Di kalangan sebagian umat Islam di Indonesia, muncul dua respon mengkhawatirkan dalam menanggapi pandemi Covid-19. Pertama, mereka yang meyakini pandemi ini sebagai buatan atau konspirasi pihak-pihak tertentu yang punya kepentingan. Kedua, sejalan dengan ulasan saya sebelumnya, mereka yang merespon ini dengan sikap fatalis. Banyak yang gelisah dengan efek dari kedua respon tersebut.
Untuk yang pertama sudah jelas, setiap kita, apalagi yang punya kapasitas untuk didengarkan banyak orang, sewajarnya membekali diri dengan informasi yang tepat. Kadang informasi ini memang tidak mudah dijangkau. Karenanya, kita bisa berinisiatif mencari tahu kepada ahlinya. Atau, kalau kita punya orang terdekat yang memiliki kapasitas didengarkan umat, kita turut bertanggung jawab untuk memastikan informasi yang tepat itu sampai kepada mereka.
Untuk yang kedua, saya sangat paham, para ulama mencoba menenangkan umat Islam. Karena informasi yang simpang siur dan disponsori literasi yang rendah, pandemi ini melahirkan ketakutan. Makanya, para ulama merespon, “Takut hanya kepada Allah,” “Hidup mati sudah ditentukan Allah, tidak usah takut berlebihan.”
Saya paham, beliau-beliau ini ingin menjaga kita. Beliau-beliau tidak ingin umat menyikapi pandemi ini dengan sikap yang melupakan Allah. Itu kalau husnuzan saya.
Hanya saja, ungkapan beliau-beliau, dalam hemat saya, menjadi berbahaya ketika ditangkap sebagai anjuran untuk tidak mengindahkan prinsip-prinsip protokol yang terbukti efektif dan berhasil menanggulangi pandemi ini.
Untuk merespon ini lebih dalam, saya ingin kembali mengulik konsep teori kalam Asyariyyah. Kali ini, saya ingin belajar dari penjelasan Ibu saya yang sederhana.
Teori kalam Asy’ariyyah memang agak rumit. Di satu sisi, manusia didorong berusaha. Di sisi lain, Allah yang menentukan segalanya. Bahkan, ada doktrin bahwa segalanya telah ditulis di Lauh Mahfudz. Ada yang mengatakan: “Iya, manusia memang disuruh berusaha, tapi itu sebenarnya buat pantes-pantesan atau basa-basi saja. Pada akhirnya, semua ada di tangan Allah.” Dari sini muncullah kegalauan: “Jika demikian duduk perkaranya, mengapa aku berikhtiar? Apa makna usahaku?”
Ibu mengenalkan konsep relasi usaha-takdir yang menurut saya menarik dan mudah dipahami. Dan, ini menyelamatkan saya dari kegalauan saya.
“Nduk, waktu kematian Ibu sudah dicatat Allah. Tetapi, dalam menjemput takdir itu Ibu tetap harus menjaga kesehatan: menjaga pola pikir, pola makan, dan olah raga. Mengapa Ibu melakukan itu, toh sudah ada catatannya? Karena ikhtiar adalah bentuk ibadah, pengabdian kepada-Nya. Dan, namanya pengabdian ya harus tenanan, sungguh-sungguh, sekuat daya upaya, sebaik-baiknya. Masalah hasilnya bagaimana diserahkan kepada Allah. Luruskan niat, optimalkan ikhtiar, pasrahkan,” itu adalah prinsip hidup Ibu.
Mendengar ulasan Ibu, saya menyadari letak masalah kegalauan saya, yang tercermin dalam pertanyaan di atas. Pangkalnya, saya punya cara pandang yang kurang tepat dalam memandang usaha. Saya punya pandangan bahwa usaha pasti menghasilkan sesuatu. Coba, siapa yang bisa memastikan bahwa usaha kita pasti membawa kepada hasil yang dikehendaki? Siapa yang mampu menjamin bahwa kalau berobat pasti sembuh? Siapa yang bisa memastikan bahwa jika saya menginovasi dagangan saya, dagangan saya akan laris? Siapa yang menjamin kalau saya berhati-hati mengikuti prosedur yang dianjurkan, saya pasti tidak terinfeksi dari virus corona dan tidak ikut menyebarkan virus ini?
Ada dua respon saya terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, berbasis prinsip tawasuth (moderat, tengah-tengah) dan berdasar wejangan Ibu. Pertama, jawaban singkatnya: tidak ada yang bisa menjamin kecuali Allah. Tidak usah jauh-jauh, pengalaman mengajari kita bahwa ada silang sengkarut variabel-variabel lain yang rumit, kompleks, dan sering di luar jangkauan dan prediksi kita, yang turut menghantarkan sebuah tujuan tercapai atau tidak, sebuah usaha berhasil atau tidak. Dalam ketakterjangkauan itu kita meyakini Allah-lah yang menggerakkan segala variabel-variabel itu.
Namun demikian, dan ini yang kedua, kita tetap tidak bisa mengesampingkan begitu saja adanya pola-pola yang bisa menjadi acuan kita untuk menggerakkan usaha menuju hasil tertentu yang kita kehendaki. Pola-pola ini bisa menjadi salah satu dasar ikhtiar sebagai ekspresi ibadah kepada Allah, yang, sekali lagi, pantasnya ya dilakukan dengan total dan optimal, berbekal ilmu yang sekomprehensif mungkin. Masa ibadah sama Allah tidak serius dan sungguh-sungguh?
Berobat tidak menjamin kesembuhan saya, tetapi ada pola yang mengaitkan hubungan antara berobat dengan kesembuhan penyakit. Kita tidak tahu pasti apakah Indonesia akan berhasil menekan penyebaran pandemi Covid-19 kalau semua masyarakat tertib dan disiplin mengikuti anjuran. Tetapi ada pola yang bisa kita pelajari dari pengalaman negara lain. Misalnya, Italia kecolongan, terlambat mengimplementasikan anjuran penanganan pandemi ini. Jumlah orang yang terinfeksi dan butuh penanganan serius terus bertambah pesat seakan tak terbendung. Sistem kesehatan kewalahan. Tenaga kesehatan kelelahan.
Allah-lah satu-satunya yang menentukan nasib hidup dan mati kita. Tetapi dalam hemat saya, kalau kita sudah mengenal pola dan masih mengabaikannya, saya khawatir kita jatuh kepada sikap zalim. Okelah kalau buah abai kita, kita sendiri yang menanggung akibatnya. Silakan saja abai atau meremehkan. Masalahnya, ini pandemi. Pandemi hanya bisa dihalau dengan gotong royong, di mana seluruh eleman bangsa bersinergi, bersatu padu. Dalam situasi seperti ini, sikap abai berefek kepada kehidupan yang lebih luas, bukan hanya kepada diri sendiri.
Akhirnya, para ulama sudah memberikan pijakan akidah dalam menghadapi pandemi ini. Kita beruntung punya keyakinan bahwa hidup dan mati kita ada di tangan Allah. Dengan bekal itu, kita bisa menghadapi pandemi ini dengan kesabaran dan ketenangan batin, penuh kepasrahan kepada-Nya.
PR terbesar kita, umat Islam Indonesia, saat ini menurut saya adalah mengedukasi diri kita dan orang-orang di sekitar kita dengan informasi dan ilmu yang komprehensif dan valid. Dengan ini, duduk perkaranya, termasuk kompleksitas yang mengitarinya, menjadi jelas. Langkah yang diambil juga bisa tepat, tidak salah apalagi fatal. Informasi dan ilmu ini adalah bekal ikhtiar sebagai bentuk ibadah kita. Dan, sekali lagi mengikuti pemahaman Ibu saya, namanya ibadah, pengabdian, persembahan kepada Allah, sudah sewajarnya kita melakukannya dengan sungguh-sungguh dan sebaik mungkin. Allah a’lam