Virus Corona yang tersebar di pelbagai penjuru dunia, menghentak manusia untuk sadar betapa jangkauan kita atas kehendak, kekuasaan dan bahkan pengetahuan dihadapkan pada tantangan-tantangan yang terhampar di alam raya. Di hadapan Covid-19, manusia terlihat rentan sekali, egoisme untuk saling berebut kekayaan dan keuntungan seakan tertampar oleh fakta bahwa kemanusiaan dan solidaritas lebih utama.
Namun, yang lebih membahayakan di tengah persebaran virus Corona itu pelintiran informasi, hoax dan teori konspirasi yang tersebar luas. Informasi palsu terkait teori konspirasi ini nyatanya lebih mematikan dan berbahaya daripada persebaran virus.
Dari persebaran teori konspirasi, informasi-informasi palsu beredar tidak hanya di Indonesia tapi di pelbagai negara. Teori konspirasi yang menuduh Yahudi sebagai dalang di balik Covid-19. Di sisi lain, beredar juga kebencian terhadap China sebagai penyebab virus, yang meluas sebagai sentimen etnis dan xenophobia.
Bill Gates dituding sebagai dalang munculnya virus Corona lantaran keterkaitan yayasan yang ia dirikan bersama istrinya dengan riset untuk vaksin virus. Bill and Melinda Foundation terlibat dan mendanai riset untuk vaksin virus Corona, serta mengajukan paten untuk keperluan riset berkelanjutan di Pillbright Institute.
Namun, dari data yang diunggah Full Fact, paten yang diajukan Pillbright Institute bukan untuk riset vaksin atas virus yang menyebabkan untuk Covid-19. Lembaga riset ini mengajukan paten untuk pembuatan vaksin untuk melawan vaksin pada burung dan hewan-hewan lain.
Teknologi 5G juga dianggap sebagai penyebab meningkatnya persebaran virus Corona. Kota Wuhan di China, sebagai kota pertama uji coba teknologo 5G oleh pemerintah China. Teknologi 5G dituding melemahkan pertahanan diri dan ketahanan imun manusia, yang pada akhirnya menyebabkan rentan terhadap serangan virus. Serangan-serangan informasi terhadap teknologi 5G sebagai penyebab Covid-19, nyatanya tidak terbukti karena negara-negara yang belum melakukan ujicoba 5G semisal Iran, juga terkena dampak parah persebaran virus.
Teori konspirasi atas muasal tersebarnya virus Corona juga tersirkulasi secara massif di China. Di negeri Tirai Bambu, banyak informasi yang berbedar di media sosial yang mengungkap bahwa Covid-19 merupakan senjata biokimia yang diproduksi oleh CIA dan pemerintah Amerika Serikat. Efek kejut ini bertemu dengan fakta bahwa pemerintah Amerika Serikat dan China dalam beberapa waktu sebelumnya berkompetisi dalam perang dagang. Pemerintah AS dan China saling melempar pernyataan terkait perang dagang, yang memanaskan hubungan diplomasi antar kedua negara.
Sedangkan, di kawasan Arab, beredar informasi bagaimana virus Corona disebabkan oleh konspirasi Yahudi dan Amerika untuk menghancurkan musuh politiknya. Hal ini terlihat bagaimana narasi media di Irak, yang menampilkan teori bagaimana pengusaha kaya dari Yahudi, Rothschild, merupakan dalang di balik krisis Covid-19.
Bahkan, di beberapa kawasan Arab tersirkulasi pelintiran informasi bagaimana komunitas-komunitas Yahudi bermain di balik persebaran virus Corona. Pengusaha-pengusaha Yahudi selama ini dianggap sebagai biang keladi, yang berniat meracuni warga dunia dengan virus. Sentimen terhadap Yahudi meningkat drastis, dibarengi dengan kebencian akan perlakukan pemerintah Israel di kawasan Palestina.
Rainer Zitelmann menulis bahwa dalam beberapa teori konspirasi yang berkembang seiring persebaran Covid-19, sentimen terhadap Yahudi meningkat (Forbes, 23 Maret 2020). Zietelmann lebih memilih menggunakan istilah ‘conspiracy crackports’ dari pada ‘conspiracy theory’. Ia mengajak kita untuk hati-hati dalam menggunakan istilah theory, yang tidak tepat digunakan dalam kasus-kasus terkait virus Corona.
Pemimpin Iran, Ayatollah Ali Khamanei menolak bantuan medis dari pemerintah Amerika Serikat. Khamanei menyebuat bahwa Iran menolak bantuan obat, karena tidak ada garansi obat-obatan itu sebagai senjata biokimia. Ia juga menganggap bahwa bisa jadi obat-obatan itu justru menambah parah pasien yang terkena Covid-19.
Di seantero Iran, teori konspirasi tentang bagaimana Covid-19 beredar juga menjadi perbincangan, bahkan di level elit politik. Informasi yang menganggap bahwa Amerika Serikat memainkan peran di balik persebaran virus Corona, juga tersebar di media-media Iran. Bahkan, beredar pelintiran informasi bahwa virus Corona sengaja dibuat untuk menghancurkan warga negeri itu, dengan menggunakan data genetik orang-orang Iran.
Mike Pompeo, US Secretary of State, langsung menanggapi pernyataan Ayatollah Khamanei. Pompeo menyebut bahwa pernyaan pemimpin tertinggi Iran itu salah besar, palsu dan membahayakan manusia. Pompeo menyatakan “..fabrications are dangerous and they put Iranians and people around the world at greater risk.” (Aljazeera, 23 Maret 2020).
Teori Konspirasi, Kebencian Lintas Negara
Pada 2019 lalu, YouGov melakukan jajak pendapat tentang kaitan virus dan teori konspirasi global. Sebanyak 16 persen responden di Spanyol percaya bahwa HIV disebarkan secara sengaja oleh sebuah organisasi rahasia. Sementara, 12% responden di Inggris dan 27 % responden dari Prancis, percaya bahwa kebenaran dari efek berbahaya dari vaksin sengaja disembunyikan dari publik. Dari jajak pendapat YouGov tentang vaksin dan konsporasi global, kita mengetahui bahwa pelintiran informasi juga meluas di negara-negara modern Eropa.
Arus kebencian dan teori konspirasi ini juga diperparah oleh manuver politisi populis, baik dari sayap kiri dan sayap kanan, dalam memainkan sentimen-sentimen politik. Politisi yang memainkan isu-isu populisme, menggunakan Covid-19 sebagai sarana mengkritik sekaligus menyalahkan lawan politiknya. Hal ini terjadi di Amerika Serikat, Inggris, Spanyol hingga Brazil.
Lalu, bagaimana di Indonesia? Teori-teori konspirasi juga berkembang di Indonesia di tengah pandemi Covid-19. Apalagi, literasi digital yang rendah menjadikan persebaran virus kebencian melebihi Covid-19. Virus kebencian dan teori-teori konspirasi ini meluncur bak peluru tajam yang menyakitkan. Ia meneror manusia-manusia untuk saling tidak percaya, membenci liyan, dan terutama menghakimi orang-orang Yahudi dengan segala teori globalisasi yang rumit.
Covid-19 memang membahayakan, mengakibatkan ribuan orang meninggal di seluruh dunia. Namun, virus kebencian dan efek teori konspirasi lebih membahayakan bagi pikiran, hati dan kesehatan mental serta tubuh kita (*).