“Tapi Bilqis tidak capek,” balasnya.
“Bilqis memang tidak capek, tapi Ayah sama Bunda yang capek. Boleh nggak Ayah sama Bunda merasa capek?” Tanyaku padanya.
“Tidak boleh,” jawabnya singkat. Dia masih saja keras kepala.
Aku menarik nafas panjang. Badan sudah lelah, tapi harus memfasilitasi emosi anak pula.
“Bunda masih bisa, kok, dalam keadaan capek tetap menemani Bilqis cari sepatu. Tapi kalau itu Bunda paksakan, Bunda bisa kecapekan. Kalau Bunda kecapekan, Bunda bisa sakit. Bilqis mau Bunda sakit?” Tambahku panjang lebar.
Dia menggeleng.
“Bilqis mau Bunda nggak bisa bangun dari tempat tidur dan nggak bisa kemana-mana?” Tanyaku lagi. Terdengar berlebihan, tapi memang demikian kondisi kesehatanku satu tahun belakangan.
“Tidak mau,” jawabnya.
“Jadi, gimana? Masih mau mencari sepatu malam ini juga?” Kataku kembali bertanya.
“Hari lain saja,” tukasnya.
“Oke, sekarang Bilqis sudah tidak apa-apa?”
“Tidak apa-apa.”
“Sekarang, kasih tau ayah kalau Bilqis sudah tidak apa-apa,” ujarku.
Dia beranjak dan menghampiri ayahnya, “Ayah, Bilqis sudah tidak apa-apa. Tidak apa-apa kok beli sepatunya besok.”
“Iya.” Sahut ayahnya sambil memeluk Bilqis.
Apa yang kupelajari di malam Bilqis menangis karena gagal membeli sepatu? Anak ternyata tetap bisa diajak diskusi untuk memahami situasi selama emosi orang tua terkendali. Pelajaran lainnya, emosi anak mereda ketika ada empati dari orang tua. Empati itu berbentuk penerimaan terhadap emosi anak dan kebolehan untuk mengekspresikannya.