Dalam ilmu fikih, air dinamakan sedikit (qalil) ketika air tersebut kurang dari dua qullah. Menurut orang Syam dua qullah sama halnya dengan 81 rithl, ini setara dengan 270 liter air. Jika diumpakan sebuah kolam persegi empat, air dua qullah akan terisi penuh dalam kolam berukuran panjang, lebar, dan kedalaman sekitar 1 ¼ hasta.
Efek yang ditimbulkan ketika air tersebut sedikit adalah zatnya akan gampang bercampur dengan najis dan sifat-sifat dari air tersebut akan mudah berubah. Inilah salah satu yang menginspirasi ulama-ulama fikih untuk memberi batasan minimal air untuk digunakan bersuci.
Dalam fikih juga dikenal istilah najis, hadas, dan khabats. Najis adalah lawan dari suci. Ia terbagi ke dalamnajis hukmi dan haqiqi. Najis hukmi disebut juga dengan hadas sedangkan najis haqiqi disebut juga dengan khabats. Salah satu contoh dari hadas adalah kentut, kencing, dan lain sebagainya. Perbuatan kentut dan kencing tersebut dinamakan dengan hadas. Sedangkan contoh dari khabats adalah air liur anjing, kotoran, dan lain sebagainya. Barang atau sesuatu yang kotor tersebut secara zatnya dinamakan dengan khabats.
Syekh Wahbah Zuhaili dalam karyanya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu merangkum banyak pendapat ulama mengenai air musta’mal, mulai dari pengertian hingga kegunaannya untuk bersuci. Dari keterangan tersebut diperoleh kesimpulan sebagaimana berikut:
Pertama, menurut Hanafiyah, air musta’mal merupakan air yang telah digunakan untuk mengangkat hadas (baik wudhu atau mandi besar) atau air yang digunakan untuk taqarrub (seperti berwudhu untuk tujuan membaca al-Qur’an, atau menyentuh mushaf). Air tersebut suci namun tidak menyucikan, artinya air tersebut tidak dapat digunakan untuk bersuci dari hadas seperti untuk berwudhu atau mandi besar. Akan tetapi air jenis ini masih bisa digunakan untuk membersihkan (kotoran) yang nampak (khabats).
Kedua, menurut Malikiyah, air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadas (seperti untuk berwudhu ataupun mandi besar), atau untuk menghilangkan khabats. Baik air tersebut digunakan untuk mandi wajib atau tidak wajib (tidak wajib seperti mandi Jumat atau salat id) atau air yang digunakan sebagai wudhu setelah wudhu atau air yang digunakan pada basuhan kedua atau ketiga dalam wudhu, itu semua dinamakan air musta’mal. Tidak dapat digunakan untuk menghilangkan najis atau mencuci wadah.
Makruh digunakan untuk menghilangkan hadas, artinya makruh digunakan untuk berwudhu dan mandi besar. Alasan kemakruhannya adalah karena tidak disenangi, atau tidak elok.
Ketiga, menurut Syafi’iyyah, musta’mal adalah air yang sedikit yang telah digunakan untuk melakukan kewajiban bersuci. Menurut qaul jadid, air yang digunakan untuk bersuci yang kedua maupun ketiga kalinya tetap dianggap suci. Air jenis ini suci namun tidak mensucikan.
Air musta’mal tidak dapat digunakan untuk berwudhu maupun mandi besar, juga tidak dapat digunakan untuk menghilangkan najis. Namun jika air tersebut lebih dari dua qullah, maka ia dianggap menyucikan. Jika ada niat ightiraf ketika mengambil air yang sedikit, maka air tidak menjadi musta’mal.
Keempat, menurut Hanabilah, musta’mal merupakan air yang telah digunakan untuk bersuci, baik dari hadas besar seperti janabah atau hadas kecil seperti wudhu. Termasuk juga air yang digunakan untuk membasuh najis pada basuhan ke tujuh, walaupun sifat air tidak berubah, tetap saja air tersebut musta’mal. Tidak bisa digunakan untuk menghilangkan hadasdan khabats. Jika air tersebut lebih dari dua qullah, maka air musta’maltersebut masih dianggap suci dan bisa mensucikan.
Dari beberapa pendapat di atas, hanya mazhab Malikiyah saja yang sedikit longgar menyoal air musta’mal.Menurut mereka, air musta’mal masih dapat digunakan untuk menghilangkan khabats atau kotoran yang nampak, dan ia dimakruhkan untuk menghilangkan hadas. Artinya dalam kondisi tidak ada air yang suci, air musta’mal masih bisa digunakan untuk berwudhu meskipun makruh.
Selengkapnya, klik di sini