Kehadiran mahluk Tuhan berinisial resmi SARS-Cov-2 atau lebih beken dikenal sebagai virus Corona jenis baru ini benar-benar mengguncang seluruh lini kehidupan manusia. Bahkan, gemerlap kehidupan kaum terpelajar di bilik kampus pun tidak selamat dari efek domino pesebaran pandemi Corona.
Kehidupan kampus adalah gambaran dunia virtual suatu segmen masyarakat yang unik. Sebab dengan segala kepongahannya, ia adalah potret dunia masa depan suatu masyarakat.
Sketsa yang diusung dunia kampus hari ini (dan masa depan) adalah kehidupan masyarakat dengan teknologi 4.0, dan bahkan menuju 5.0. Seminar, loka karya, dan pelatihan bertema 4.0 dengan jumlah yang tidak lagi bisa dihitung telah digelar. Gambaran kode data ramai-ramai menghiasi iklan kampus, sebab gambar buku tak lagi menyejukkan pandangan mata. Praktis, dunia di bilik kampus adalah surganya teknologi.
Dua pekan setelah Pemerintah Indonesia mengumumkan secara resmi hadirnya pasien positif Covid-19, surga teknologi yang diusung oleh dunia kampus dengan budget yang tak terbatas itu nyaris hanyalah ilusi.
Para pemangku kebijakan ramai-ramai mengikuti instruksi Mendikbud Nadiem Makarim untuk mengurangi aktivitas masyarakat kampus, termasuk menghentikan aktivitas perkuliahan tatap muka. Proses perkuliahan dialihkan dengan sistem jarak jauh. Pilihannya pun beragam, mulai dari kuliah daring, penugasan, hingga belajar mandiri.
Menanggapi kebijakan tanpa persiapan supra-struktur yang matang, para “dosen kolonial” dengan penuh gairah sontak memberikan tugas kepada mahasiswa tanpa mempertimbangkan rasio bobot sistem kredit semester (SKS) di setiap pertemuan.
Pun demikian para “dosen milenial” dengan segala atributnya memamerkan kuliah daring di media sosial (medsos). Sementara dosen generasi orde baru yang ngos-ngosan belajar dunia daring melalui cucunya sibuk menanggapi diskusi (baca: kuliah daring) dalam media grup pesan singkat.
Gegap gempita penghentian sementara kuliah tatap muka akibat pandemi Corona juga seakan menjadi angin surga bagi kalangan mahasiswa. Mereka membayangkan dunia penuh rebahan dan autisme dengan segala aplikasi game daring.
Hanya saja, imaji angin surga itu segera berubah menjadi awan hitam pekat dengan segala kilat dan gemuruh Guntur lewat kenyataan tugas yang menggunung, akses buku yang terhalang, dan kuota yang terkuras bak musim kemarau panjang efek el-nino.
Mimpi buruk yang dialami generasi harapan bangsa ini menggejala di seantero Nusantara. Terang saja, mereka lalu ramai-ramai membuat petisi menuntut fasilitas untuk sistem kuliah jarak jauh. Tampilan status protes di medsos akan kebijakan kuliah jarak jauh bak jamur di musim hujan.
Lantas, ke mana hilangnya kehidupan masyarakat 4.0?
Ah, ternyata hanya delusi!! Mungkin sebenarnya kampus kita masih berada di kasta 2.0.
Jelas sekali bahwa korban pertama dari gagapnya dunia kampus adalah para orang tua penyandang dana kehidupan virtual masyarakat kampus. Mereka harus merogoh kantong lebih dalam untuk memenuhi kebutuhan kuota generasi harapan masa depan di tengah terkurasnya tabungan.
Problem mendasar dari ilustrasi corona effect dalam kehidupan dunia kampus di atas, saya kira, ada pada gagapnya kebijakan. Edaran-edaran yang muncul dari pemangku kebijakan terkait dengan proses belajar-mengajar di dunia kampus masih berpaku pada level instalasi kognisi.
Menanggapi serangan SARS-Cov-2, mestinya dunia kampus dapat menerjemahkannya dengan menanamkan nilai-nilai kecendekiawanan di kalangan mahasiswa. Selain itu, mungkin karena terlalu sering membicarakan 4.0, dunia kampus lupa akan kondisi ekonomi mahasiswa dan analisis topografi sebaran mahasiswanya yang jelas memiliki afek terhadap kualitas akses internet. Singkatnya, pendidikan milik si kaya kuota.
Perkuliahan tidak melulu soal pengetahuan (khadimul ilmi). Jauh dari itu adalah bagaimana perkuliahan dapat memiliki kontribusi konkret bagi kehidupan masyarakat (khadimul ummah), termasuk dalam situasi krisis Corona hari ini. Sinergitas antara khadimul ilmi dan khadimul ummah akan dapat membentuk kultur kampus yang merdeka lagi memerdekakan.
Meskipun begitu, setiap kebijakan yang muncul seyogiyanya dibarengi dengan kematangan persiapan supra-struktur yang jelas, sebab kebijakan tanpa persiapan hanyalah edaran kosong yang menguras kuota.
Akhir kalam, teruntuk Mas Menteri Nadiem—menyadari bahwa ternyata kuota dunia kampus kita hari ini masih belum merdeka—semoga kita semua sehat selalu. Dan, pandemi Corona moga-moga cepat berlalu.
BACA JUGA Artikel-artikel Menarik Lainnya