Pandji: Sebuah Manuver Kelas Menengah

Pandji: Sebuah Manuver Kelas Menengah

Usul saya Pandji sebaiknya ikut pelatihan Banser atau Pemuda Muhammadiyah, kata penulis artikel ini. Anda setuju?

Pandji: Sebuah Manuver Kelas Menengah
Pandji menjadi salah satu tokoh publik yang meramaikan jagad sebagai tim kampanye, khususnya bagi Jokowi dan terakhir ia membantu Anies Baswedan. Pict by Wisnu Agung Prasetyo/Beritagar.id

Benarkah, mengutip video Pandji, NU-Muhammadiyah tidak dekat dengan masyarakat? Mari kita buktikan. Dengan 3.334 Sekolah dari tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas dibawah majelis Disdakmen Muhammadiyah dan 20.136 Sekolah dari tingkat Ibtidaiyah hingga Aliyah dibawah naungan LP Maarif NU, maka terdapat 23.470 sekolah di bawah naungan kedua organisasi Islam tersebut.

Jika masing-masing sekolah (3,3&6) terdapat beberapa kelas dalam tiap jenjang, maka terdapat 281.640 pintu kelas yang dibuka oleh sekolah yang didirikan kedua ormas Islam tersebut setiap tahun untuk membantu rakyat Indonesia dalam pendidikan. Hitungan ini masih kasar, belum ditambahkan keringanan biaya pendidikan dan beasiswa yang disediakan oleh kedua Ormas Islam tersebut kepada masyarakat. Apakah 281.640 pintu ini yang dimaksud oleh Panji stand Up Comedy ‘tinggi dan elitis?’

Maka, orang yang menyebut ulama kedua organisasi tersebut ‘tidak membukakan pintunya bagi rakyat yang membutuhkan’ sebagaimana ulama yang organisasinya dibubarkan pemerintah, perlu mendapatkan pendidikan sains yang baik, seperti menghitung pintu, sebelum membicarakan soal politik dan agama. Ini baru berbicara pendidikan.

Sebagai organisasi Islam yang besar, NU dan Muhammadiyah memiliki banom-banom yang mengurusi berbagai bidang sosial. Dibidang Amil, Zakat, Infaq dan Sodaqoh, NU memiliki LAZISNU dan Muhammadiyah memiliki LAZISMU. Tentu soal politik dan budaya diurus oleh banom lain.

Sebenarnya organisasi yang dibubarkan ini selevel dengan Pemuda Muhammadiyah dan Banser. Jika terjadi bencana alam dan kemanusiaan, baik Pemuda Muhammadiyah dan Banser turun kelapangan. Namun uniknya, ada organisasi Islam yang jikalau memiliki persoalan politik dan hukum, maka peran mereka dibidang kemanusiaan dijadikan tameng untuk tindakan kriminal seperti sweeping dan aksi kekerasan.

Artinya, adalah fakta bahwa organisasi yang dibela Panji ini membesar-besarkan peran mereka dibidang kemanusiaan yang sebenarnya merupakan kegiatan umum yang dilakukan oleh Organisasi masyarakat manapun ketika terjadi bencana. Tidak hanya Pemuda Muhammadiyah dan Banser, banyak juga Ormas kepemudaan lain yang selalu hadir ketika bencana.

Apa bedanya?

Pada level ini, hanya propaganda yang masif, yang berhasil menyakinkan kita bahwa ‘pintu ulama-ulamanya’ organisasi tersebut selalu terbuka sementara (ulama) NU-Muhammadiyah terlalu tinggi dan elitis.’

Pernyataan tersebut tidak ilmiah mengingat tidak disebutkan berapa pintu yang terbuka dan yang tertutup. Berapa, dimana, dan bagaimana perbandingannya?

Pintu ormas yang dibubarkan tersebut juga bermasalah. Pintu tersebut belakangan menerima tamu intelejen dari negara asing yang justru berbahaya bagi kedaulatan negara dan bangsa.

Fakta semacam ini tentu tidak mudah difahami oleh kelas menengah ibukota yang kesadaran politiknya baru muncul sejak tahun 2016, dan menyatakan diri sebagai salah satu pendukung calon gubernur Ibukota yang menggunakan politik identitas sebagai cara meraih kekuasaan–tanpa rasa malu.

Pandji hanya melihat sebagian riset yang menunjukan peran ormas yang sudah dibubarkan pemerintah itu dalam sosial kemasyarakatan, namun melupakan bahwa ketertarikan masyarakat untuk menjadi bagian organisasi tersebut juga karena daya pikat yang dihasilkan oleh serangkaian ‘gagah-gagahan’ perihal melanggar hukum.

Baliho yang menyesaki ruang publik, blokade pada aparat dan rombongan berbaju putih yang sering melanggar lampu merah tentu tidak akan terasa oleh kelas menengah seperti Pandji.

Oleh sebab itu Pandji melupakan fakta mengapa banyak anak muda perkotaan justru lebih tertarik dengan organisasi tersebut yang seolah-olah adalah robinhood dengan topeng Sweeping atau mungkin topeng robinhood dengan sweeping.

Sekali lagi, daya pikat ormas tersebut terdapat pada saat anak muda mendapatkan keistimewaan (privilege) ketika melakukan pelanggaran hukum dengan dalih agama. Sebagai warga Jakarta, tengoklah tradisi SOTR pada waktu sahur dengan dalih agama, justru menambah kriminalitas remaja. Organisasi tersebut secara resmi menawarkan keistimewaan semacam itu.

Oleh sebab itu, meskipun hidup di Jakarta, sebagai kelas menengah ibukota Pandji melupakan fakta lain seperti fenomena munculnya kelas menengah di kota menengah yang diteliti Gerry van Klinken dan Berenschot, bahwa–mengutip Noorhadi Hasan–pola konsumsi kelas menengah bukan hanya representasi budaya semata, namun juga pernyataan politik (Klinken, 2016).

Maka wajar jika sebagian orang menganggap pernyataan panji bukan sekedar memperbesar monetise demi produksi konten, tapi sebuah pernyataan politik.

Saya kira cara paling mudah untuk menyelamatkan statemennya yang tidak cerdas dan humoris ini adalah dengan menyalahkan dunia pendidikan kita.

Bagaimanapun Pandji adalah produk pendidikan. Usul saya Pandji sebaiknya ikut pelatihan Banser atau Pemuda Muhammadiyah, mungkin saja ada beberapa materi yang perlu ia pelajari sebelum merusak ruang publik dengan lelucon buruk.